Bruk! Ella menghempaskan tubuhnya ke kasur. Tas sekolah dan seragamnya dia lempar ke sembarang tempat. Kedua mata Ella menatap ke arah jendela yang menghadap ke halaman samping rumah.
Tetesan air hujan masih melekat di pepohonan. Udara sejuk menusuk ke kulit Ella yang hanya mengenakan pakaian tipis. Langit masih berwarna kelabu tanpa sinar matahari.
“Di luar masih hujan lebat. Mama juga belum pulang. Kalau bukan karena dia, aku pasti masih kehujanan di luar sana,” gumam Ella.
Dia sedikit menyesal, kenapa harus pria itu yang memberikan perhatian padanya. Tatapan matanya yang khawatir, membuat hati Ella merasa perih. Gadis berambut hitam itu teringat obrolannya dengan Albert di mobil tadi.
“Huh, katanya dia akan menurunkan aku di halte? Tetapi dia malah menekan gas mobilnya dengan kecepatan penuh sewaktu mendekati halte. Dasar cowok licik!” ucap Ella menggerutu.
Sebenarnya aku nggak mau berantem sama dia. Tetapi hatiku benci banget melihat senyumnya dan tatapan matanya yang selalu mengkhawatirkanku. Ah, nggak. Dia bukan khawatir padaku, tetapi pada mamaku.” Ella berbicara pada dirinya sendiri.
“Lihatlah tadi dia ngomong apa? Memangnya kenapa kalau aku yang datang?” Ella menirukan omongan Albert tadi. “Dia itu pura-pura bodoh atau emang lugu, sih? Masa dia nggak ngerti gimana perasaanku, yang melihat mama dan diam au menikah?”
Air mata mengalir di sudut mata Ella. Pepohonan terlihat menari-nari tertiup angin. Seolah makhluk hidup itu pun berupaya menghibur Ella yang tengah lara.
“Udah, ah. Ngapain mikirin dia terus? Albert aja udah ngomong berulang kali, kalau dia nggak akan mengubah niatnya untuk menikahi mama.”
Ella bertekad untuk mulai melupakan perasaannya pada pria itu. “Mendingan aku beresin rumah aja, deh. Daripada galau terus.”
Meskipun Ella sedang bermusuhan dengan Ghina, tetapi gadis itu masih tetap mengerjakan tugas rumah dengan baik. Sejak dulu ketika mamanya bekerja di rumah Albert, Ella membantu menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk memasak dan menyetrika pakaian.
Ella menyusun buku sekolahnya ke dalam lemari buku. Tiba-tiba matanya menangkap secarik kertas dan beberapa lembar uang di antara sela-sela buku. Ella pun mengambilnya. Ternyata Ghina menulis sebuah pesan dalam kertas itu.
“Jumlahnya banyak banget? Kalau dikurangi dengan uang sekolah dan uang sakuku sebulan, sisanya masih ada delapan ratus ribu lagi,” gumam Ella setelah menghitung nominal yang diberikan oleh Ghina.
“Damn! Kenapa banyak banget? Biasanya uang sakuku cuma dua ratus ribu sebulan. Itu pun harus dihemat untuk ongkos angkot ke sekolah,” sambungnya.
Jika biasanya Ella senang menerima uang jajan lebih, maka sekarang justru sebaliknya. Hati kecilnya merasa ada sesuatu yang aneh. Terlebih jika mengingat gaji mamanya sebagai asisten rumah tangga, tidak begitu besar.
“Ngapain aja mama bersama Albert di rumah itu? Kenapa gajinya makin gede?” gumam Ella curiga.
“Ah, jangan-jangan uang ini bukan dari mama, tetapi dari cowok itu? Apa Albert mau menyogokku biar merestui pernikahan mereka?” tuduh remaja itu.
Drrrtt! Ponsel Ella yang berada di atas meja berdering. Bocah itu langsung memeriksanya.
“Udah makan, La? Aku minta maaf. Jangan ngambek lagi, ya?” tulis Albert dalam pesan singkatnya.
“Aku juga minta maaf karena udah maksa nganterin kamu pulang. Karena aku nggak mau kamu sampai sakit,” tulis Albert lagi dalam pesan berikutnya.
Ella meletakkan ponselnya ke atas meja. Air matanya tumpah, bersamaan dengan hujan yang turun semakin deras.
“Apa-apaan sih, dia? Kenapa terus-terusan sok perhatian padaku? Mau berlagak jadi sosok ayah yang baik?” Ella menagis tersedu-sedu di dalam kamarnya. Riuh hujan di atas atap, meredam suara tangisan Ella yang begitu pilu.
“Apakah ini patah hati terbesar yang aku rasakan? Padahal pacaran aja belum. Tapi kenapa hatiku sesakit ini. Rasanya lebih baik dia mengabaikanku selamanya, daripada harus perhatian tapi statusnya berubah,” gumam Ella di sela-sela tangisannya.
Drrrtt! Ponsel Ella kembali berdering. Sebuah pesan dari Albert muncul di layarnya. “La? Tidur? Kalau kamu …” tulis pria itu.
Ella yang penasaran dengan kelanjutan isi pesan Albert, terpaksa mengambil ponselnya dan membaca pesan masuk dari pria itu. “La? Tidur? Kalau kamu sakit mamamu pasti akan sangat sedih dan khawatir. Jadi jangan lupa Makan dan istirahat yang cukup, ya.”
“Damn! Jadi dia beneran perhatian sama aku, cuma karena mengkhawatirkan mama? Rasa cemburu Ella telah mencapai level tertinggi. “Sejak kapan dia kayak git uke mama? Bego banget sih aku, yang selama ini selalu membalas chat-nya tanpa rasa curiga.” Ella mengumpat kesal.
Sejak awal bertemu beberapa tahun yang lalu, Ella mengenal Albert sebagai orang yang hangat. Meski cowok itu cukup pendiam, tapi dia selalu setia mendengarkan curhatan Ella yang saat itu baru beranjak remaja. Jika Ghina pulang terlambat dari rumah Albert, maka pria itu selalu menanyakan kabar Ella. Tak jarang, Albert juga menitipkan makanan kesukaan Ghina untuk dirinya.
Lambat laun, perasaan yang berbeda pun muncul di hati Ella. Sayangnya, dengan tegas pria itu membatasi dirinya, untuk tidak membalas perasaan gadis belia tersebut. Perlahan hubungan mereka pun merenggang, hingga akhirnya Albert datang untuk melamar Ghina.
“Hah! Kenapa aku jadi mengingat-ingat kejadian itu lagi, sih?” Ella mengacak-acak rambutnya sendiri. Bocah itu lalu menyimpan uang yang dia temukan tadi ke dalam sebuah laci.
“Lihat aja nanti. Aku bakal buktikan, kalau aku bukan cuma remaja manja. Aku juga seorang wanita dewasa,” tekad Ella.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments