Aku baru sampai di kantor ketika sudah jam makan siang.
Begitu sampai kantor kerjaanku jadi menumpuk banyak.
Ini semua gara-gara Pak Jarwo dan kawan-kawannya itu, orang suruhan Papa.
Padahal hari ini aku ada meeting penting.
Beruntung ada Pak Yosua. Dia menghandle semua urusan kantor saat aku belum datang tadi.
Dia juga yang membujuk klienku untuk memundurkan jadwal meeting.
Ah, sepertinya aku memang harus menaikkan gajinya.
Aku menatapnya yang sedang masuk ke ruanganku untuk meminta beberapa tanda tangan.
"Ada apa Pak? Apa ada sesuatu di wajah saya?" tanya Pak Yosua ketika aku terpergok menatapnya.
"Eh, nggak ada apa-apa kok Pak!" sahutku cepat.
"Pak Yos, gimana kalau kamu jadi asisten saya?" tawarku sambil menandatangani beberapa berkas.
"Maaf Pak, tapi Pak Wijaya sudah berpesan pada saya untuk menolak jika Pak Andri meminta saya untuk jadi asisten Bapak," tolak Pak Yosua.
Aish! Dasar Papa!
"Bagaimana kalau saya carikan asisten untuk Bapak?" tawarnya.
"Boleh. Carikan yang laki-laki kalau bisa!"
Bodo amat meskipun Papa sudah melarangku agar jangan mencari asisten laki-laki.
"Maaf Pak, tapi Pak Wijaya juga melarang saya untuk mencarikan Bapak asisten laki-laki," sahut Pak Yosua. "Bagaimana kalau saya carikan asisten perempuan Pak?"
Aku mendengus mendengar jawaban Pak Yosua.
"Tidak perlu! Lupakan saja Pak!"
Alis Pak Yosua terlihat menyatu mendengar tolakanku.
"Kenapa Pak Andri tidak suka dengan asisten perempuan? Apa Pak Andri.." Pak Yosua tidak melanjutkan ucapannya.
"Apa? Pak Yosua juga mengira saya seorang gay?" tanyaku yang tahu lanjutan dari pertanyaan Pak Yosua tadi.
"Aku tidak menyangka ternyata Pak Yosua juga berpikiran seperti itu tentang saya! Saya masih normal Pak!"
"Maaf Pak, saya tidak bermaks--"
"Bukankah kita sudah lama berkerja di kantor yang sama?!" potongku. "Rupanya kebersamaan kita tak membuat Pak Yosua kenal dengan saya!"
"Maaf Pak, saya tidak bermaksud mengatakan itu!" ujar Pak Yosua lagi. "Maafkan saya, saya tidak akan membicarakan itu lagi. Ini kunci motor Bapak." Pak Yosua meletakkan kunci motorku di meja.
Aku pun juga mengembalikan kunci motornya. Setelah itu dia langsung pamit dari ruanganku.
Tak berselang lama, ada telfon masuk dari Papa.
"Halo Pa, ada apa?"
[ Klien Papa yang namanya Pak Burhan, dia ingin kerja sama denganmu. Mungkin siang ini dia akan datang ke kantormu. ]
Setelah mengatakan itu dan beberapa hal mengenai bisnis, Papa mematikan sambungan telfon.
_________
Saat makan siang, aku memesan meja yang berada di pojok kafe.
Tiba-tiba seorang pria dengan perut buncit menghampiriku.
"Selamat siang Pak Andri," sapanya. "Saya Burhan, mungkin Papa anda sudah mengutarakan maksud saya datang kesini."
"Ah, iya. Silakan duduk Pak Burhan," ucapku berdiri menyambutnya.
"Tidak perlu! Saya datang kemari cuma ingin memberikan ini!" Ia memberikanku sebuah kertas.
"Itu alamat meeting kita nanti. Kita akan membicarakan bisnis di tempat itu. Jam 07.00 malam. Jangan terlambat!"
"Kenapa tidak dibicarakan sekarang saja Pak? Bapak kan sudah sampai di sini?" tanyaku sedikit keberatan.
Lagi pula, jam 07.00 itu sudah bukan jam kantor. Jamnya orang istirahat.
"Siang ini saya sibuk. Maaf, saya harus segera pergi. Sampai jumpa nanti!'
Dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku.
Aku benar-benar tidak suka dengan orang seperti itu. Seenaknya sendiri.
Kalau saja bukan karena Papa, aku malas kerja sama dengan orang seperti dia.
________
Tepat jam 07.00 malam, aku sampai di sebuah alamat yang diberikan oleh Pak Burhan tadi siang.
Aku keluar dari mobil untuk melihat bangunan yang ada di depanku.
Ya, aku memutuskan pakai mobil karena sudah malam.
"Apa ini? Ini kan diskotik? Apa aku tidak salah alamat?"
Aku kembali mengecek alamat di kertas yang sedang kupegang.
"Enggak kok, benar ini alamatnya. Kenapa Pak Burhan mau meeting di tempat seperti ini?!"
Dengan enggan, aku mulai masuk ke diskotik itu.
Suara hingar bingar langsung menyapa telingaku. Belum lagi lampu yang bikin pusing kepala.
Bau alkohol menyeruak hidung. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru untuk mencari sosok Pak Burhan.
Tak jauh dari kakiku berdiri, terlihatlah Pak Burhan. Segera aku menghampirinya.
Dia duduk di antara perempuan yang memakai pakaian kurang bahan. Entahlah, mungkin kainnya masih ketinggalan di tukang jahit.
"Pak Burhan," sapaku sedikit mengeraskan suara, bertanding dengan suara musik yang keras.
"Eh, Andri! Sudah datang rupanya. Silahkan duduk. Mau minum apa? Silahkan, biar aku yang pesankan", ucapnya tersenyum.
"Maaf Pak, saya tidak minum alkohol," tolakku. Aku masih berdiri di tempat.
"Bukankah tadi siang Bapak mengatakan akan membicarakan bisnis? Tapi bagaimana kita akan mendiskusikan tentang bisnis jika tempatnya berisik seperti ini?"
"Tenang Andri. Kita akan pindah di ruangan VIP. Di sana akan jauh lebih tenang untuk membicarakan tentang urusan kita," ujar Pak Burhan sambil menunjuk sebuah ruangan.
"Baiklah, mari kita kesana dan segera menyelesaikan urusan kita!"
Aku ingin segera pulang dari sini!
Pak Burhan bangkit dan berjalan ke ruangan yang ditunjuknya tadi. Aku mengikutinya dari belakang.
Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. "Kau datang sendiri kesini?"
"Iya Pak," sahutku singkat. Sementara dia hanya mengangguk.
Kemana hilangnya bahasa formal Pak Burhan tadi siang? Dia bahkan sudah tidak menyebutku Pak lagi!
Kini aku masuk ke sebuah ruangan VIP, dimana sudah ada dua pelayan laki-laki di sana.
"Tolong tutup pintunya agar suaranya tidak menggangu," ucap Pak Burhan pada salah satu pelayan.
"Jadi, apa yang akan kita diskusikan Pak?" tanyaku langsung to the point.
Segera kukeluarkan berkas-berkas yang kubawa.
Aku benar-benar tidak betah berada di sini!
"Sabar Andri. Kita bahkan belum menikmati minuman kita. Lihatlah, aku sengaja memesankan jus untukmu! Kau bilang tidak minum alkohol kan? Minumlah dulu sebelum kita mulai!"
Aku segera meminum jus itu, tidak mau menunda-nunda lagi.
"Baiklah, mari kita mulai diskusinya Pak!" ucapku setelah meminum jus sampai setengah gelas.
"Baiklah Andri, kita mulai diskusinya. Tapi kalau jauh seperti ini, tidak akan kedengeran!" Pak Burhan menggeser duduknya mepet denganku.
Aku yang merasa tak nyaman sedikit geser menjauh.
"Jangan jauh-jauh, nanti suaranya tidak kedengeran!" Pak Burhan menahan pahaku yang hendak bergeser.
Ia bahkan juga sedikit meremas pahaku.
"Apa yang Bapak lakukan?!" Aku segera menepis tangan itu.
"Kenapa Ndri? Aku hanya memegang pahamu!" bisiknya di telingaku.
Tiba-tiba aku mulai merasa pusing, kepalaku terasa berat.
Ini ada nggak beres!
"Apa yang kau taruh di minumanku tadi?!"
"Tidak ada kok!" ucap Pak Burhan semakin mendekat kearahku.
Kini ia bahkan berani merengkuhku.
"Apa-apaan ini Pak! Jangan macam-macam ya!" teriakku marah. Aku segera berdiri dari sofa itu dengan kepala yang terasa kian pusing.
"Ayolah Ndri, aku sudah tahu skandalmu di kantor! Kau menyukai sesama jenis kan? Mari kita bersenang-senang!"
"Dasar gila!!" Aku segera berlari ke pintu. Sialnya pintu itu dikunci.
"Cepat buka pintunya!!" bentakku pada dua pelayan pria yang ada di dalam ruangan.
Kepalaku terasa makin berat, aku tak sanggup menopang tubuhku lagi. Aku terduduk bersandar di pintu.
Dengan segala kesadaran yang masih ada, aku menghubungi Romi.
"Halo Rom! Tolong segera jemput aku di--"
PRAKK!
Pak Burhan merampas hpku dan melemparkannya ke sudut ruangan.
"Kau tidak akan bisa kemana-mana! Kita akan bersenang-senang!" ucapnya sambil berjongkok di depanku.
Tubuhku benar-benar sudah tak kuat lagi.
"Segera lucuti pakaiannya!" perintahnya pada dua pelayan itu.
"Aku sudah tak sabar ingin mencicipi luba*ngmu Ndri!" ucapnya menyeringai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments