Pagi hari di rumah Albert. Ghina bekerja seperti biasa. Dia mencuci piring setelah menyiapkan sarapan untuk tuan mudanya. Seorang pria muda berjalan memasuki ruang makan, yang hanya dibatasi dinding kaca dengan dapur. Pria itu melempar sebuah senyuman manis pada Ghina.
“Loh, kamu belum pergi, Al?” Ghina menyapa majikannya dengan canggung.
“Belum,” jawab Albert singkat. Dia duduk di meja makan dengan santai. Pria itu telah mengenakan kemeja putih dan setelan jas berwarna gelap. Ganteng sekali.
Ghina mengalihkan pandangannya dengan cepat, dari sang majikan. Pria itu selalu membuat jantungnya berdegup kencang. “Sejak kapan ya aku menyukainya?” tanya Ghina pada dirinya sendiri.
Berbeda dengan Ghina, sikap Albert sangat tenang dan tidak canggung sama sekali. Dia menyantap sarapan yang telah disediakan oleh Ghina. “Gimana Ella tadi malam?” tanya Albert sembari memotong toast dengan pisau dan garpu.
Ghina menghembuskan napas dalam-dalam. “Aku belum berbicara padanya. Tadi malam setelah pulang kerumah, dia langsung mengurung diri di kamar dan melewatkan makan malam,” jawab Ghina dengan wajah muram.
“Terus tadi pagi?” tanya Albert lagi.
“Dia udah nggak ada di rumah, ketika aku bangun tidur,” tukas Ghina.
Albert tidak membalas kalimat Ghina. Dia hanya menatap wanita itu dalam-dalam, sambil menghabiskan sarapan paginya. “Kamu nggak makan? Yuk, sekalian makan bareng aku. Ini cukup untuk kita berdua,” ujar Albert.
Ghina menggeleng pelan. “Gimana aku bisa sarapan dengan nyaman, kalau putriku sendiri aja nggak makan dengan benar,” gumam Ghina. “Kayaknya dia marah banget sama aku. Hatinya pasti sangat terluka,” sambungnya.
“Jangan seperti itu, Ghina. Kita harus tetap sehat, untuk menghadapi Ella,” tegur Albert. Pria itu menyodorkan sepiring toast dan segelas susu hangat pada Ghina. “Makanlah, wajahmu kelihatan pucat sekali.” Desak Albert.
Albert lalu memotong toast menjadi beberapa bagian kecil, lalu menyuapkannya pada Ghina. Sikap tuan muda itu, membuat air mata Ghina terus mengalir tanpa henti. Setiap gigitannya, dia selalu teringat wajah sang putri yang keadaannya tidak ia ketahui.
Albert berpindah duduk ke kursi di samping Ghina. Dia lalu merangkul wanita itu. “Kamu harus sabar, Ghina. Dia itu cuma shock, karena tidak pernah menyangka kalau kita memiliki hubungan,” bisik Albert di samping Ghina.
“Tapi …” Air mata Ghina semakin deras.
“Dia masih remaja. Emosinya sangat labil. Kita yang harus sabar menekati dan memberinya pengertian,” ujar Albert berusaha menenangkan Ghina.
“Apa kita akan tetap melanjutkan rencana pernikahan ini?” tanya Ghina dengan ragu.
“Tentu. Memangnya kamu mau, kita menjalani hubungan sembuyi-sembunyi seperti dulu?” Albert gantian memberikan pertanyaan.
Ghina menggelengkan kepalanya dengan kuat. Wanita itu meraih selembar tisu lalu mengusap air matanya. “Mungkin aku bukan hanya sosok ibu yang buruk. Tetapi juga wanita yang egois dan nggak tahu diri,” bisik Ghina dengan suara bergetar.
“Kamu bukan orang yang nggak tahu diri. Kamu cuma ingin memperjuangkan kebahagiaan yang selama ini tertunda,” timpal Albert.
“Kamu sudah berbaik hati menerima aku bekerja di sini, walau pun memiliki banyak kekurangan. Tetapi aku …” Ghina menghentikan kalimatnya yang belum selesai. Air matanya kembali tumpah. “Tapi aku malah mencintai majikanku,” imbuhnya.
“Ghina, sudah kukatakan ini bukan salahmu. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu masih berhak menerima kasih sayang dan hidup bahagia seperti orang lain.” Albert menegaskan kalimatnya. Dia menggenggam tangan wanita itu erat-erat.
“Apa kamu tahu? Dulu aku juga sangat berat menerima kenyataan, kalau ibuku akan menikah lagi. Saat itu aku masih SMP,” cerita Albert. Ghina melebarkan matanya, mendengar cerita masa lalu sang majikan yang belum ia ketahui.
“Tetapi kemudian apa yang terjadi pada hidupku?” Albert menjeda kalimatnya sebentar. “Lambat laun aku bisa menerima kehadirannya di antara aku dan ibuku. Aku juga melihat bahwa ibuku lebih berbahagia setelah bersamanya.” Albert mengakhiri cerita masa alunya.
“Ini berbeda dengan kisahmu, Al. Ibumu tidak menikahi berondong, seperti yang akan kulakukan saat ini,” ucap Ghina.
“Kamu dan aku hanya berbeda sembilan tahun. Lalu di mana masalahnya?” Albert tidak setuju dengan kalimat Ghina yang terakhir.
Ghina mengangkat kepalanya, dan menatap pria itu dari dekat. kedua tangannya menyentuh pipi pria tampan tersebut. “Al, maafkan aku,” ucap Ghina dengan suara parau. “Sepertinya aku butuh waktu untuk menghadapi ini semua,” lanjut Ghina.
“Kamu percaya kan, kalau aku bisa menjadi suami yang baik. Aku menyayangi kalian berdua, dengan porsi yang berbeda.” Albert masih bersikukuh dengan pendapatnya.
“Aku percaya padamu, Al. Justru aku meragukan diriku sendiri. Apa aku ngak terlalu egois pada kalian berdua?” balas Ghina.
Albert mengusap rambut Ghina dengan pelan. “Baiklah, aku akan memberimu waktu,” ucap pria itu. Ghina bernapas lega.
“Tapi di saat yang sama, aku juga akan membujuk Ella untuk menerima keputusan kita,” imbuh Albert.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments