Bab 13

Setiap hari Shanum sekolah dengan naik sepeda, dia terus merengek pada orang tua angkatnya agar diberi izin ke sekolah naik sepeda. Melihat selama ini aman-aman saja, akhirnya Shanum diizinkan ke sekolah naik sepeda. Hanya saja, jika bangun kesiangan dia akan nebeng pak Arsena atau diantar Eko.

Sudah hampir satu tahun Shanum sekolah di SMP Maria Assumpta. Saat ini anak-anak kelas sembilan sudah selesai menjalani Ujian Akhir Nasional.

"Shanum, ada surat buat kamu!" panggil Bayu anak kelas sembilan B, teman dekat Bumi.

"Surat?" Shanum tercengang, dia sungguh tidak menyangka akan menerima surat dengan amplop warna merah jambu. Amplop itu bau wangi hingga menyengat ke hidung.

"Dari siapa?" tanya Shanum penasaran.

"Nanti juga tahu sendiri kalau sudah baca isi suratnya!" sahut Bayu sembari berjalan meninggalkan Shanum bengong sendirian di depan kelasnya.

"Woiiy!" teriak Sarah seraya menepuk pundak Shanum.

"Melamun terooosss! Mikirin apa sih?" celetuk Dewi.

Sarah yang mencium aroma wangi parfum pun curiga.

"Tumben pakai parfum?" tanya Sarah sambil mengendus bau di kantong baju seragam Shanum.

Melihat isi kantong yang penuh, Sarah pun mengarahkan tangannya ke dalam kantong tersebut.

"Ehh, kamu ngapain raba-raba? Sudah punya sendiri juga!" jerit Shanum meringis menahan geli karena buah kenyalnya tersentuh Sarah.

"Nggak, ini apa?" ucap Sarah sambil mengacungkan amplop berwarna merah jambu.

"Sarah, balikin!" pinta Shanum dengan tatapan memohon.

"Nggak aku kasih sebelum kamu kasih tahu ini dari siapa!"

"Aku belum baca, jadi nggak tahu dari siapa," sahut Shanum lirih.

"Yang kasih ini tadi siapa?"

"Kakak kelas, nggak kenal siapa dia. Kalau kalian pasti kenal." sahut Shanum sambil berjalan menuju bangku panjang yang terbuat dari semen, di bawah pohon mahogany.

Sarah dan Dewi pun mengikuti langkah kaki Shanum. Mereka bertiga duduk di sana berdempetan, karena sempit.

"Buka dong, Num. Biar tahu dari siapa. Mana tahu kita kenal ma orang yang kirim surat ini," bujuk Dewi ingin tahu isi surat tersebut.

Tanpa disadari Shanum, amplop itu sudah di tangan Sarah. Dia membolak-balik amplop itu, ternyata tidak ada tulisan sama sekali. Hanya ada tulisan nama Shanum, itupun tulisan dari percetakan bukan tulisan tangan.

"Aku buka ya? Penasaran banget dari siapa, pinter dia nyari amplopnya. Ada tulisan Shanum. Jadi tidak akan ketahuan siapa pengirimnya," ucap Sarah masih membolak-balik amplop itu.

"Ehh, jangan! Ini surat buat aku bukan buat kalian. Nanti aku baca di rumah aja. Besok baru aku kasih tahu siapa pengirimnya. Bagaimana?" sahut Shanum seraya menyimpan surat tersebut ke kantong rok seragam sekolahnya.

"Awas jatuh, Num! Nanti penasaran lagi dari siapa," ucap Sarah mengingatkan.

Shanum pun langsung memasukkan lebih dalam lagi agar tidak terjatuh saat dia berjalan nanti.

Mereka bertiga masuk ke kelas setelah bel tanda masuk berbunyi. Saat berjalan beriringan, Dewi yang jahil pun menarik amplop dari kantong Shanum.

"Balikin Wi! Malu kalau teman-teman sekelas tahu," kata Shanum dengan wajah memerah, menahan marah juga malu.

"Ambil kalau bisa, wlee!" sahut Dewi seraya menaikkan tangannya yang memegang amplop.

"Kalian ngapain? Apa kalian tidak dengar bel tanda belajar sudah bunyi? Seharusnya kalian langsung belajar, baik ada guru ataupun tidak!" Tiba-tiba guru geografi masuk ke kelas mereka.

Saat ini jadwal pelajaran Geografi akan diadakan kuis. Sehingga guru tersebut marah karna anak-anak didiknya membuat keributan di kelas, bukan belajar untuk persiapan kuis.

"Dewi! Apa itu yang kamu pegang?" tanya guru tersebut.

Dewi pun menatap Shanum dan Sarah secara bergantian. Seolah bertanya "bagaimana ini?", sedangkan teman yang ditatapnya hanya mengangkat kedua bahunya tanda menyerahkan keputusan padanya.

"Apa itu, Dewi? Cepat bawa ke sini!" perintah pak guru tanpa belas kasihan.

Akhirnya Dewi menyerahkan surat yang dipegangnya pada sang guru. Wajah Shanum pun memucat karena malu dengan kejadian yang menimpanya hari ini.

Guru tersebut langsung membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Setelah itu, beliau pun membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membacanya dengan keras.

Hal itu membuat para siswa tertawa karena mendapat hiburan dari guru. Namun, Shanum tidak tertawa sama sekali. Wajahnya tertunduk, air mata pun mulai menggenang di pelupuk mata. Mungkin jika dikedipkan sekali saja air mata itu sudah menetes.

Dewi sebenarnya merasa bersalah, namun begitu dia juga ikut tertawa, saat guru mereka meledek Shanum habis-habisan.

"Sudah! Tertawanya dilanjutkan nanti lagi saat jam pelajaran berakhir. Kita mulai kuisnya sekarang! Hanya ada selembar kertas dan sebuah bolpoin saja di meja kalian."

*

*

Pulang sekolah Shanum buru-buru ingin cepat sampai rumah. Dia sudah tidak sabar lagi ingin menenggelamkan wajahnya ke bantal.

Saat di kelas tadi dia merasa sangat malu sekali. Dia tidak pernah mengganggu teman-temannya, tetapi kenapa ada saja teman yang melukai hatinya

Shanum diam bukan berarti lemah, dia hanya lebih suka diam tidak suka mencari masalah dengan siapapun. Bahkan dia juga tidak pernah ikut campur urusan orang lain.

Itulah kenapa dia selalu memilih sendiri. Bagi Shanum dengan sendiri, hatinya yang rapuh akan terlindungi. Dia membuat benteng tinggi, untuk melindungi segumpal daging itu dengan membatasi berteman. Namun sepertinya, Tuhan masih saja memberi luka itu dengan perantara manusia.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiran Shanum berkelana entah kemana. Dia menjadi tidak fokus melihat jalanan.

Shanum menyeberang jalan tanpa menoleh kanan kiri, hal ini dikarenakan lampu traffic light menyala merah. Namun siapa sangka, jika saat Shanum sudah maju. Tiba-tiba lampu berubah warna menjadi hijau menyala.

Braakkkk...

Malang tak dapat ditolak, hari naas itu pun terjadi juga. Shanum terpental karena ditabrak sebuah motor yang melaju kencang. Pengendara motor itu tidak berhenti, dia malah menambah kecepatan agar bisa meninggalkan tempat itu.

Banyak darah yang keluar dari kepala bagian belakang Shanum. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tempat itu langsung diamankan oleh polisi.

Bumi yang saat itu mengikuti Shanum sejak di gerbang sekolah, hanya bisa meneteskan air mata ketika melihat kondisi Shanum. Ya, Bumi mendengar sendiri ketika gadis remaja yang mencuri perhatiannya itu diolok-olok di kelas.

Bumi mengikuti ambulan dari belakang. Dia ingin memastikan wanita yang dicintainya itu telah sampai rumahnya. Namun, Tuhan berkehendak lain, malah kecelakaan yang terlihat.

Bumi pun meminjam telepon rumah sakit untuk mengabari orang tua Shanum. Dia masih tetap bertahan di rumah sakit sampai kedua orang tua Shanum datang.

"Maafkan aku, Shanum. Semua ini terjadi karena aku menjadi pengecut. Seandainya aku berani berbicara langsung padamu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Maaf..."

Terpopuler

Comments

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

g suka dengan guru yang bersikap seperti itu deh, malah memberikan kesempatan untuk membully Shanum itu mah, juga Dewi sebagai teman g bisa menghargai 😢😢

2022-10-06

1

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

kok Sarah asal merogoh saku Shanum sih,g sopan deh..

2022-10-06

1

Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka

Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka

Shanum harus kuat...

2022-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!