“Ella, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan tadi malam? Ibumu meneleponku terus,” tanya Maira, teman sekelas Ella.
“Aku nggak apa-apa, kok.” Ella merapikan rambutnya yang berantakan terkena angin, dengan jemarinya yang lentik.
“Beneran nggak ada apa-apa? Ibumu juga berulang kali meneleponku,” timpal Naya. Ella hanya menganggukkan kepalanya yang terasa sedikit pusing.
“Kamu lagi ada masalah, ya? Kamu nggak berantem sama ibumu, kan?” Selidik Maira masih penasaran. Ella mematung mendengar pertanyaan dari Maira tersebut.
“La, kalau ada apa-apa cerita sama kami. Barangkali kami bisa membantu,” ujar Maira lagi.
“Iya, nih. Wajahmu juga terliat pucat banget. Kamu lagi sakit, ya?” timpal Naya.
“Chill, gaes. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma kurang tidur aja. Kemarin aku lagi kangen sama almarhum papa dan pulang telat tanpa mengabari mama,” kilah Ella.
Maira dan Naya saling berpandangan. Tadi malam mereka mendengar sendiri dari ibunda Ella, kalau gadis itu tidak terlihat di makam sang papa. Mereka pun merasa ada sesuatu yang disimpan Ella rapat-rapat.
“Kita ke kelas, yuk. Kayaknya bentar lagi bel masuk,” ajak Ella mengalihkan cerita. Mereka bertiga lalu berjalan di koridor sekolah menuju ke kelas.
“Ugh!” Ella memperlambat langkahnya. Tiba-tiba dia merasa sangat pusing. Tubuhnya seperti melayang di udara. “Kenapa perutku juga terasa perih, ya?” gumam gadis belia tersebut. Dia tetap berusaha berjalan menuju kelas dengan sempoyongan. “Ah, aku baru ingat. Aku belum makan apa pun sejak tadi malam,” gumam Ella.
Gadis itu melirik ponselnya untuk melihat jam. “Masih ada waktu sebelum bel berbunyi. Aku sarapan di kantin aja, deh,” ujar Ella pada dirinya sendiri.
“Kamu ngomong apa?” Naya yang berjalan di depan Ella berbalik badan, ketika mendengar Ella bergumam.
“Aku tiba-tiba pengen makan bakwan di kantin,” ucap Ella.
“Aku juga mau. Pakai bumbu pecel makin joss. Tapi simpan tas dulu ke kelas, biar nggak berat,” kata Naya. Maira pun mengangguk setuju.
Ketiga siswi tersebut memasuki kelas XI IPA 1 untuk menyimpan tas. Ella merogoh sakunya, mencari lembaran uang, untuk membeli sarapan di kantin. Raut wajahnya berubah. Remaja cantik itu lalu mengaduk-aduk seisi tasnya, mencari pecahan rupiah tersebut.
“Gawat! Aku lupa! Uangnya kan sudah aku pakai untuk bayar ojek tadi malam,” batin Ella panik.
Tring! Bel masuk pun berbunyi. Para murid berhamburan memasuki kelas.
“Yah, belnya udah bunyi. Nanti aja pas jam istirahat deh ke kantinnya,” kata Naya.
“Fyuh, syukurlah.” Ella bernapas lega.
Pelajaran pertama adaah matematika. Kelas berlangsung dengan sangat ramai, karena mereka digempur ulangan dadakan. Satu setengah jam berlalu, di rasa sangat singkat oleh para siswa tersebut.
“Yang sudah siap harap dikumpulkan. Hasil ulangan langsung kita periksa,” ujar Pak Guru.
Kelas kembali riuh. Pak Guru tetap pada pendiriannya. Hasil ulangan pun langsung diperiksa bersama-sama. Para siswa memasang wajah tidak karuan, ketika Pak Guru menuliskan jawaban ulangan di papan tulis. Mereka hanya bisa pasrah pada nasib, karena jawaban di papan tulis berbeda jauh dengan yang mereka tulis di kertas ulangan.
“Kalian boleh istirahat sejenak, sampai jam pelajaran berikutnya. Ingat, ujian semester tinggal dua bulan lagi,” ujar Pak Guru.
“Baik, Pak,” jawab seluruh siswa.
“Azura Auristella, kamu ikut Bapak ke kantor,” perintah Pak Guru.
Ella terkejut mendengarnya. Bocah itu jarang sekali dipanggil ke ruang guru. Dengan hati berebar, Ella pun mengikuti langkah Pak Guru menuju ke kantor.
“Ella, ada masalah apa denganmu hari ini?” tanya Pak Guru, ketika sudah sampai di kantor.
Ella menatap Pak Guru dengan wajah bingung. “Saya nggak ada masalah apa-apa, Pak,” jawab Ella.
“Apa kamu tahu? Hasil ulanganmu yang paling rendah hari ini di kelas. Bagaimana bisa peringkat satu di kelas, bisa separah itu? Bapak bukannya ingin membandingkan, tetapi teman-temanmu yang lain saja masih bisa memperoleh nilai lima puluh ke atas,” jelas Pak Guru panjang lebar.
Ella menundukkan kepala, menahan tangis. “Maafkan saya, Pak,” ucap Ella lirih.
Pak Guru menghela napasnya. “Nak, Bapak bukan ingin mendengar permintaan maafmu, tetapi mengetahui keadaanmu,” kata Pak Guru. “Apa kamu sedang sakit? Atau ada masalah?” lanjutnya.
“Saya nggak ada masalah, Pak. Cuma kurang sehat saja,” jawab Ella. Pak Guru langsung mempercayai kata-kata Ella. Sebab, wajah gadis pintar itu terlihat sangat pucat.
“Kamu mau pulang saja? Istirahat di rumah. Nanti Bapak yang akan mengizinkanmu pada guru lain,” usul Pak Guru.
Ella langsung terbayang wajah mama dan Albert. Sejak kemarin dia malas berada di rumah, karena menghindari kedua orang tersebut. “Nggak usah, Pak. Saya istirahat di UKS saja,” tolak Ella dengan halus.
“Kamu yakin? Kalau memang nggak kuat, Bapak akan menelepon ibumu.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Jangan, Pak. Saya beneran nggak apa-apa, kok. Cuma butuh istirahat. Saya nggak mau bikin Mama khawatir,” kata Ella.
“Baiklah. Kalau begitu nanti Bpak minta petugas PMR yang piket hari ini, membuatkan teh manis untukmu. Istirahatlah sampai kondisi tubuhmu membaik,” kata Pak Guru.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Ella pun berisitirahat di ruang UKS selama jam pelajaran kedua. Tiba-tiba Naya dan Maira datang dengan wajah cemas.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments