05

Di sebuah ruangan VIP di rumah sakit, seorang gadis terbaring lemah dengan selang infus yang tertancap di tangannya. Dia sudah merasa lelah harus berkali-kali keluar-masuk rumah sakit. Bahkan, ruangan tersebut sudah seperti kamar pribadi untuknya. Sejak tadi gadis itu terus saja menatap pintu, menanti kedatangan sang papa yang katanya sedang berada dalam perjalanan.

"Kenapa papa lama sekali? Aku akan menghukumnya setelah ini," gerutunya. Bibirnya yang tipis terlihat mengerucut.

Beberapa detik selanjutnya, pintu ruangan tersebut dibuka. Gadis itu makin menampakkan raut kekesalan hingga lelaki paruh baya yang barusan masuk pun tak kuasa menahan kekehannya.

"Agnesia Rebecca Januar. Papa datang, Sayang." Janu mendekati putrinya dan mencium kening gadis itu penuh cinta.

"Kenapa Papa terlambat?" Agnes merajuk. Memalingkan wajah saat Janu hendak mencium pipinya.

"Maaf, Sayang. Papa barusan terjebak macet. Kamu tahulah, seperti apa padatnya kendaraan di sini." Janu duduk santai di samping Agnes. Senyumnya mengembang saat menatap putri semata wayangnya. Gadis kecil yang sekarang sudah beranjak dewasa. Meskipun usia Agnes sudah dikatakan cukup untuk menikah, tetapi Janu masih memperlakukan gadis itu seperti anak kecil.

"Tapi Papa telat dan aku harus menghukum Papa!" Agnes bersidekap. Menunjukkan kekesalan di depan Janu.

"Papa sudah tahu apa hukumannya." Janu menunjukkan sekotak ice cream yang barusan dia sembunyikan di belakang. Wajah Agnes yang barusan kesal pun kini tampak semringah. Bahkan, gadis itu bersorak kegirangan. Seperti anak kecil yang mendapatkan permen. "Ingat, jangan dihabiskan. Cukup setengah."

"Pa ...." Agnes hendak merengek, tetapi melihat tatapan Janu yang mulai menajam, gadis itu pun hanya bisa mendengkus kasar. "Baiklah."

Janu pun membukakan box tersebut dan tak lupa membersihkan sendoknya terlebih dahulu. Kemudian, duduk dan menatap bahagia ke arah Agnes yang sedang antusias menyantap ice cream tersebut.

Seandainya mamamu tahu kamu sudah sebesar dan secantik ini. Papa yakin dia akan menyesal karena sudah membuangmu.

Janu segera menyeka air mata yang hendak turun sebelum Agnes melihatnya. Dia tidak mau mendapat berondongan pertanyaan dari gadis itu karena bisa saja dirinya kewalahan menjawab nantinya. Sangat dekat dan manja kepada sang papa membuat Agnes menjadi selalu penasaran jika sang papa sedang kelihatan tidak biasa.

"Sayang, kamu harus jaga diri di sini selama papa pergi."

"Papa mau ke mana?" Agnes menatap Janu dan meletakkan sendoknya begitu saja. Padahal dia baru memakan ice cream tersebut beberapa suap.

"Papa harus ke luar kota selama seminggu."

"Aku ikut, Pa." Agnes merengek, tetapi Janu menggeleng cepat.

"Tidak. Kamu harus tetap di sini sampai papa pulang. Ingat, Sayang. Kamu harus jaga kesehatan." Janu menangkup kedua pipi putrinya dan mengusapkan ibu jarinya di sana dengan perlahan.

"Pa, aku kesepian kalau Papa pergi." Kedua mata Agnes terlihat basah. Janu yang melihat itu pun tersenyum. Selalu saja seperti ini. Jika dirinya hendak ke luar kota, Agnes selalu saja merengek bahkan terkadang sampai menangis meraung. "Papa janji kalau urusan papa sudah selesai akan langsung pulang. Kamu mau minta apa biar Papa belikan."

"Aku pengen boneka Boba yang besar, Pa," ucap Agnes lirih. Janu terkekeh mendengar permintaan putrinya.

"Kalau cuma itu mah gampang. Kamu mau berapa banyak?" tawar Janu. Tersenyum simpul melihat senyuman yang tersemat di bibir Agnes.

"Satu saja, Pa. Nanti kalau Papa pergi, aku akan minta lagi," sahut Agnes. Benar-benar bertingkah seperti anak kecil. Janu pun mengusap puncak kepala Agnes dan mencium kening gadis itu cukup lama.

"Baiklah. Setelah ini Papa akan berangkat."

Kedua orang itu pun mengobrol panjang lebar. Janu dengan sabarnya mendengarkan celotehan-celotehan Agnes yang lebih banyak membuatnya tergelak keras. Gaya bicara, apa yang diucapkan Agnes selalu mampu membuat Janu tertawa. Memiliki putri seperti Agnes adalah kebahagiaan yang luar biasa untuk lelaki itu.

***

Margaretha mengomel sejak tadi. Mengumpati Andra yang belum juga datang. Padahal, setengah jam lalu lelaki itu menghubungi kalau sedang berada dalam perjalanan.

"Bisa-bisa gue telat!" gerutu Margaretha. Memakai kembali sepatunya yang sudah dilepas. Margaretha pun segera bangkit dan memilih untuk pergi sendiri. Dia tidak mau terlambat untuk melakukan interview di salah satu perusahaan ternama. Ya, meskipun Margaretha nantinya hanya akan menjadi office girl, tapi dia ingin menunjukkan yang terbaik.

Setelah memastikan pintu sudah terkunci. Margaretha segera naik motor dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Jam yang masih menunjukkan jam kerja membuat Margaretha bisa leluasa berkendara tanpa harus terjebak macet.

Senyumnya mulai merekah saat menyadari dirinya hampir sampai di tempat tujuan. Tinggal beberapa ratus meter lagi. Namun, tiba-tiba Margaretha merasakan tubuhnya seperti melayang lalu jatuh terpental. Bahkan, motornya pun sudah terseret beberapa meter karena ditabrak dari belakang.

"Arrgghh. Sa-sakit." Margaretha mengerang kesakitan saat tubuhnya mencium aspal hingga membuat beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah. Pandangan mata Margaretha tampak berkunang-kunang sebelum akhirnya dia tidak sadarkan diri.

Satu jam berlalu, Margaretha mengerjapkan kedua matanya yang terasa berat. Dia terkejut saat membuka mata, merasa seperti berada di rumah sakit. Margaretha pun berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi dia meringis saat merasakan nyeri di bagian yang digerakkan.

"Sakit sekali," rintihnya.

"Syukurlah Anda sudah sadar, Nona." Seorang perawat tersenyum saat melihat Margaretha yang tampak kebingungan.

"Sus, saya di rumah sakit?" tanya Margaretha bingung.

"Ya, Anda mengalami kecelakaan. Lebih baik untuk sekarang Anda banyak istirahat, Nona. Apakah ada keluarga Anda yang bisa dihubungi? Biar saya bantu mengabari pada mereka," pinta perawat itu. Namun, Margaretha menggeleng cepat.

"Saya tidak punya siapa-siapa, Sus. Saya anak yatim piatu." Margaretha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Perawat tadi pun menatap nanar ke arah Margaretha yang sudah menunjukkan raut sendu.

"Kalau begitu, tetaplah di sini sampai sembuh, Nona. Saya pergi dulu untuk membantu mengurus administrasi."

Margaretha hanya mengangguk dan menatap perawat yang barusan pergi. Setelah pintu ruangan tertutup, dia menghela napas panjangnya dan mengembuskan secara perlahan. Ya, apa yang diucapkan memang benar. Dia tidak memiliki siapa pun. Hanya ketiga sahabat terbaiknya. Namun, Margaretha sengaja tidak ingin menghubungi mereka karena tidak mau mengganggu ketiga sahabatnya yang sedang bahagia.

"Mar."

Margaretha segera mengusap air mata yang hendak turun dan terkejut saat melihat Andra yang berjalan tergesa mendekatinya. Raut wajah Andra tampak sangat khawatir. Margaretha berusaha tersenyum dan menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Namun, senyumnya memudar seketika saat melihat seorang gadis cantik berjalan di belakang Andra. Menyusul lelaki itu mendekat ke arahnya.

Terpopuler

Comments

nurcahaya

nurcahaya

apakah itu Patricia....
masih misteri dan abu2 hubungan antara Janu dan ortunya etha

2022-09-04

1

Wati Simangunsong

Wati Simangunsong

jngn2 mreka 1 ibu

2022-09-03

1

Robi 89

Robi 89

hatiku ikut sakit jg sedih mar, kamu suka jg ya ma Andra? hiks...hiks...

2022-09-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!