Walaupun Shanum ikut pamannya yang berbeda agama, tetapi pak Arsena tidak pernah memaksanya pergi ke gereja. Dia membebaskan anak-anaknya untuk memilih keyakinan. Sebagai orang tua dia hanya mengajarkan kepada anak-anaknya tentang berbuat baik pada semua orang.
Shanum mengayuh sepedanya menuju sawah terdekat, ternyata bapak dan kakaknya tidak ada. Kemudian dia berbalik arah, pindah ke sawah yang satunya. Ternyata mereka sedang duduk-duduk di gubuk untuk beristirahat.
Shanum mendatangi bapak dan kakaknya sambil menenteng plastik yang berisikan oleh-oleh untuk mereka.
"Jangan lari Sha!" teriak kakak Shanum yang biasa disapa Mut itu.
Baru saja sang kakak terdiam, Shanum terjatuh.
"Uups!" Kakak Shanum kembali teriak kemudian tertawa menertawakan adiknya.
Walaupun menertawakan adiknya, Mutia tetap mendatangi Shanum dan membantu adiknya berdiri.
"Makanya, kalau ada yang ngomong itu didengar! Hahaha..."
Shanum memasang wajah cemberut, dia mencebikkan bibirnya tanda kesal.
"Sudah jangan dimajuin bibirnya, entar ilang cantiknya!" ledek Mutia masih tertawa.
Mereka berdua pun berjalan mendatangi gubuk dan duduk bersama sang ayah.
"Pak, ini oleh-oleh dari Ibu Lelly," ucap Shanum sembari menyerahkan bingkisan yang dibawanya tadi pada bapaknya.
"Dari mana bapak ibumu, Nduk?" tanya pak Yanto seraya membuka bungkusan itu.
"Dari keluar kota, keliling ngecek toko meubelnya. Mbak Mut kok tumben di rumah?"
"Mbak Mut sudah seminggu lebih di rumah, Selasa depan Mbak wisuda. Kamu sih, nggak pernah pulang. Kirain lupa sama kami," jawab Mutia.
Hati Shanum yang sensitif seperti kulitnya itu pun terdiam. Dia sama sekali tidak pernah melupakan keluarga kandungnya. Dia tidak pulang karena tidak berani meminta ijin pada orang tua angkatnya.
Semenjak ikut dengan pamannya, banyak yang mengatakan jika dirinya seolah lupa dengan asalnya. Bahkan eyang Cokro, orang tua bu Lelly pun sering mengingatkan jika dirinya bukanlah anak pak Arsena dan istrinya.
Meskipun begitu, Shanum tidak pernah menunjukkan kesedihan. Dia tersenyum setiap ada kata-kata yang melukai hatinya. Diam. Hanya itu yang bisa dilakukan, dia tidak pernah melakukan perlawanan sama sekali.
Ajaran pak Yanto dan pak Arsena selalu diingatnya. Berbuat baiklah pada semua orang walaupun kadang orang itu menyakitimu. Belum tentu orang itu menyakiti dengan sengaja.
Oleh karena itu, setiap ada kata-kata yang melukai hatinya. Shanum hanya diam dan tersenyum tanpa mau menjawab ataupun membalas.
*
*
Shanum kembali ke rumah pak Arsena setelah menginap satu malam di rumah pak Yanto. Dia kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa jika bu Lelly di rumah.
Belajar berjalan, belajar memasak, belajar tata cara makan hingga bertutur kata. Setiap gerak langkah Shanum benar-benar diperhatikan. Apalagi orang tua bu Lelly yang sering mengatakan Shanum seperti wandu, semakin membuat bu Lelly mendidik Shanum dengan keras.
Beberapa Minggu kemudian, pak Sena dan bu Lelly kembali keluar kota. Kali tidak sebentar karena selain mengecek usahanya, mereka juga akan mendampingi Anton wisuda. Pak Sena juga akan mengajari Anton untuk mengelola usahanya.
Shanum pun memutuskan pulang ke rumah pak Yanto. Sebelum pulang, dia sudah meminta ijin pada pak Arsena dan bu Lelly.
Shanum ke sekolah menggunakan sepeda kakaknya yang sudah lama, catnya pun sudah mengelupas. Bukan karena pak Yanto tidak mau membelikan sepeda baru untuk Shanum, tetapi lebih menjaga perasaan sang adik ipar.
Pak Arsena sudah menyediakan semua fasilitas untuk Shanum. Hanya saja, Shanum berpikir berulang kali jika menggunakan fasilitas itu. Apalagi banyak suara sumbang yang melukai hatinya, membuat Shanum merasa ingin kembali seperti dulu. Ada ibunya yang selalu mendengar keluhan.
"Num, kami main ke rumahmu ya?" ucap Dewi dan Sarah bersamaan.
"Lain kali saja, gimana?" sahut Shanum.
Bukan tidak mau mengajak temannya bermain ke rumah, akan tetapi dia belum meminta ijin pada pak Arsena ataupun pak Yanto. Dia bingung mau mengajak ke rumah yang mana.
"Bilang aja nggak boleh!" sahut Dewi ketus.
Shanum pun terdiam, berpikir sebentar. Akhirnya Shanum memutuskan lebih baik dia mengajak ke rumah pak Yanto saja. Orang tua angkatnya itu sedang tidak ada di rumah, tidak mungkin dia membawa temannya ke rumah itu.
"Baiklah, ayolah!" Shanum mengiyakan permintaan temannya dengan terpaksa.
Hari ini mereka pulang cepat karena ada rapat dewan guru dan pengurus yayasan. Jam sepuluh pagi para siswa sudah dipulangkan.
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit mengayuh sepeda, akhirnya mereka sampai di rumah orang tua kandung Shanum. Rumah yang sederhana dan tidak sebesar rumah pak Sena. Hal ini dikarenakan pak Sena menjual sebagian sawahnya untuk membuka usaha. Sedangkan pak Yanto tetap memilih menjadi petani, mengurus beberapa petak sawah.
Rumah tampak sepi karena pak Yanto masih di sawah. Di rumah tidak ada makanan apapun, hanya ada air putih dan nasi putih saja.
Shanum hanya memberi teman-temannya itu minum. Mereka memilih duduk di bawah pohon jambu air. Pohon jambu itu saat ini sedang berbuah lebat, sehingga mereka bercerita sambil memakan jambu air.
*
"Shanum itu bukan anak Pak Sena, rumahnya aja biasa saja. Lihat saja, sepedanya itu! Sudah jelek kek gitu, dia gonta-ganti sepeda cuma hasil minjam tetangga saja. Paling dia itu cuma numpang aja sama Pak Sena. Nggak mungkin dia anak Pak Sena."
"Nggak tahu malu! Sudah miskin, ngaku jadi orang kaya."
"Kita lihat saja tasnya, ada nggak uang jajan dia. Siapa tahu selama ini dia itu nggak punya uang jajan, makanya duduk di kelas aja," provokasi salah seorang dari mereka.
Akhirnya mereka bertiga pun menggeledah isi tas Shanum tanpa permisi.
"Kalian ngapain bongkar tas Shanum?" tanya Shanum heran saat tiba-tiba teman-teman sekelasnya menggeledah tas Shanum tanpa permisi.
"Wow, lihat! Banyak duit juga ternyata dia."
"Paling duit nyolong itu!"
"Iya, paling hasil nyolong! Mukanya saja yang sok alim, tapi pencuri!"
Shanum hanya bisa menangis melihat mereka memperlakukan dirinya.
Ketua kelas yang melihat hal itu pun akhirnya memanggil guru yang kebetulan lewat di depan kelas.
"Kalian semua ke ruangan saya! Bawa juga tas dan uang itu," teriak guru itu tiba-tiba.
Mereka semua berlima masuk ke ruangan guru BP. Mereka diintrogasi satu persatu oleh guru yang bernama Yuliana itu.
"Lihat Bu, Shanum bawa uang banyak di tasnya. Pasti itu uang hasil nyolong. Dia itu bukan anak Pak Sena. Dia itu bohong Bu!" ucap murid itu.
"Iya, Bu! Dia itu bohongi kita, katanya anak Pak Arsena. Padahal bukan siapa-siapanya pak Arsena."
Mereka semua bersahut-sahutan memojokkan Shanum. Shanum hanya menunduk sedih. Dia tidak menyangka jika teman-teman yang dia sangka baik ternyata malah memojokkan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
MA⏤͟͟͞RGIE💖💞
kok anak SMP begitu ya,miris banget, suka membully hanya karena keadaan ckckck..
2022-10-06
1
Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka
jahat ternyata teman2nya...
langsung menuduh dan menghakimi tanpa bertanya lbh dulu...
2022-09-28
3
Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka
kasihan sekali Shanum..jd serba salah..
dimana2 jd bahan sindiran...
2022-09-28
1