Kembar Tiga

Bulan demi bulan berlalu.

Roze POV

Setelah menyelesaikan pendidikanku di Amrik beberapa bulan yang lalu, aku membuat keputusan besar untuk tidak lagi kembali ke negara kelahiranku, Korea Selatan. Ya, aku memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Indonesia, tanah kelahiran ibu kandungku.

Aku berjanji tidak akan lagi bertemu dengan mereka, orang-orang yang telah membuangku, meninggalkanku, menyakitiku dengan begitu parah.

Hari ini aku terbangun saat waktu masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Aku merasakan mules hebat pada perut besarku. Ada apa ini? Padahal aku sudah memilih tanggal sepuluh hari lagi untuk operasi Caesar.

Yakin bahwa anak-anakku akan lahir, aku meraih ponselku untuk menghubungi seseorang. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang kupekerjakan untuk mengurusku selama 2 bulan terakhir ini.  Ya, aku sedang mengandung anak kembar. Tidak hanya kembar dua, tapi tiga. Setelah menyadari pikiran jahat untuk menghabisi nyawa jabang bayiku, aku sangat bersyukur dan menangis terharu ketika hasil USG menyatakan bahwa aku sedang mengandung anak-anak kembar. Aku berubah jadi tidak sabar untuk bertemu dan sangat menantikan kelahiran ketiga anakku.

Kamar si bibi yang bersebelahan denganku tidak membutuhkan waktu lama untuknya sampai dikamarku.

"Sepertinya aku akan lahiran Bi," ringisku menahan sakit yang begitu tiba-tiba ini.

"kita ke rumah sakit segera." Si bibi dengan sigap membantuku.

Aku dan bibi tiba di rumah sakit dan tim medis langsung bertindak menolong persalinanku.

Di dalam ruangan aku berbasahkan keringat dingin. Banyak hal yang terpikirkan olehku. Bagaimnana kalau operasi ini gagal, bagaimana dengan anak-anakku?

Kenapa ibuku meninggalkanku semudah itu ketika hebatnya sakit melahirkan terasa sangat menakutkan seperti ini? Kenapa dia menyia-nyiakan perjuangannya telah melahirkanku?

Sekitar beberapa jam kemudian, bayiku telah lahir.

Sreeeet. Pintu ruangan dimana aku berada terbuka lebar. Sebuah box bayi di dorong kearahku oleh si bibi dan seorang perawat.

Tiga bayi mungil kini diperhadapkan di depanku. Dua dari mereka terlihat bergerak dengan aktif. Berbeda dengan bayiku yang berada ditengah kedua saudaranya. Dia hanya diam tanpa ekspresi.

Aku mengambilnya dan memeluknya. Air mataku menetes saat kurasakan hembusan napasnya yang terasa sangat pelan.

Aku menahan napasku yang terasa sesak. Kutatap dalam bayiku ini dengan perasaan sedihku yang tak terbendung.

"Sayang, maafkan bunda."

Hal yang sangat kusesali adalah kebodohanku sendiri. Karena sedari dalam kandungan, salah satu anak kembarku mengalami kelainan pada jantungnya. Itu adalah murni kesalahanku sebagai wanita yang mengandungnya.

Saat pria itu pergi meninggalkanku, aku sangat marah. Aku menelan banyak obat-obatan bermaksud untuk menggugurkan kandunganku. Itu yang menyebabkan salah satu dari anak kembarku mengalami hal ini.

Saat itu yang kupikirkan adalah tidak ingin dia terlahir tanpa status yang jelas. Aku tidak ingin dia hidup menyedihkan sepertiku. Hidup menyedihkan yang disebabkan oleh orang tuanya sendiri.

Teman baik? Kekasih? Aku sangat sulit mendapatkan dua hal itu. Ketika mengetahui siapa ibuku, temanku akan menjauh. Apa salahku? Apa dunia gelap ibuku akan ia wariskan padaku sehingga membuat aku terlihat menjijikan?

Aku telah menggantungkan harapan yang terlalu tinggi pada Jevander Park, karena aku pikir dia manusia tulus melebihi siapapun. Aku sangat yakin bahwa dia adalah seseorang yang akan menyayangiku sampai akhir, tidak seperti kedua orang tuaku yang tega meninggalkanku.

Tapi ternyata …

Aku melupakan satu hal. Dia tetaplah seorang anak bagi kedua orangtuanya. Pria yang berasal dari keluarga bahagia dan harmonis. Terpandang  baik dilingkungan keluarga maupun dalam relasi bisnis.  Berbanding terbalik denganku yang tidak perna merasakan apa itu kasih sayang kedua orang tua. Membayangkannya saja pun aku tidak berhak.

.

Hukum tabur tuai tetaplah berlaku. Apa yang telah kutabur, aku menuainya sekarang. Anakku, dia akan menanggung penderitaan dan aku harus menyaksikannya dan menanggungnya sendirian.

.......

6 tahun kemudian.

"Bunda, Bunda ..."

"Ya, sayang?"

"Bun, apa Ezra sudah cantik seperti Bunda?"

Ezra, putri kecil Roze, sedang memutar-mutar tubuhnya dihadapan sang bunda. Anak itu sudah memakai seragam lengkap bersiap untuk berangkat sekolah dihari pertamanya memasuki jenjang SD bersama adik kembarnya yang tampan bernama Daniel Moza.

Ya ... si kembar sudah berusia 6 tahun saat ini.

Roze berhasil melewati keterpurukannya pasca kenyataan pahit yang menimpa dirinya karena harus menerima kenyataan bahwa salah satu putra kembarnya lebih banyak berbaring di ranjang pasien sejak 6 tahun lalu.

Roze sendiri kini bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta, sebagai seorang dokter anak.

Ketiga anaknya, Ezra, Daniel dan Darriel memiliki kecendrungan dan karakter yang sangat berbeda.

Ezralia Moza, anak itu tumbuh menjadi gadis kecil sensitif, pemberani, pemarah dan tidak bisa diajak bercanda.

Daniello Moza, anak itu cenderung diam dan tidak peduli dengan urusan yang tidak penting baginya.

sedangkan si bungsu yang bernama Darriello Moze, dia adalah anak yang sangat ceria. Satu-satunya kesamaan si kembar adalah sama-sama menyayangi bunda-nya, Roze Moza.

"Bye, sayang! Belajar yang bener ya,"

Kedua anak itu keluar dari mobil setelah menyalim tangan bunda-nya. Sayangnya, Darriel tidak bisa menikmati masa sekolah formal seperti dua kakaknya. Ia hanya difasilitasi sekolah nonformal hanya dengan sesekali pertemuan mengingat kesehatannya tidak mendukung untuk beraktivitas normal seperti orang lain.

Cukup mandiri, di hari pertama masuk SD si kembar tidak membutuhkan bantuan bunda untuk mengantar sampai di kelas. Terutama Ezra, gadis kecil pemberani itu sudah tahu merasa malu jika terlihat manja.

Meskipun lahir hanya hitungan detik lebih dulu daripada Daniel, Ezra merasa dirinya benar-benar seorang kakak bagi adik kembarnya itu. Tak jarang Ezra menyuruh Daniel melakukan apapun yang ia kehendaki. Tapi seperti biasa Daniel bukan tipe anak yang gampang diminta ini dan itu seenaknya.

"Niel, sebelum dijemput bunda pulangan nanti, kita cari ayah yuk,"

"Aku tidak butuh ayah. Cari saja sendiri."

"Apa kau tidak penasaran? Lihatlah! Semua teman diantar ayah ibu mereka. Aku hanya ingin tahu rasanya punya ayah."

"Aku bilang tidak butuh ayah. Kau cari saja sendiri. Lebih baik aku belajar biar pintar."

"Ah, Niel payah. Oke, kakak akan cari tahu sendiri dimana ayah."

Ayah ayah ayah terus. Namanya saja kau tidak tahu, apa lagi orangnya. Daniel menggeleng sembari membatin menertawai kakak kembarnya dalam hati.

Hari pertama, seperti biasa semua anak akan memperkenalkan diri. Siapa nama ayah, ibu bahkan adik atau kakak yang mereka miliki.

Ezra adalah anak yang tampil pertama. Dengan semangat ia unjuk jari memamerkan sikap pemberaninya.

"Halo, teman-teman! Nama saya Ezralia Moza. Nama bunda saya Roze Moza. Nama adik saya Daniel dan Darriel Moza. Terima kasih!"

"Hai Ezraa! Apa kamu tidak melewatkan sesuatu?"

"Iya, kamu belum menyebutkan siapa nama ayahmu!"

“Oh, ayah?” Ezra terbungkam. Ini adalah pertama kali ada orang yang berani mengungkit hal itu di depannya.

Sudah pasti jiwa sensi Ezra langsung mencuat saat disinggung tentang ayah. Gadis itu menggaruk kepala seperti sedang kehilangan keberaniannya. Untuk pertama kalinya ia menyesali sikap pemberaninya.

JEVAN

Bebagai adik yang baik, mungkin, bantuan datang dari adik kembarnya yang menuliskan nama 'JEVAN' dengan huruf berukuran besar pada sebuah kertas putih yang ia angkat diatas kepalanya agar terbaca oleh Ezra.

"Nama ayahku, Jevan." jawab Ezra dengan setengah suara. Baru kali ini anak perempuan itu mengatakan sesuatu dengan rasa tidak percaya diri. Tapi  Ia tak peduli lagi itu nama siapa. Yang terpenting, dirinya tertolong dari situasi tidak menyenangkan ini.

Setelah semua siswa selesai memperkenalkan diri, pelajaranpun dimulai. Semua anak terlihat antusias dan berkonsentrasi penuh, termasuk Daniel.

Namun berbeda dengan Ezra. Kepalanya dipenuhi dengan nama ayah yang ia sebutkan tadi. Jiwa penasaran gadis kecil itu tengah mendominasi.

Waktu istirahatpun tiba. Ezra dengan cepat melangkah mendekati Daniel, menarik kembarannya itu ketempat yang sepi.

"Eh, Niel! Jevan  itu siapa? Ayah kita? Kau tahu nama ayah tapi tidak pernah memberitahuku?"

Danie menjawab dengan menggidik bahu.

"Kau tidak tahu? Lalu dari mana kau mendapatkan nama itu?"

"Itu tidak penting, kak. Yang penting kita punya nama ayah."

"Apa? Jadi tadi kita sedang membohongi semua orang?"

"Sesekali berbohong tidak apa-apa." Acuh Daniel.

"Aku tidak percaya. Kau pasti tahu siapa itu Jevan." Ezra terus menuntut.

"Oke, dengar! ... bunda pernah menyebut nama itu. Jelas?"

"Apa? Kapan? Apa kamu yakin?”

“aku yakin. Tapi belum tentu nama itu adalah ayah kita. Saat itu kita masih sangat kecil.” Jawab Danniel.

“O M G, Niel-Niel! Jadi tadi kita hanya berbohong? Sudahlah, itu tidak penting lagi. Ayo kita ke kantin."

.

.

Bersambung...

Like komen dong guyss

Terpopuler

Comments

Rusiani Ijaq

Rusiani Ijaq

aku suka kalau ada sosok anak" yg genius dan dg berbeda karakter jd bacanya serasa hidup

2024-03-17

1

Alya Yuni

Alya Yuni

Itlah kebodohn si Roze buat anknya sengsara

2023-03-25

0

stela

stela

berjuang ya na sampai menimukan ayah kalian💪💪💪

2023-03-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!