“Mbak benar-benar terkejut waktu mendengar kabar rencana pernikahan kamu. Tetapi Mbak lebih terkejut lagi, waktu Ella kabur dari rumah,” ujar wanita paruh baya tersebut. Dia menatap Ghina dengan tajam.
“Aku minta maaf, Mbak. Aku nggak bermaksud membuat Ella seperti itu,” ucap Ghina lirih.
Sri hanya menatap Ghina dengan tajam, tanpa mengucapkan apa pun. Wanita itu masih memberi waktu pada Ghina untuk berbicara.
“Hubungan aku dengan Ella jadi semakin renggang, sejak Albert melamarku. Tapi bukan maksud hatiku untuk berpaling dari mendiang ayahnya Ella,” jelas Ghina.
“Mbak paham, Ghina. Kamu masih cukup muda untuk memiliki pasangan baru. Dan itu nggak salah.” Sri menjeda kalimatnya sejenak. “Sejak Avel Erlangga meninggal, kamu banting tulang sendirian merawat Ella. Sakit pun kamu tetap bekerja. Ku rasa sudah saatnya kamu beristirahat,” lanjut kakak ipar Ghina tersebut.
Kedua mata Ghina berair mendengar kalimat Sri. Dia pikir saudara iparnya itu akan menentang niatnya untuk menikah lagi. Tidak disangka wanita itu justru mendukungnya.
“Tetapi Mbak mengkhawatirkan kondisi mental Ella. Kemarin dia menangis saat meneleponku. Kelihatannya dia shock banget,” ujar Sri.
“Aku yang salah, Mbak. Dia sangat shock saat aku mau menikah lagi dengan majikan sendiri,” ujar Ghina di sela-sela tangisnya.
“Ghina …”
“Aku bukan ibu yang baik, Mbak. Aku selalu sibuk bekerja tanpa pernah memperhatikannya.” Ghina menyeka air matanya dengan tangan. “Dan sekarang, tiba-tiba aku malah meminta izin untuk menikah lagi dengan berondong yang juga majikanku.”
Sri menyandarkan punggungnya ke kursi. Jemarinya menggenggam tangan Ghina, untuk menenangkan wanita tiga puluh empat tahun itu. Dia membiarkan Ghina menumpahkan air matanya, hingga perasaan janda muda itu cukup tenang.
“Mbak memang sudah tahu siapa Albert itu, walau pun tidak mengenalnya dengan baik. Yang mau Mbak tanyakan, apa dia serius sama kamu?” tanya Sri. “Apa dia bisa mengayomi kamu dan Ella nantinya?” tambah wanita itu.
Ghina terdiam cukup lama. Dia tidak berani menjawab pertanyaan dari Sri. Selama ini Albert memang tampak baik di hadapannya. Tetapi apakah semua yang dilakukannya itu tulus?
“Maaf kalau Mbak cerewet begini. Bukannya mau merendahkan, tapi kamu kan sudah janda dan memiliki anak. Sedangkan dia masih sangat muda, dan karirnya cemerlang. Mbak cuma nggak mau kamu menyesal nantinya,” ujar Sri ceplas ceplos.
“Kalau dari yang aku lihat, dia sangat serius. Sikapnya dewasa, meskipun usianya masih sangat muda,” jawab Ghina mengutarakan pendapatnya.
“Sudah berapa lama kamu kalian menjalin hubungan?” tanya Sri.
“Itu …” Ghina ragu menjawabnya. Sri masih menatap Ghina, untuk menanti jawaban. “Sekitar delapan bulan,” ucap Ghina beberapa saat kemudian.
“Astaga! Udah lama, ya. Tapi nggak terjadi apa-apa dengan kalian, kan?” Sri memandang perut Ghina.
“Aku tetap menjaga diriku kok, Mbak. Itu sebabnya kami ingin segera meresmikan hubungan ini,” sahut Ghina. “Tapi sekarang aku jadi berpikir dua kali. Aku takut melukai hati Ella dan keluarga lainnya.”
“Mbak pribadi sih nggak bisa melarangmu. Kamu berhak bahagia. Tapi yang paling penting adalah perasaan Ella. Dia sangat berharga bagi kami,” ucap Sri. “Apa pun keputusanmu nanti, semoga itu yang terbaik untuk kalian berdua. Kamu tetap adikku selamanya,” ucap Sri sambil menitikkan air mata.
“Terima kasih, Mbak.” Ghina menangis tersedu-sedu di dalam pelukan kakak iparnya.
“Kayaknya udah hampir magrib. Mbak harus pulang. Kamu dan Ella berbicaralah dari hati ke hati. Aku yakin Ella pasti bakal mengerti, dia kan sudah dewasa,” ucap Sri ketika Ghina sudah cukup tenang.
“Baik, Mbak.”
Sri lalu meninggalkan rumah Ghina. Mentari mulai bersembunyi di ufuk barat. Suasana di gang sempit itu cukup temaram, karena lampu-lampu masih belum menyala.
“Ella, mau sampai kapan kamu bersembunyi di situ?” tanya Bibi Sri di hadapan rumpun bunga bougenvil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments