...BAB.3...
"Drett ... dret ... dret ... dret ..." nyaring bunyi alarm yang dihasilkan dari ponsel milik Naira. Dengan terkantuk-kantuk, ia mengambil ponsel miliknya, dan mematikan alarm yang sengaja dipasangnya semalam. Pukul 05:00 WIB, begitulah angka yang tertera pada layar. Segera ia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, untuk membersihkan badan. Kemudian berlanjut 'tuk menjalankan rutinitas paginya. Setelah selesai, ia pun memutuskan untuk kembali merebahkan badannya ke atas ranjang, sembari menunggu mentari terbit.
Saat di rasa matahari telah menunjukkan sinarnya. Naira pun beranjak dari tempat tidur, untuk berjalan-jalan, sembari mencari sarapan di pagi hari ini. Belum selesai bersiap-siap, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
"Tuk tuk tuk." Ia pun mempercepatnya dan segera membukakan pintu.
"Iya ada apa?" tanyanya dari balik pintu.
" Ini, saya teh mau ambil kunci restoran," pinta orang tersebut.
"Mas ... karyawan resto?" tanya Naira.
"Iya Neng," balas orang tersebut.
"Kalo begitu, bisa tunjukin ID Card-nya?" pinta Naira. Orang itu pun menunjukkan ID Card-nya sebagai karyawan. Setelah melihat ID Card tersebut, Naira segera beranjak ke dalam untuk mengambil kunci.
"Nih Mas, kuncinya," ucapnya seraya menyerahkan kunci yang di maksud kepada orang itu.
"Ya udah, ini teh hatur nuhun kuncinya, saya permisi dulu Neng," lanjutnya sembari pergi meninggalkan Naira, setelah mendengar jawaban kembali kasih dari Naira.
Setelah karyawan itu pergi. Lantas Naira pun bersiap dan tidak lupa mengunci pintu, untuk melanjutkan misinya mengisi perut. Berjalan di sepanjang trotoar mencari kudapan yang cocok di lidah.
Puas berkeliling, kini pilihannya jatuh pada nasi uduk yang berada di depan mata. Segera ia datangi kedai nasi uduk yang terlihat begitu ramai di depan sana.
Cukup lama ia mengantri untuk seporsi nasi uduk, namun itu terbayar dengan aroma khas nasi uduk yang di sajikan. Aroma santan yang kuat, dan pandan yang mendominasi nasinya, 'tak lupa berbagai toping lauk yang beragam. Ada bihun yang melekat kuat bersama bumbu kecap, ada oreg tempe yang begitu gurih memanjakan lidah, tahu dan tempe bacem yang berbumbu khas kecoklatan yang begitu meresap pada setiap sisinya, tidak lupa juga irisan mentimun segar, beserta kerupuk sebagai pelengkap yang sempurna. Pantas saja kedai itu begitu ramai, makanan yang di suguhkannya begitu sempurna.
Setelah mendapatkan seporsi nasi uduk, Naira pun berjalan menuju meja yang telah di siapkan penjual, yang berada 'tak jauh dari kedai. Ia pun mulai menyantap sesuap demi sesuap nasi yang ada di dalam piring secara perlahan. Menikmati tiap paduan rasa yang beragam, namun menyatu apik dalam lidah.
"Enak ... pantas rame," gumamnya sembari terus menyuapkan nasi hingga 'tak tersisa. Puas memanjakan lidah, ia pun beranjak dari tempat duduk, dan bermaksud untuk mengembalikan piring serta membayarnya. Namun, baru satu langkah beranjak, datang seorang laki-laki dengan perawakan bak model papan atas, yang menghampirinya dengan penuh senyum ramah menyejukkan jiwa.
"Piringnya Teh," pintanya. Sangkin terpesonanya, Naira pun 'tak langsung merespon. Hingga untuk kedua kalinya laki-laki itu berucap agak keras,
"punten Teh, piring!" dengan suara yang sedikit di tinggikan, berhasil membuyarkan lamunannya yang entah kemana.
"Teh gelas? eh iya, apa?" Naira pun jadi salah tingkah sendiri.
"Piringnya Teteh, biar saya bawa ke belakang, Teteh tinggal bayar aja ke Akang yang di sana," jelasnya dengan menahan tawa, sembari menunjuk ke arah bapak-bapak yang berada di depan gerobak.
"Makasih Mas, saya permisi bayar dulu." Dengan menahan rasa malu, Naira pun segera pergi dari hadapan laki-laki itu sebelum semakin mempermalukan diri lebih jauh.
"Mang, ini mau bayar." Ia pun menyerahkan beberapa lembar uang kepada penjual itu.
"Oh iya, nuhun Teh," balas penjual itu sembari menerima lembaran uang dari Naira. Naira pun segera beranjak pergi meninggalkan kedai menuju tempat tinggalnya. Sepanjang perjalanan, ia 'tak henti-hentinya membayangkan sosok lelaki tampan tersebut. Bahkan, sesampainya di tempat tinggalnya pun ia masih terus terkesima pada lelaki yang entah siapa namanya.
...****************...
Tak serasa, kini jarum jam telah menunjukan pukul 14:00. Kini waktunya ia berangkat ke restoran 'tuk memulai pekerjaannya kembali. Setibanya ia di restoran, Naira tercengang mendapati lelaki yang tadi pagi ada di kedai, tengah duduk bersantai di salah satu meja restoran.
"Lah, tuh kan Mas Pelayan ganteng tadi, kenapa di sini? mati kau Naira! bisa malu tujuh turunan nih," paniknya begitu melihat dari jauh. Niat hati ingin bersembunyi dari lelaki itu, namun takdir sepertinya belum merestui. Baru satu langkah mundur, teh Rara selaku karyawan senior di restoran itu, menghampirinya dengan membawa nampan berisi minuman dingin yang terlihat menyegarkan.
"Neng, ini anterin ke meja no.2 ya," pintanya.
"Hah, saya Teh?" tanyanya memastikan.
"Ya iya atuh Eneng, kan yang lain lagi pada sibuk," jelas teh Rara. Dengan terpaksa, Naira pun menerima nampan tersebut dan berjalan gugup menuju meja no.2 tersebut. Sepanjang jalan, ia komat-kamit berdoa, berharap semoga lelaki yang tadi pagi itu tidak mengenalinya. Hingga sampailah ia di depan meja nomor dua,
"Kak ini pesanannya." Disuguhkannya minuman dingin tersebut ke hadapannya. Lelaki yang sedang terlihat asik dengan gawainya pun mendongak untuk mengucapkan terima kasih.
"Terimaka ..." kalimatnya tergantung, ketika mengetahui sosok yang ada didepannya.
"Eh, Neng yang tadi pagi kan? kerja di sini ya," lanjutnya. Dengan ragu, Naira pun mengakuinya.
"I-iya Mas." Sedetik setelah menjawabnya, Naira pun segera berlari meninggalkannya. Naira lebih memilih melanjutkan pekerjaannya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Tamu yang yang datang tidak sebanyak di saat jam makan siang, hal itu sangat menguntungkan Naira. Ia dapat sedikit lebih santai melayani tamu. Sesekali mengelap meja dan kembali berdiri menunggu tamu yang ingin dilayani.
"Neng, mau tambah minum!" panggil pria ganteng itu pada Naira. Karena tuntutan pekerjaan, dengan terpaksa Naira pun menghampirinya dan pergi mengambilkan minum untuknya. Sekembalinya dari belakang, 'tak hanya pria itu yang tengah duduk. Namun, ada juga pak Niko. Suami dari teh Iza, yang tengah asik berbincang-bincang dengan lelaki itu. Dengan rasa hormat pada pak Niko, Naira hanya menundukkan kepala sembari menyerahkan minuman itu. Lantas ia berbalik untuk meninggalkan mereka berdua. Selangkah kemudian,
"iya A, bentar lagi." terdengar jelas pria itu memanggil sang owner dengan sebutan kaka. Seketika Naira berhenti sejenak,
"hah ... a ... aa? cowo tadi adiknya bos? gawat nih bisa malu tujuh turunan lima tanjakan kalo bos tau kejadian tadi pagi," gumamnya yang sedikit menguping.
...Bersambung...............
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments