Roze melaju menuju rumah sakit. Ya, tentu saja. Rute perjalanannya hanya seputaran Rumah sakit dan tempat tinggalnya. Sangat jarang ia berbelok ke arah lain kalau bukan ke pasar atau mini market untuk belanja kebutuhannya bersama anak-anak.
Sore ini Darriel akan pulang dari rumah sakit untuk itu Roze akan menjemputnya biar sekalian pulangnya jemput dua kembar di hotel.
Saat berjumpa Darriel, tidak seperti biasanya Darriel tampak tidak bersemangat.
"Riel, apa ada yang salah sayang?"
"Ada, Bun. Hari ini aku bertemu dengan putrinya ayah." sangat berterus terang.
Mendengarnya Roze menelan saliva tanpa sadar. Ia pun duduk di tepi ranjang dan memberi pelukan pada anaknya itu.
"Jadi kenapa? Apa anak bunda marah? Cemburu?"
"Dia banyak bercerita tentang ayahnya. Dia memamerkan betapa kerennya ayahnya itu. Aku merasa buruk mendengarnya," Sepertinya Dariel sedang menahan gejolak kesedihan di dadanya.
"Oh, dia banyak cerita tentang ayah? Jadi kalian berkenalan?" Roze tetap menjadi pribadi yang terus ceria dihadapan Dariel. Roze tidak ingin anak ini terus merasa buruk.
"Darriel bukannya harus senang? Bisa mendengar langsung cerita tentang ayah dan itu dari orang terdekatnya." Roze terus menggoda Darriel, bahkan menggelitiknya dan benar kan, Darriel kini tertawa singkat dibuatnya. Anak itu pun sadar bahwa dirinya tidak boleh menyimpan hal buruk terlalu lama. Dia bisa bertambah sakit jika menahan rasa pahit dalam dirinya.
Pikiran Roze melayang teringat kedua anaknya. Tentu keduanya akan bertemu dengan Jevan di sana, ayah mereka. Tapi Roze juga yakin Daniel tidak akan membuat pengumuman yang akan mengejutkan keluarga itu. Beda cerita jika Ezra tahu siapa ayahnya. Kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika mengetahuinya. Untuk sementara, Roze masih merahasiakan tentang kebenaran ini dari Ezra.
Tapi biarlah, setidaknya mereka bisa melihat ayahnya dari dekat walau hanya sebuah kebetulan.
"Ayo pulang Bun, aku merindukan kakak." Suara Darriel membuyarkan pikiran Roze. benarlah, mood Darriel sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya.
"Oh tentu sayang. Mereka juga bersemangat saat mendengar kau akan pulang." Roze memakaikan masker penutup mulut Dariel. Keduanya pun bersiap pulang.
.
.
Pesta ulang tahun Arven tidak hanya dihadiri oleh anak-anak, namun para orang tua pun ikut serta mendampingi anak-anak mereka. Tapi berbeda dengan Daniel dan Ezra yang memang terbiasa mandiri, tidak butuh dampingan orang tua dan telah terbiasa di antar jemput oleh sang bunda ataupun abang ojek.
Acara berlangsung sangat meriah dengan berbagai keseruan. Arven yang berulang tahun terlihat sangat bahagia dikelilingi oleh keluarga besar yang berada di sekelilingnya.
Melihat keluarga yang begitu lengkap dan saling menyayangi menimbulkan sedikit rasa iri di hati Ezra.
Mengapa Arven memiliki banyak sekali keluarga, sedangkan kami hanya punya bunda?
Hati Ezra terasa semakin panas saat melihat orang yang kini ia tahu sebagai ayahnya tidak sekali pun melepas gandengan sang putri yang selalu berada disampingnya. Jika paman Jungki tidak berbohong tentang Jevander Park adalah Ayah kami, maka dia adalah penyebab kenapa ayah meninggalkan bunda. Ezra menancapkan tatapan tajam pada sosok Nana yang terlihat sangat bahagia bersama ayah dan seluruh anggota keluarganya.
Sorot mata seorang pembenci kini terlihat jelas dimatanya. Orang lain turut bahagia dengan Arven, hanya Ezra seorang yang datang membawa gumpalan kebencian.
Saat semua orang sibuk menikmati hidangan, Jevan menghampiri Daniel. Sedangkan Ezra, entah berada dimana anak itu.
"hai, Daniel!"
Yang disapa terlihat acuh tak acuh. Tidak juga membalas sapaan.
Benar kata Arven, anak ini sangat pendiam. batin Jevan.
"Kau sangat tampan dengan pakaian seperti ini." memuji ketampanan Daniel yang mengenakan kemeja berwarna Cream berlapis rompi abu-abu, ditambah dasi kupu-kupu sebagai pemanis. Sayangnya dalam hati Daniel hanya menganggap pujian itu hanya basa-basi.
"Trima kasih," ucapnya, dingin.
"Kau datang sendirian? tidak ditemani bundamu?"
"Aku bukan anak kecil lagi yang harus ditemani orangtua kemana-mana." cukup panjang ia menjawab tanpa ekspresi.
Jevan mengangguk setuju.
"Rupanya kau jagoan yang sangat keren dan berani. Siapa ayahmu, hmm? Keberanianmu ini pasti turun darinya."
Menyinggung tentang ayah, Daniel menoleh menatap Jevan yang sedang memasang wajah ramah di depannya.
Berani-beraninya bertanya siapa ayahku?
"Tidak, paman salah. Aku mirip dengan bunda." jawabnya, kembali mengalihkan pandangan.
"Eh, Darriel? Kamu juga disini?" seseorang menghampiri Daniel. Anak itu terlihat bingung, tak kunjung menjawab. Jevan pun terkejut mengapa sang ibu datang menyapa Daniel dan menyebutnya dengan nama lain.
"Aku Daniel. Bukan Darriel. Anda salah orang, Nyonya." ujar Daniel, tanpa menjelaskan hubungannya dengan Darriel. Sungguh sulit rasanya terlalu banyak mengeluarkan kata-kata.
"Mom, namanya Daniel. Dia teman Arven."
"oh, berarti nenek salah dengar? Daniel ya, bukan Darriel." wanita peruh baya itu tidak sadar jika Daniel dan Darriel adalah orang yang berbeda.
Daniel mengangguk.
"Oh iya, Jevan, apa kau lihat Nana? Mommy mencarinya."
Jevan beserta sang mommy menoleh kesana - sini.
"Api ... ada api ...!"
Tiba - tiba suara seorang pria berteriak dan dalam sekejap membuat panik semua tamu.
.
.
Di perjalanan. Roze berdua dengan Darriel tengah menikmati kemacetan jalan dengan wajah bahagia sembari menikmati kelezatan roti isi.
"Bun, apa Bunda pernah merindukan ayah, sekali saja?"
"Hmmm? Ayah lagi? Riel, tidak ada pertanyaan lain?" meski sedang protes, Roze tetap tersenyum. Seolah pembahasan tentang orang itu adalah hal yang tidak berarti apa-apa, biasa saja.
"Bunda tidak merindukannya lagi setelah kalian lahir. Emmm, sudah berapa tahun ya," Roze menggerakkan jari-jari seolah sedang berhitung.
"Tujuh, Bun." jelas Darriel.
"Ya, benar. Kalian sebentar lagi berulang tahun ke tujuh."
"Bunda yang sabar, ya... meski aku tidak sembuh, tapi aku akan bertahan. Aku akan selalu ada disamping Bunda sampai aku dewasa nanti. Kita berdua akan berkeliling dunia dengan kapal pesiar."
"Apa? kapal pesiar? Hanya kita berdua? Kau tidak perlu mengajak dua kakakmu?"
"Tidak perlu, Bun. Saat itu mungkin mereka akan sibuk berkencan dan menikah."
"Lah, memangnya kamu tidak sama?"
"Tentu tidak, Bunda. Mana ada yang mau dengan pria sakit-sakitan sepertiku. Jadi aku hanya akan fokus menemani Bunda."
"owh, jadi begitu? lalu siapa yang bayar tiket pesiarnya? Bunda apa kamu?"
"Kak Daniel yang akan membelinya, Bun. Dia sudah janji saat besar nanti akan menjadi milyarder muda." dengan enteng Darriel menjawab sambil mengunyah.
Pffff. Roze tak bisa menahan tawa. Ternyata anak-anaknya sering menghayal yang tidak-tidak.
"Bunda jangan tertawa. Apa bunda meragukan kakak?"
Roze menggeleng. "Baiklah, Bunda akan mengingat janjimu ini."
Amin, sayang. Daniel, bunda hanya mampu mengaminkan keinginan dan harapanmu. Seperti katamu, kau akan menjadi dewasa dan mengurus bunda termasuk dua kembaranmu. Amin, ya, Tuhan.
.
.
Hotel A yang ramai pengunjung tiba-tiba dihebohkan dengan alrm kebakaran. Orang-orang berlarian dengan panik.
"Ayo lari Daniel!" Secara spontan Jevan meraih tangan Daniel.
"Daddy...!" suara itu sampai ke telinga Devan dan ia menganggap itu adalah suara Nana. Tanpa sadar ia lepas kembali tangan Daniel yang kini menggantung di udara.
Dengan sikap tenangnya Daniel hanya tersenyum kecil melihat kepergian Jevan yang sedang panik sambil meneriakkan satu nama, Nana.
"Hei! Apa yang kau lakukan? Ayo keluar."
Arven yang sudah melewati Daniel, ia meronta turun dari gendongan papanya untuk menggandeng Daniel. Keduanya berlari keluar bersama.
"Apa kau lihat Ezra?" Daniel berhenti berlari. Ia teringat akan kakak perempuannya itu.
"Aku tidak melihatnya. Ayo cepat. Mungkin dia sudah di luar!" seru Arven.
Tiba di luar, hanya satu yang Daniel pikirkan, yaitu keberadaan Ezra. Ditengah keramaian ia cari-cari kakaknya itu.
Tak lama, terlihat Jevan menggendong seorang anak kecil yang sepertinya sedang tidak sadarkan diri. Pria itu melesat ke dalam mobil. Wajah paniknya menjelaskan bahwa anak ini sedang tidak baik-baik saja.
Bukan, itu bukan Ezra. Dia Nana.
"Niel, mau kemana kau?"
Arven menahan Daniel yang hendak kembali ke ruangan itu.
"Aku akan mencari Ezra. Mungkin dia masih di dalam."
"Tidak perlu. Kata pamanku, orang jahat tidak akan mati dengan mudah." Arven pernah mendengar paman Jevan mengatakan demikian.
"Dia memang jahat, tapi dia kakak perempuanku. Aku harus menjaganya." Daniel menepis tangan Arven yang menahannya susah payah.
.
.
Cukup dulu yaaa..
Apa kalian sudah baca part ini? Komen dong..
jangan lupa tap love, lemparin bunga atau siramin kopi juga ga masalah gess...
Trima kasih guys...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Rusiani Ijaq
jangan sembarangan bicara arven kalau tdk mau kena tatapan tajam Daniel, senakal apapun Erza dia adalah kakaknya
2024-03-17
1
Sweet Girl
Yaaa Jevan ngajarin nya kok gitu...
2024-02-07
0
Sweet Girl
Kamu pasti sembuh Riel...
2024-02-07
0