Sepuluh hari setelah kematian ayahnya…
"Chéri, ada tamu yang mencarimu," kata ibunya ketika Chéri baru saja tiba di depan pintu apartemen keluarganya sepulang sekolah.
Chéri menatap ibunya dengan alis tertaut.
Ibunya menyodorkan karangan bunga gardenia yang secara spontan mengingatkan dirinya pada ayahnya dan pria asing yang ditemuinya di balai kota.
"Dia membawa bunga ini untukmu," kata ibunya lagi. "Katanya dia ingin bicara denganmu."
Seketika pikiran Chéri langsung tertuju pada pria asing yang pernah mengantarkan karangan bunga itu mewakili ayahnya. Pasti dia, pikirnya berbunga-bunga.
Begitu sampai di dalam, imajinasinya langsung menguap.
Seorang pria botak berbadan bulat, lebih tua dari ayahnya, tersenyum dan menyapanya. "Hai, apa kau Chéri?"
Di sampingnya, seorang pria muda berambut ikal bakung berwarna tembaga menatap Chéri dengan ekspresi datar.
"Ya," jawab Chéri seraya memaksakan senyum. "Aku Chéri Dutchskova."
Tentu saja bukan dia, batinnya kecewa. Kenal juga tidak!
"Begini, Chéri…" keong buncit berkepala botak itu membuka pembicaraan setelah Chéri duduk di sofa di seberang meja. "Setelah kami melihat bahwa kematian ayahmu disebabkan oleh terlalu banyak kerja, kami menganggapnya sebagai kecelakaan dalam pekerjaan," tuturnya lugas dan teratur. "Maka Moscovich Corporation, perusahaan induk dari departemen store, tempat ayahmu bekerja, memutuskan untuk memberikan santunan kepada keluarga Dutchskovich."
Chéri berusaha menyimak pembicaraan pria itu, sementara setengah pikirannya masih melayang-layang membayangkan wajah pria berambut panjang yang ditemuinya di balai kota.
"Selain itu, Moscovich Corporation juga menyediakan beasiswa untuk bidang kesenian. Jadi, khusus untukmu Moscovich Corporation bermaksud mendaftarkanmu ke sekolah balet di Moskow."
Chéri tercekat dengan kedua mata terbelalak.
"Kami mohon maaf atas kelancangan kami karena telah menyelidiki informasi mengenai dirimu," lanjut pria tua itu.
Chéri masih membeku dengan mulut terkatup, sementara kedua matanya masih terbelalak.
"Tempat tinggal juga sudah kami sediakan, dan… satu hal lagi," pria itu mengeluarkan saputangan dari saku jasnya dan menyeka keringat pada wajahnya. "Kami sudah mengadakan pembicaraan dengan pihak SMU di Moskow agar kau bisa langsung masuk semester tiga."
Bersamaan dengan itu, ibunya muncul di ambang pintu dengan membawa nampan berisi minuman untuk tamu mereka. "Wah! Hebat, Chéri. Cita-citamu akhirnya bisa terwujud!"
Tiba-tiba, Chéri tertunduk. "Aku tak bisa menerimanya," katanya muram.
Ibunya dan kedua tamu mereka menatap Chéri dengan terkejut.
"Ayah meninggal gara-gara aku," gumam Chéri parau. Bahunya mulai bergetar akibat menahan tangis yang sudah mau meledak. "Gara-gara keegoisanku…" Chéri mulai terisak, kemudian bangkit dan menghambur ke keluar ruangan untuk melarikan tangisannya dari pandangan semua orang.
Aku tidak bisa lari dari kesedihan, ia menyadari.
Bagaimana bisa aku tetap pergi ke Moskow?
Ayah meninggal gara-gara aku!
Ayah pasti takkan memaafkanku, batinnya getir. Lalu berhenti di ujung koridor di teras samping dengan napas tersengal dan tersengak-sengak.
Tangisnya sudah meledak sejak ia melarikan diri dari ruang tamu. Tapi air matanya baru tertumpah setelah ia sampai di ujung koridor dan membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya yang bertumpu pada railing. Menangis sepuas-puasnya.
"Walaupun kau berkata begitu sebetulnya kau ingin pergi ke Moskow kan, Chéri?"
"Hah!" Chéri memekik dan terperanjat. Kemudian menyentakkan wajahnya ke belakang.
Pria muda yang duduk di sebelah pria tua tadi, tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. "Wah, pemandangannya menakjubkan!" Pria itu mendekat ke arah railing di sisi Chéri.
"Kau membuntutiku, ya?" Chéri menggeram tak senang. Lalu menyeka air mata dari pipinya.
Pria berambut pirang tembaga itu tersenyum. Wajahnya sedikit mirip dengan pria yang ditemuinya di balai kota. Sama-sama seperti boneka migi. Tapi wajah pria ini terlihat jauh lebih lembut dan putih bersinar seperti wajah perempuan. Bulu matanya lentik dan lebat seperti hasil extension. Bibir tipisnya berwarna merah seperti dipoles lipstik.
Jika tidak memperhatikan postur tubuhnya, orang-orang pasti akan mengira dia perempuan.
"Namaku Mikail Volkov," pria cantik itu memperkenalkan diri.
Suaranya terdengar lembut sekaligus tegas, tapi bisa dipastikan kalau dia berteriak akan terdengar menggelegar.
Kelihatannya dia pria sejati, pikir Chéri sedikit konyol.
"Kau datang ke sini untuk membujukku, ya?" Chéri menatap curiga.
Pria itu meliriknya sekilas, kemudian menerawang ke seberang pekarangan. "Kalau tak salah ingat, kau lahir tanggal tujuh bulan tujuh…"
Chéri memekik terkejut. "Kalian menyelidiki informasiku sampai sejauh itu?"
Pria itu tersenyum tipis, tapi tidak mengalihkan pandangannya dari pemandangan di seberang pekarangan. "Moscovich Corporation mendata semua informasi keluarga karyawan untuk tunjangan kesejahteraan," katanya datar.
Chéri terdiam.
"Apa kau percaya ramalan zodiak?" Mikail bertanya seraya menoleh.
"Ya…" Chéri menjawab ragu—tak yakin ke mana arah pembicaraan pria itu sebenarnya.
"Menurut teori numerologi, orang-orang yang terlahir pada tanggal tujuh akan menjadi bintang besar yang gemerlap," pria itu menjelaskan. "Tapi selalu ada harga mahal yang harus dibayar."
Chéri mengerutkan keningnya.
"Butuh pengorbanan seseorang untuk setiap tingkat ketenaran."
Chéri mengerjap dan beradu pandang dengan pria itu.
Pria itu tidak berkedip.
Dia tidak bercanda, Chéri menyimpulkan.
"Jika seseorang yang dikorbankan adalah pusat duniamu, maka kau akan menjadi pusat dunia!"
Chéri membekap mulutnya dengan telapak tangan.
Pria itu tetap bergeming dengan raut wajah serius. Masih menatap ke dalam matanya tanpa berkedip. Tidak ada keraguan, tidak ada getaran kecemasan.
"Ibumu bilang, kau meminta karangan bunga gardenia sebagai jawaban apakah kau boleh pergi ke Moskow."
"Tapi karena keinginanku itu…" Chéri menyela.
"Ayahmu meninggalkan bunga gardenia sebagai pesan terakhirnya," pria itu menimpali. "Bunga gardenia yang mengatakan, pergilah ke Moskow!"
Chéri kehilangan kata-katanya sekarang. Pria itu sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berkilah.
"Apa kau tahu arti simbol bunga gardenia?"
Chéri tetap bergeming.
"Indah, kuat dan sempurna!" Pria itu menjawabnya untuk Chéri.
Chéri tertunduk menghindari tatapan pria itu.
Pria itu melangkah mendekatinya. "Pada hari kau menarikan marionette di hari kematian ayahmu…"
Chéri menelan ludah.
"Ada seseorang yang terkesan pada bakatmu. Namanya Rafaél Moscovich." Pria itu bercerita. "Dia adalah putra dari pemilik Moscovich Corporation. Dialah yang mencari informasi tentang dirimu karena berharap dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu. Berkat campur tangannya di klan Moscovich, santunan dan bea siswamu dapat diturunkan dengan begitu mudah. Aku datang padamu atas permintaannya. Aku datang padamu sebagai pelindung sekaligus takdir yang tak dapat dibantah."
Chéri memekik ketika tangan pria itu tiba-tiba mencengkeram kedua bahunya. Lembut, tapi mengejutkan. Seperti metode hipnotis yang tak terelakkan.
"Chéri… ikutlah ke Moskow!" Pria itu menandaskan.
Chéri tergagap dengan mata dan mulut membulat.
Dua jam kemudian…
Chéri sudah berada di pesawat Aeroflot dan mendarat di Bandara Internasional Domodedovo tiga jam kemudian.
"Itu sekolah baletmu," Mikail Volkov memberitahu ketika mereka melewati gedung Royal Academy.
"Wah!" Chéri berseru gembira seolah tidak pernah terjadi sesuatu beberapa jam yang lalu. "Kita lihat-lihat sebentar, yuk!"
"Tidak bisa," sergah Mikail. "Sekarang sedang liburan tahun baru. Lagi pula Rafaél sudah menunggumu," jelasnya.
Pada saat itu mereka sedang berada di dalam taksi menuju kediaman Rafaél Moscovich.
Chéri bergeming. Malaikat penolongku, katanya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
tintakering
lanjutkan cheri😊
2022-09-09
0