Bab 3

Shanum sudah masuk ke dunia mimpi saat sang ibu menghembuskan napas terakhirnya. Walaupun usia Shanum sudah 13 tahun, dia masih seperti anak kecil yang polos. Dia lebih pendiam dibandingkan dengan anak seusianya. Tak jarang kakak-kakaknya memanggilnya Markonah karena daya tangkap Shanum yang lamban.

Setelah mendengar kabar bu Lestari meninggal, para tetangga berdatangan. Saat rumah sudah ramai pun Shanum masih terlelap dalam tidurnya. Dia sama sekali tidak terganggu dengan suara berisik orang yang datang melayat.

Tepat tengah malam, ada seorang ibu-ibu tetangganya membangunkan Shanum.

"Num! Num! Bangun yuk!" kata ibu itu sambil menggoyang tangan Shanum.

Shanum terbangun setelah lama dibangunkan. Dia mulai menggeliat dan mengucek matanya, kemudian duduk di pinggir ranjang.

"Iya, ada apa ya?" tanya Shanum kebingungan. Shanum bingung kenapa tengah malam banyak orang di rumahnya.

"Bangun dulu, cuci muka. Yuk!" kata ibu itu sambil menggandeng tangan Shanum menuju kamar mandi di belakang. Kamar mandi di rumah itu hanya satu, di dekat sumur.

Shanum pun kencing dan cuci muka, dia belum tahu kalau ibunya sudah meninggal.

"Duduk dulu sini! Minum?" tanya ibu tersebut, panggil saja Marni.

Shanum duduk sambil menggelengkan kepalanya. Dia bingung tapi tidak berani bertanya.

"Anum sudah tahu belum kalau ibunya sudah nggak ada?" tanya Marni.

"Memangnya ibu kemana?" tanya Shanum dengan polosnya. ( Nggak salah kan kalau kakak-kakaknya manggil dia Markonah, karena saking lemotnya dia🤣).

"Ibu Anum sudah meninggal, tadi sewaktu Anum tidur." kata Marni lembut.

Shanum mendengar ibunya sudah meninggal, hanya diam tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba Shanum berdiri dan melangkah kakinya ke kamar mandi, lalu dia mengambil air wudhu.

"Anak pinter, ibunya meninggal nggak nangis." puji Marni sambil tetap mendampingi Shanum.

"Wis pinter tenan anak wedok, ora nangis blas. Malah wudhu!" kata salah seorang warga yang membantu kerepotan di rumah Shanum.

(Pinter banget anak perempuan ini, tidak menangis sama sekali.)

Sesampainya di ruang tamu, tempat ibu Lestari disemayamkan, Shanum mengambil salah satu Al Qur'an yang berada di dekat jenazah ibunya.

Shanum membuka dan mulai membaca satu persatu ayat Al Qur'an. Awalnya Shanum melantunkan ayat-ayat Allah dengan merdu dan jelas, tapi lama kelamaan bukan lagi suara merdu yang terdengar. Suara isakan tangis tidak bisa ditahannya lagi.

Mutia yang mendengar isakan tangis Shanum menghentikan kajiannya. Mutia langsung mengaji, begitu tahu ibunya meninggal. Tidak ada bekas tangisan yang terlihat di matanya.

"Sha, kalau nangis nggak boleh mengaji. Nanti ibu disiksa malaikat kalau kita menangisi kepergian ibu." nasehat Mutia.

"Kalau Shanum mau menangis berhenti mengaji, tutup dulu Al Qur'annya. Terus menjauh dari ibu!" kata Mutia sedikit keras.

Mutia berkata demikian karena Shanum tidak berhenti menangis sambil membaca Al Qur'an.

Mendengar suara kakaknya yang kuat, Shanum menghentikan tangisnya. Tidak hanya tangisan saja yang berhenti, Shanum pun berhenti mengaji. Shanum diam mematung menatap wajah sang ibu.

Dilihatnya Bapak dan kakak-kakaknya mengaji mengelilingi jenazah ibunya. Shanum mulai membuka Al Qur'an dan kembali membaca dengan lirih.

🌼

Keesokan harinya, jenazah ibu Lestari disucikan dan dikafani kemudian disholatkan. Banyak pelayat memenuhi halaman rumah Shanum yang luas, bahkan sepanjang jalan di depan rumah Shanum dan beberapa rumah tetangganya. Berbagai kalangan datang melayat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibu Lestari.

Walaupun pak Yanto dan istrinya hanya orang dari kalangan biasa saja, tapi orang tua ibu Lestari dulunya adalah seorang saudagar kaya yang terkenal di kabupaten itu. Hampir semua orang mengenal kakek Shanum.

"Aku kira pak Yanto yang meninggal, ternyata Den Ayu yang meninggal." terdengar suara bisik-bisik para pelayat.

"Iya ya, padahal beberapa hari terakhir kan pak Yanto yang sakit sampai dirawat di rumah sakit dua Minggu." jawab salah satu pelayat.

"Sakit apa sih, kok mendadak begitu?"

"Mboh ra ngerti aku, aku dewe ya kaget krungu kabar iki mau."

(Entahlah nggak tahu, aku sendiri kaget mendengar kabar ini tadi.)

"Anak-anaknya tegar semua ya, nggak ada yang menangis. Malah banyak pelayat disini yang menangis."

Bisik-bisik itu terus terdengar saling bersahutan memenuhi indra pendengar Shanum. Saat itu Shanum dan kakak-kakaknya serta beberapa kerabat dari keluarga ibu Lestari sedang berdiri di samping Kepala Desa yang memberi sambutan salam perpisahan untuk almarhumah ibu Lestari.

Bagaimana orang lain tidak kaget mendengar kepergian Raden Ayu Lestari Mangunkusumo, anak dari Raden Mas Petrus Mangunkusumo, selama ini tidak pernah sakit tiba-tiba meninggal dunia.

Ibu Lestari adalah anak dari seorang priyayi yang terkenal di kabupaten itu. Sebenarnya yang terkenal adalah orang tua Lestari, terkenal karena kedermawanannya dan rendah hati.

Banyak priyayi yang selalu merasa tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang biasa pada umumnya. Tapi orang tua Lestari tidak pernah membedakan silsilah atau derajat, baginya semua manusia itu sama saja. Yang membedakan itu amal ibadahnya selama di dunia.

Walaupun memiliki gelar, anak-anak Mangunkusumo tidak ada yang memakainya. Hanya Raden Mas Petrus Mangunkusumo tidak menyematkan gelar pada namanya. Hal ini dikarenakan menurut mereka gelar di depan nama itu tidak berarti apa-apa. Pada dasarnya seseorang itu dihormati karena tingkah lakunya, dilihat dari unggah ungguh (perilaku) dalam kesehariannya.

Pada siang hari, jenazah ibu Lestari dimakamkan. Salah satu kakak laki-laki Shanum pingsan begitu peti jenazah ibunya diangkat hendak dimakamkan. Shanum beserta kakak-kakaknya yang lain ikut mengantarkan sampai tempat peristirahatan terakhir ibu Lestari.

Tidak ada air mata yang mengiringi kepergian ibu Lestari, bukan berarti keluarganya bahagia dengan kepergian beliau. Tapi karena air mata itu mengering, hanya tangisan batin yang ada. Tangisan yang tidak bisa dikeluarkan lagi dengan air mata.

Kepergian sang ibu, membuat Shanum melupakan sekolahnya. Pendaftaran murid baru di sekolah yang diincarnya sudah berakhir dan ditutup. Hal ini tidak diketahui oleh Shanum dan keluarganya.

Shanum sakit selepas mengantarkan ibunya ke peristirahatan terakhir. Shanum masih terlihat kuat tapi suara Shanum hilang sampai liburan sekolah berakhir. Bahkan sudah dibawa berobat kemana-mana, tapi suara Shanum belum juga pulih.

Adik Bu Lestari merasa heran karena Shanum masih belum mendaftar sekolah SMP, bahkan belum mempersiapkan segala keperluan sekolah. Akhirnya pak Sena, adik Bu Lestari, mendatangi rumah pak Yanto.

"Kang Yanto ini bagaimana, anaknya kok nggak diurus? Mau disekolahkan apa nggak?" pak Sena memarahi pak Yanto begitu sampai di rumah pak Yanto.

"Tunggu, ada apa kok datang marah-marah? Duduk dulu sini, baru ngomong." kata pak Yanto menggunakan bahasa Jawa halus.

"Si Shanum sudah daftar sekolah belum? Ini sudah mulai daftar ulang, kenapa Shanum masih di rumah saja?" tanya pak Sena.

Pak Sena adalah salah satu adik Bu Lestari, adik ipar pak Yanto. Pak Sena tidak memiliki anak perempuan, anaknya dua laki-laki semua. Dia sudah lama ingin mengambil Shanum sebagai anaknya. Karena dia ingin memiliki seorang anak perempuan, dia sangat menyayangi Shanum seperti anak sendiri.

Terpopuler

Comments

☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ

☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ

sepertinya sha mengalami syok atas kematian ibu nya. dia bukan kehilangan suaranya lebih tepatnya tuh dia enggan untuk mengeluarkan suara

2022-09-26

2

R⃟Yanty AFC

R⃟Yanty AFC

kenapa ya shanum

2022-09-22

0

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

MA⏤͟͟͞RGIE💖💞

suara shanum hilang...apa karena sedihnya yang ditahan ya...dia nangis sambil mengaji terus di marahi Mutia jadinya di tahan semua 😢
semangat shanum, yang sabar ya...

2022-09-16

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!