Tak peduli betapa kuatnya orang-orang yang mencegahnya, Daniel keukeh kembali ke ruangan sumber api itu, terus meneriaki nama sang kakak karna mengira Ezra masih di dalam.
"Kakak! Kakak!"
Tanpa rasa takut ia melawan asap bercampur semburan air dari petugas damkar. Dengan keyakinan penuh Daniel pastikan bahwa kakaknya akan ada disana.
Di tempat tersembunyi, Ezra mendengar teriakan seseorang memanggil 'kakak' sempat-sempatnya ia tersenyum.
Daniel? Apa dia sedang memanggilku?
Untuk pertama kalinya Ezra mendengar panggilan 'kakak' dari mulut Daniel untuk dirinya.
Tidak. Kenapa dia yang datang? Bukankah aku sedang menunggu ayah?
Rasa khawatir menyelimuti Ezra. Ia takut jika adiknya itu terkena api. Ia pun keluar dari kamar kecil tempatnya bersembunyi. Kabut asap sisa kebakaran membuatnya terbatuk.
"Kakak! Kak, apa ini Kau?"
Ezra mengangguk cepat. Danniel menarik tangannya lalu memberinya pelukan.
"Trima kasih karna tidak terluka, Kak."
Ezra hanya tersenyum menikmati perhatian ini. Kapan lagi bisa dipeluk oleh adik seperti Daniel, pikirnya.
Aku tidak akan termakan oleh masalah yang aku ciptakan sendiri. batinnya kemudian.
"Ayo, Ezra, kita harus cepat pergi dari sini." Daniel menarik tangan Ezra namun kakaknya itu menahan langkahnya.
"Apa? Ezra katamu? bukankah tadi kau memanggilku kakak?"
"Kau salah dengar. Ayolah, kita bisa celaka."
"Jangan takut. Ruangan ini sangat besar dan itu hanya api kecil."
"Api kecil katamu? Ayolah atau bunda akan khawatir!"
Ezra menggeleng dan melipat tangan diatas perutnya.
"Pergilah, aku sedang menunggu seseorang."
"Hei! Apa yang kalian lakukan? Tidak takut api?" Dua orang petugas dengan sigap menggendong Daniel dan Ezra.
Api kecil telah padam. Tapi kenapa mereka cerewet sekali? kesal Ezra dalam hati.
"Nah! Ini dia! Anak ini, aku melihatnya disekitar sumber api." sahut seseorang saat melihat Ezra yang dibawa keluar dari ruangan berapi itu.
"Heh! Bocah, kau pasti tahu apa yang menyebabkan ada api tiba-tiba, kan?"
Ezra yang merasa tertuduh hanya menyorot tatapan yang melawan."
"Tatapan anak ini seperti psikopat dingin." bisik beberapa orang.
"Ezra, Daniel!" seseorang memanggil. Siapa lagi kalau bukan sang bunda yang terlihat sangat panik. Apa lagi setelah melihat penampilan putra-putrinya yang acak-acakan dan bau asap yang melekat di pakaian yang mereka kenakan.
"Kalian tidak apa-apa sayang?"
Dua anak itu hanya menggeleng dengan wajah datar.
.
.
Rumah sakit.
Jevander dan hampir semua anggota keluarganya mendatangi rumah sakit dengan perasaan panik dan ketakutan luar biasa.
Nana mengalami luka bakar pada bagian kaki kirinya.
Tentu semua orang merasa sedih.
[Periksa CCTV dan temukan penyebab kebakaran itu.] Mario Park memberi perintah melalui telepon. Hari bahagia sang cucu yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang, siapa yang berani mengganggu. Apa lagi cucu perempuannya sampai mengalami luka bakar, tentu saja tuan Mario Park sangat marah. Jika ini terjadi karena kelalaian pihak hotel, pria paruh baya ini tidak akan memberi mereka ampun.
.
.
Malam tiba.
Roze beserta ketiga anak kembarnya baru saja keluar dari hotel setelah beberapa jam.
Roze menyetir dalam keadaan panas hati. Siapa lagi pemicunya kalau bukan Ezra, putrinya yang nakal tak terkatakan.
Pihak hotel telah menunjukkan rekaman CCTV yang memperlihatkan aksi putrinya yang memainkan api untuk menakut-nakuti seorang anak perempuan. Dan parahnya lagi, anak itu adalah putri dari Jevander Park yang saat ini telah dilarikan ke rumah sakit.
Ketiga anak itu tahu ibunya sedang marah. Tak ada yang berani bicara. Dan, Daniel adalah orang yang tak kalah kesal seperti sang bunda. Dia seketika menyesal dengan aksinya yang bak pahlawan ikut melakukan penyelamatan untuk sang kakak. Daniel rupanya telah melupakan kenyataan bahwa kakak perempuannya ini adalah seorang biang masalah.
"Kenapa kau lakukan itu, Nak? Jawab bunda." dengan nada yang hampir tak terdengar Roze mulai mengintrrogasi putrinya.
Daniel dan Dariel memasang pendengaran ingin menyimak apa pembelaan Ezra kali ini.
"Anak itu yang salah, Bunda." jawab Ezra, tatapan dinginnya lurus menatap jalanan.
"Bersalah? Memangnya apa yang sudah dia lakukan
"Bunda mungkin tidak tahu, tapi dia merebut ayah dariku. Dia mengambil ayah kami, Bun." Ezra menangis dipenghujung kalimatnya.
Mobil berhenti melaju kemudian menepi.
Dari mana Ezra tahu tentang ayahnya? Darimana Ezra mengetahui rahasia besar ini? Itulah yang sedang dipikirkan oleh Roze.
Tidak lagi ada rasa marah terhadap Ezra. Yang tersisa hanya rasa kasihan. Inilah yang ditakutkan oleh Roze. Tindakan tak terduga putrinya ini tidak akan bisa dihindari.
Daniel, Darriel, keduanya hanya membisu dalam pikiran masing-masing.
Roze membiarkan putrinya itu menangis selama yang dia mau. Hanya pelukan yang bisa Roze berikan. Sudah tidak mampu lagi memarahi putrinya yang nakal ini.
Hening...
Hanya terdengar tangisan Ezra.
"Sayang, jangan salahkan Nana. Apa lagi menyakitinya. Dia juga saudaramu, Nak. Tidak ada yang salah disini sayang ... Ezra tidak boleh membenci siapapun, Nak. Bunda sedih kalau Ezra seperti ini ..." Roze menangis pilu sembari terus memeluk Ezra. Tidak akan lagi Roze mengelak akan kenyataan ini, yang nyatanya tetap diketahui juga oleh Ezra.
Daniel dan Darriel hanya diam sebagai penonton, setetes pun air mata mereka tidak ikut turun. Benar-benar tidak merasa terharu.
Maaf sayang, disini bundalah yang bersalah karena belum berhasil membuatmu menjadi anak yang baik.
.
Rumah sakit.
Keluarga besar Jevander Park merasa tidak puas atas hasil temuan pihak Hotel A atas perkara api yang telah mengacaukan acara. Bagaimana mungkin seorang anak perempuan kecil bisa begitu berani? Lalu apa yang telah dilakukan oleh orang-orang dewasa saat itu? Kenapa tidak ada yang mengawasinya?
Beberapa jam kemudian.
Hanya tersisa Jevander Park dan kedua orang tuanya beserta mantan istri yang baru saja tiba di rumah sakit. Ibu kandung Nana terihat sangat frustasi atas keadaan yang menimpa putrinya.
Keheningan terjadi saat tiba-tiba muncul seorang gadis kecil dengan mata sembab, rambut terikat tinggi, langkahnya sedikit bergetar.
Tidak salah lagi, anak ini adalah orang yang sama dengan anak yang beraksi dalam video yang baru saja keluarga ini saksikan dalam layar ponsel. Dilihat dari gaya rambut dan pakaian yang ia kenakan.
"Maafkan atas kekacauan kecil yang saya lakukan." ucapnya.
Keluarga itu bingung mau bilang apa terhadap anak sekecil ini. Kenapa dia hanya datang seorang diri? Tidakkah seharusnya orangtuanya mendampingi sebagai etikad yang baik?
"Dimana ayah dan ibumu? Bukankah seharusnya mereka yang datang dan memohon ampun atas kesalahanmu?" Mario Park.
Pertanyaan tegas seorang kakek di depannya mampu membuat Ezra merinding.
"Saya datang dengan bunda. Ayah ... tidak ikut." kemudian dengan takut-takut ia menunjuk seorang perempuan dewasa yang ia sebut sebagai ibunya.
Perempuan itu lalu mendekat. Jevan Park berhasil dibuat terkejut, sangat terkejut atas kehadirannya. Sontak saja pria itu berdiri dari duduknya.
"Saya memohon maaf atas kesalahan putri saya." ucap Roze yang berdiri disamping putrinya. Ia genggam tangan anak itu. Bukan karena tidak menyadari ada Jevan, Roze bahkan tidak menatap pria itu walau sedetik.
"Dimana kau saat kejadian itu? Dia hampir membakar seluruh ruangan dan melukai cucu kami, lalu anakmu datang dan mengatakan itu hanya kekacauan kecil?" Mario Park terlihat sangat marah namun hatinya tidak mampu menyakiti ibu dan anak dihadapannya ini.
"Saat itu saya sedang mengurus anak bungsu saya yang sedang sakit, sekali lagi maafkan saya," Roze lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop yang tidak begitu tebal dan tentu saja berisi uang.
"Hanya ini yang saya bisa berikan. Mohon kiranya diterima sebagai bentuk tanggung jawab saya atas kejadian ini."
Tidak seorangpun mengulurkan tangan menyambut amplop itu, termasuk Jevan yang sibuk menatap Roze, mantan yang ia rindukan diam-diam.
"Bawalah itu. Kami memiliki cukup uang untuk biaya rumah sakit. Lain kali, jaga putrimu dengan baik. Cukup putriku yang menjadi korban. Jangan sampai dia kembali merugikan orang lain." mantan istri Jevan menimpali, membuat Roze kini mengalihkan pandangan kearahnya dan Jevan bergantian.
Roze kini mengarahkan amplop ditangannya kearah Jevan dan mengisyaratkan 'ini ... ambillah'
"Hei, siapa namamu?" Jevan tiba-tiba mensejajarkan tubuhnya dengan Ezra setelah menerima amplop dari tangan Roze.
"Ezra," anak kecil itu hanya menjawab singkat.
"Apa kau tidak terluka oleh api itu?"
Ezra menggeleng. "Tapi kenapa paman berbohong? Aku menunggu paman kembali mengambilku. Tapi paman tidak datang. Aku terpaksa harus bersembunyi dari api."
Degh! Jevan merasa bersalah. Pasalnya saat kejadian itu dirinya menemukan Ezra yang berada tidak jauh dari Nana. Jevan sudah mengajak Ezra untuk keluar bersama tapi anak itu maunya di gendong seperti Nana. Jevan telah berjanji akan kembali untuk mengambilnya tapi ia tidak bisa lagi saat melihat luka bakar putrinya. Namun siapa sangka Ezra adalah pelaku utamanya.
"Maafkan paman, okey, paman merasa panik karena putri paman terluka. Tapi paman mengutus banyak paman lainnya untuk menolongmu. Bukankah itu lebih keren?"
"Tapi paman sudah berjanji akan kembali untukku. Aku menunggu sangat lama" Ezra terus menatap Jevan dengan tatapan yang sulit diartikan. Hanya Roze yang mengerti maksud kalimat putrinya ini. Ezra memang sudah menunggu sangat lama.
Baik mantan istri dan kedua orang tua Jevan merasa heran, kenapa Jevan bersikap seperti ini? Seharusnya ia menasehati Ezra bukannya malah merasa bersalah.
Anak ini sepertinya sangat pendendam. batin Jevan.
"Bawalah putrimu pulang, ini sudah larut malam." ujar ibunya Jevan. Entah kenapa perasaannya merasakan keanehan melihat intraksi putranya, Jevan, dengan anak kecil nakal ini.
"Ayo, Ezra, kita pulang."
"Ini bawalah kembali." Jevan meraih tangan Roze, mengembalikan amplop itu padanya. Tapi, Roze tidak menerimanya. "Ezra, ayolah, paman akan menggendongmu keluar."
Hampir saja anak itu mengangguk dengan tawaran Jevan tapi dihentikan oleh ibunya.
"Tapi, Ezra mau digendong paman ini bunda,"
"Bunda juga bisa menggendongmu." balas Roze.
Roze bersama Ezra pergi dari sana setelah kembali meminta maaf dan berpamitan. Jevan menatap kepergian keduanya. Ezra yang berada dalam gendongan bundanya, membalas tatapan Jevan.
Airmata anak itu membasahi bahu ibunya. ia sangat bersedih seolah ini adalah pertemuan terakhir dengan sang ayah.
Masuk kedalam mobil.
"Bunda jahat, tidak membiarkan ayah menggendongku."
"Apa?"
Roze hampir saja murka. Tubuhnya sudah pegal menggendong Ezra dengan bobot yang tidaklah ringan, tapi masih dibilang jahat.
"Bisakah kau berhenti dulu menyebutkan ayah, Ezra?"
Anak itu memalingkan tubuh dan mukanya. Ia kembali menyebalkan.
"Kalau begitu kenapa tadi tidak bilang saja kalau kau adalah anak ayah? Keluarlah, kembali ke ayahmu dan katakan bahwa kau adalah putrinya. Kita akan lihat apakah ayahmu dan keluarganya senang mendengarnya."
Mendengar kalimat panjang ibunya, Ezra membuka pintu mobil. "Benarkah aku boleh mengatakannya pada ayah?"
"Ya... silakan pergi. Kau tinggallah dengan ayah, ibu tiri, dan kakek nenekmu. Bunda masih punya dua anak lain."
"lalu bagaimana dengan pakaianku, Bun?"
"Tenang saja, sepertinya mereka punya banyak uang untuk membelikan pakaian baru untukmu. Turunlah, tunggu apa lagi?"
Ezra kembali menutup pintu. "Aku tidak akan meninggalkan bunda. Bun, i'm so sorry."
Roze akhirnya tersenyum. "Anak pintar." pujinya lalu menjalankan mobil. Ia sudah tahu, anak ini tidak akan meninggalkannya demi orang lain.
.
.
Astaga, aku nulis sambil mewek😭😭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Rusiani Ijaq
jangan buat Moza bersatu dengan jevan Krn aku tak ikhlas. biar bagaimanapun jevan sangat bersalah Krn tdk mau berjuang dl tuk mempertahankan Moza. dan tdk salah Roze menyembunyikan kehamilan nya Krn tetap tidak akan berpengaruh PD keputusan jevan Krn masa lalu orang tua nya Roze padahal Roze adalah korban keegoisan mereka. tapi......... kan sekarang sdh tamat ya sudahlah
2024-03-17
3
Sweet Girl
bwahahahaha
2024-02-07
0
Sweet Girl
😭😭😭😭
2024-02-07
0