"Oh, kamu nggak takut sama ambulan rupanya? Kalau gitu akan ku bopong di sepanjang koridor kelas sampai ke parkiran. Mau?" ancam Albert sambil tersenyum jahil.
"Hah? Dia bilang apa barusan?" batin Ella terkejut. Ella membuka selimut yang menutupi wajahnya. Matanya menatap ke arah dinding. Gadis belia itu enggan bertemu pandang dengan si cowok tampan. “Npapain kamu di sini?” kata Ella kemudian.
“Tadinya aku cuma mau mengantarkan ini untukmu. Aku yakin kamu nggak sempat sarapan dan nggak bawa uang tadi pagi. Mama kamu panik banget tadi, sampe nggak mau sarapan karena mikirin kamu.” Albert meletakkan sebungkus roti berbau harum, dan sebotol susu rasa strawberry di atas meja. Itu adalah susu kesukaan Ella. Pria itu lalu duduk di kursi, tepat di depan tempat tidur, menatap Ella sengan seksama.
"Huh! Mama lagi, mama lagi. Kapan dia khawatir padaku dengan tulus?" gerutu Ella dalam hati.
“Tidak kusangka, saat berbincang dengan gurumu, malah mendapatkan berita besar. Kamu pasti sakit karena nggak makan dari kemarin. Mau sampai kapan kayak gini?” lanjut pria itu. Jemarinya mengusap rambut Ella dengan lembut. Dengan cepat gadia itu menepisnya.
Hingga beberapa detik berlalu, Ella tetap bungkam. Dia masih bertahan menatap dinding putih di hadapannya. Gadis itu takut pertahannya akan runtuh, ketika bertemu pandang dengan calon ayah tirinya tersebut.
“Ayo ku antar pulang. Sebaiknya kamu istirahat di rumah saja.” Albert mengusap rambut Ella yang halus. Gadis itu bisa mencium wangi parfum mahal yang lembut, dari lengan bajunya.
Ella menepis tangan Albert dari rambutnya. Air matanya mengalir perlahan. “Kenapa kamu sok perhatian padaku? Biasanya juga nggak pernah?” Ella mengulang kalimatnya yang tadi malam dia ucapkan.
“La, jangan membahas hal itu di sini. Nggak enak kalau di dengar guru,” tegur Albert. “Yuk, ku antar pulang. Aku janji nggak cerita pada mamamu, kalau kami sakit di sekolah,” bujuk Albert.
“Kamu bilang apa aja tadi sama guru?” Ella tidak menggubris ajakan Albert.
“Aku nggak ngomong apa-apa. Aku cuma mengaku sebagai walimu,” jawab Albert. Dia sangat sabar menghadapi Ella yang bersifat ke kanak-kanakan.
"Wali?" ulang gadis itu.
"Iya. Jika nanti kami jadi menikah, maka aku akan menjadi walimu, kan?" jelas pria itu.
Ella semakin tidak bisa menahan air matanya. Luka di hatinya semakin besar. Bagaimana bisa orang yang dia sukai malah menjadi calon ayah tirinya?
“Maafkan aku, ya. Tapi aku tetap nggak bisa menarik kata-katamu malam itu,” ujar Albert.
“Please, jangan ucapkan kata-kata itu lagi. Lebih baik kamu diam dan pura-pura nggak peduli padaku. Agar hatiku nggak terluka semakin parah,” ucap Ella dengan suara parau.
Albert menatap calon anak gadisnya itu dengan tatapan sedih. Tetapi takdir tidak dapat diubah. Bagaimana pun juga, Albert sudah melamar Ghina untuk menjadi istrinya.
“Ya udah. Aku nggak akan paksa kamu pulang ke rumah. Nih, rotinya di makan sebelum masuk kelas. Jangan sampai sakitmu bertambah parah,” ujar Albert.
Ella tidak menjawab kalimat Albert. Gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya di balik selimut. Albert pun memaklumi sikapnya.
“Aku pulang dulu. Kabari aku secepatnya, kalau ada apa-apa,” kata Albert. Dia mengelus kepala Ella dari balik selimut.
Ella merasakan getaran yang hangat namun terasa sakit, ketika Albert menyentuh kepalanya. Air matanya kembali tumpah dengan deras. Albert pun meninggalkan UKS, tanpa berbicara lagi.
Ella mendengar langkah kaki Albert keluar dari UKS. Gadis itu membuka selimutnya, dan melihat punggung Albert menghilang di balik pintu. Ella terpana dengan kegagahan yang dimiliki calon ayah tirinya tersebut, walau hanya melihat bagian belakang tubuhnya saja.
“Kenapa, sih? Cakep-cakep tapi nyebelin? Kenapa juga sainganku harus mama? Jika aku melawan pasti di cap durhaka," ucap Ella kesal.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments