Dua Minggu sudah berlalu, Pak Yanto masih dirawat di rumah sakit. Selama bapaknya dirawat di rumah sakit, Shanum hanya sekali saja menjenguk sang bapak. Hal ini dikarenakan Shanum sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti serangkaian ujian kelulusan.
Saat ini Shanum duduk di kelas 6 SD, Shanum menginginkan masuk ke SMP favorit di kabupaten tempatnya tinggal. Shanum ingin merasakan sekolah di kota, dimana tidak sembarang orang bisa sekolah disana. Hanya orang dengan kemampuan otak yang cerdas yang bisa masuk ke sana.
Shanum memiliki semangat yang tinggi, dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Tapi sayang sekali, keadaan orang tuanya tidak mendukung. Kondisi ekonomi serta usia kedua orang tua membuat Shanum mengubur dalam-dalam cita-citanya.
"Bagaimana ujiannya? Bisa kan mengerjakannya?" cerca Mutia kakak Shanum.
Sore itu selepas beberes rumah serta mandi mereka berdua duduk di ruang tengah sedang menonton TV.
"Gampang! Itu mah kecil!" jawab Shanum dengan sombongnya.
"Yakin bisa dapat nilai diatas rata-rata?" selidik Mutia.
Mutia tahu adiknya saat ini dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Shanum lebih sering melamun, dan kelihatan lesu.
Bagaimana Shanum tidak sedih, pak Yanto bukan hanya ayah baginya tapi juga seorang teman. Setiap hari dia selalu bersama sang ayah karena sang ibu berjualan di pasar setiap hari tanpa libur. Sang ayah lah yang banyak mengajarkan dia tentang pekerjaan rumah dan cara bertahan jika menghadapi masalah.
Bukan berarti Shanum tidak dekat dengan ibunya, Shanum anak yang paling kecil di rumah itu. Shanum sangat dimanja dan disayang, tidak heran di usianya yang sudah menginjak 13 tahun, Shanum belum bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Shanum hanya bisa menyapu rumah dan halaman saja.
"Shanum bisa kerjain semua soal ujian, hanya saja..." Shanum terdiam tidak melanjutkan kata-katanya.
"Shanum, mbak yakin Shanum bisa. Shanum kan anak pinter. Jangan terlalu memikirkan bapak. Bapak sudah baik, besok bapak sudah boleh pulang kok." kata Mutia menghibur adiknya.
Shanum mengangguk mendengar kata-kata sang kakak.
🌼
Keesokan harinya...
Akhirnya pak Yanto dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah. Anak-anak pak Yanto semua berkumpul di rumah besar itu. Semua anak pak Yanto langsung pulang begitu mendengar kabar pak Yanto sakit dan dirawat di rumah sakit.
Pak Yanto berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah. Biarlah hidup sederhana tapi memiliki akhlak yang baik, begitulah prinsip pak Yanto. Kita hidup tidak memakai apa-apa, tidak membawa apa-apa, jadi kalau suatu saat kita tidak memiliki apa-apa itu adalah hal yang wajar. Lumrah, karena kita mati pun tidak akan membawa apa-apa.
Kepulangan pak Yanto dari rumah sakit disambut oleh beberapa tetangga kiri kanan rumah pak Yanto. Hal ini dikarenakan pak Yanto dan istrinya sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Mereka selalu ringan memberikan bantuan kepada tetangga di sekitarnya, sehingga tidak heran banyak orang yang menjenguk pak Yanto, saat dia sakit.
Pak Yanto dikenal orang yang ramah, beliau juga bisa mengobati orang sakit. Banyak yang datang untuk meminta air putih untuk mengobati sakit gigi, demam bahkan ada juga yang meminta bantuan pak Yanto untuk memilih hari baik. (Orang Jawa selalu memakai perhitungan hari setiap ada acara.)
Saat ini pak Yanto dan bu Lestari sudah berada di rumahnya dikerubuti tetangga. Pak Yanto langsung masuk kamar untuk istirahat, sedang bu Lestari menemani para tetangga.
"Lara apa tha pak Yanto? Kok nganti mondok barang!" tanya salah satu tetangga yang menunggu kepulangan pak Yanto dari rumah sakit.
(Sakit apa sih pak Yanto? Kok sampai opname segala!)
"Jare dokter lara jantung karo penyempitan paru-paru. HB ne rendah jare dokter, nambah getih nganti sewelas kantong wingi," jawab bu Lestari.
(Kata dokter sakit jantung sama penyempitan paru-paru. HB-nya rendah kata dokter, tambah darah sampai sebelas kantong kemarin.)
Shanum hanya mendengarkan pembicaraan antara mereka yang sudah dewasa. Dia tidak berani ikut berbicara, cukup menjadi pendengar dan merekam setiap kata-kata mereka ke otaknya. Jadi dia bisa jawab bila suatu saat nanti ditanya bapaknya sakit apa.
🌼🌼
Hari berganti, pak Yanto pun sudah pulih seperti semula. Bu Lestari sudah kembali berjualan di pasar, kakak-kakak Shanum pun sudah kembali merantau dan pulang ke rumah masing-masing. Ujian Shanum pun sudah selesai hanya menunggu pengumuman hasil ujian, antara lulus atau tidak.
Suatu hari di siang yang panas terik, Bu Lestari mengeluh kurang enak badan. Beliau meminta Shanum untuk mencuci piring dan peralatan masak yang kotor karena makan siang tadi. Shanum juga diminta tidur siang bersama di kamar Bu Lestari.
Dengan patuh Shanum mengikuti setiap perkataan sang ibu. Tanpa Shanum sadari itu detik-detik terakhir bersama ibunya. Shanum tidak menyadari bahwa itu salah satu tanda akan kepergian sang ibu.
Bu Lestari hanya mengeluh sudah lelah, ingin istirahat. Beliau juga meminta semua anaknya berkumpul bersama. Shanum pun segera menghubungi kakak-kakaknya agar kembali pulang atas permintaan sang ibu.
Seminggu kemudian semua anak-anak pak Yanto dan bu Lestari berkumpul, mereka semua diminta Bu Lestari untuk membacakan surat Yassin serta beberapa surat pendek lainnya yang sudah dihafal.
Setelah selesai mengaji dan makan malam, semua anggota keluarga berkumpul di kamar pak Yanto dan bu Lestari. Bu Lestari minta dipijit kakinya. Anak-anak secara gantian memijit kaki dan tangan bu Lestari.
Saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam Bu Lestari meminta Mutia untuk membawa Shanum tidur di kamarnya sendiri.
"Mut, bawa adikmu tidur sana! Keloni dia biar tidurnya pulas. Jangan lupa besok antar dia berobat ke dokter! Kasihan dia, sakit belum ada obatnya. Kalian jaga Shanum baik-baik, jangan sakiti dia." pesan Bu Lestari.
Shanum hanya diam tanpa membantah ucapan ibunya.
"Inggih Bu!" jawab Mutia.
"Ayo Sha! Tidur tak keloni wis, ora tak tinggal!" kata Mutia sambil menarik tangan Shanum keluar dari kamar orang tuanya.
(Tidurnya aku keloni, nggak aku tinggal!)
"Iyaaa!" jawab Shanum.
Shanum tidak menyadari bahwa itu adalah terakhir kali dia melihat ibunya bernafas.
Akhirnya Shanum dan Mutia meninggalkan kamar orang tuanya. Mereka menuju kamar Shanum dan Mutia. Selama ini mereka satu kamar karena Shanum takut tidur sendiri. Bila Mutia di Jogja, Shanum minta ditemani ibunya.
"Mbak, ibu sebenarnya sakit apa sih? Kok tiba-tiba sakit begitu, sampai rumah sakit pun malah disuruh bawa pulang lagi. Memangnya sakit ibu nggak bahaya?" tanya Shanum dengan polosnya.
"Sakit apa pun itu, kita do'akan saja semoga ibu cepet sembuh. Sekarang kita tidur biar besok bangun nggak kesiangan, ini sudah malam!" kata Mutia.
Mereka tidur saling berhadapan dan berpelukan. Tidak lama setelah itu Shanum tertidur, sedang Mutia masih terjaga.
Sayup-sayup Mutia mendengar suara jeritan dari kamar kedua orang tuanya. Mutia pun berlari ke arah kamar itu. Begitu sampai di kamar itu, Mutia mendapati sang ibu sudah terbaring kaku dipangkuan kakak laki-lakinya yang nomor tiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
Ditinggalll meninggal olehh ibu adalah pukulan terberat seoranggg anakkk😭😭😭 kasiannn sha, harus menerima ini semuaaaa. ditambah bapaknya sakit²an terus
2022-09-26
3
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
wehhhh kok sedihhh dahhhh
2022-09-26
1
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
nahhhh lohhhh. bapakne yanggg sakit napa mamaknya yang pergiii
2022-09-26
1