Di sekolah.
"Daniel! Eh, kakak mau kenalkan kamu dengan seorang paman."
Ezra dengan semangat menggebu memberitahu Daniel. Paman Jungky yang baru dikenalnya beberapa hari ini juga ingin berkenalan dengan Daniel. Kedua anak itu baru saja keluar kelas karena sudah waktunya pulangan.
"Seorang paman?"
"Iya, dia adalah teman baru-ku. Paman bilang, dia juga ingin mengenalmu."
"aku tidak tertarik." Singkat saja Daniel menjawab.
"Oke, kau mungkin tidak tertarik. tapi Niel, paman ini memgenal ayah kita."
"Ayah lagi? Kau pasti ditipu olehnya. Bunda bilang ayah sedang bekerja di luar negeri untuk biaya pengobatan Darriel."
"Ayolah, Niel. Pleeeeasee! Ayo bertemu ayah dan kita tanya kenapa ayah tidak pulang. Mungkin aja ayah tersesat" Ezra dengan pikiran konyolnya.
Niel terlihat mendengus kesal.
"Aku sudah bilang aku tidak peduli. Aku tidak mau punya ayah."
“Daniel!” seru seseorang memanggil.
“hai Arven!” balas Ezra, meski bukan namanya yang dipanggil. Arven adalah kenalan baru dua anak itu. Tepatnya, Daniel. Seorang anak berwajah tampan yang sepertinya disukai semua teman, tapi sayangnya Arven selalu menjaga jarak dari Ezra, si anak nakal itu.
“oia Danniel, tiga hari lagi adalah pesta ulang tahunku. Aku mengundangmu.” Sambil melirik Ezra sekilas, Arven memberi sebuah kartu undangan yang tentu saja disambut oleh Daniel. Melihat itu membuat Ezra tidak senang. Ini sungguh tak adil. Bisa-bisanya Arven tidak mengundangnya. Jangan harap Ezra akan diam saja.
Tin tin tin.
Bunda yang mereka sayangi rupanya telah menunggu. Wajah kesal Niel berubah sumringah.
"Bunda, apa hari ini kita mau jalan-jalan?"
Mengingat hari ini adalah menjelang akhir minggu, Ezra mengingatkan bundanya tentang rutinitas yang biasa mereka lakukan.
"Maaf sayang, jalan-jalannya jangan dulu hari ini, yah, bunda ada janji dengan Darriel."
Kedua anak itu kompak mengangguk paham. Menunggu hingga esok hari bukanlah masalah bagi keduanya.
“Bun, kapan Darriel akan pulang? Apa masih lama?” Tanya Daniel.
“Dua hari lagi adik kalian boleh pulang. Tapi sepertinya pengobatan Darriel akan menghabiskan banyak biaya kali ini. bunda harus bekerja lebih giat lagi. Kalian tidak keberatan kalau bunda pulangnya lama, kan?”
“iya, Bun.” Keduanya mengangguk lesu.
.
.
Keesokan harinya,
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak keluar kelas dengan tertib. Arven berjalan menyusul Danniel ke perpustakaan.
“heh!” suara seseorang mengejutkannya.
“Ezra?” Arven terlihat gugup. Ia melihat kesekeliling tapi lorong ini sedang sepi. Tatapan Ezra cukup menakutkan. Ezra berjalan santai kearah Arven dengan melipat kedua tangan diatas perutnya. Hawa dingin terasa mengelilingi Arven.
“Kenapa kau tidak mengundang aku? Diantara semua teman dikelas, kenapa aku tidak mendapat undangan ke pesta ulang tahunmu? Kamu lupa aku ini ketua kelas? Apa aku ini jelek?” pertanyaan bernada setengah membentak keluar secara beruntun dari mulut galak Ezra.
“Emm. A, a …anu, kartu undangannya habis!”
“Alasan!” kali ini Ezra mendorong lengan Arven. Anak laki-laki itu terlihat semakin gugup. Tubuhnya tersudut ke tembok. Sumpah mati, Arven tidak pernah berniat terlibat masalah dengan ketua kelas nakal satu ini. apa lagi mengundangnya ke pesta ulang tahun, Arven tidak mau suasana pestanya berubah tegang jika dihadiri oleh Ezra yang terkenal sebagai pengacau dan tidak pernah membiarkan orang hidup dengan tenang. Sebagai contoh kecil saja, melihat teman sekelas mereka saling berbisik, melempar senyum ke sesama teman sudah membuat suasana hati Ezra terganggu.
Semua anak mengenal Ezra dengan keberaniannya. Mereka berubah diam hanya dengan satu hentakan tangan Ezra diatas meja. Tak ada yang berani berkutik saat Ezra sudah duduk di dalam kelas.
“Jangan pukul aku! Oke, kau boleh datang ke pestaku.”
“Benar?”
Arven mengangguk cepat dengan wajah pucatnya. Bagaimana tidak takut, dalam penglihatannya Ezra seolah terlihat seperti singa jantan yang akan mencabik-cabik tubuhnya.
“Baiklah! Aku pasti datang.” Ezra berbalik lalu pergi membawa senyum kemenangan diwajahnya.
.
Dikamar, Ezra diam-diam sedang menatap selembar foto dengan mata tajamnya.
Dengan cepat ia menekan ponselnya menghubungi seseorang.
Drrruuut.
[Halo princess!] jawab seorang pria diseberang sana.
“Apa paman yakin orang ini adalah ayahku?”
[Benar cantik, itu dia. Simpan foto itu dengan baik atau bundamu akan tahu dan rencana kita akan gagal.]
“Baik paman.”
Aku harus mempercayai paman Jungki. Aku hanya ingin bertemu ayah dan menanyakan kenapa dia tidak pulang dan menemui kami.
Tok tok tok.
“Ezraaa! Buka pintu!” suara datar milik Daniel terdengar.
Ezra berlari membuka pintu setelah menyembunyikan lembar foto ke dalam tas miliknya.
“kau tidak bersiap?”
“Bersiap mau kemana?”
“cari kado untuk Arven.”
“heh? Pergilah. Aku tidak ikut.”
“kenapa tidak ikut? Bukankah kau memaksa Arven untuk mengundangmu?”
“Yah? Jadi Arven mengadu? Dasar tukang ngadu. Aku tidak ada niat untuk pergi. Tadi aku sedikit memberinya pelajaran kalau aku bukan orang yang bisa diremehkan.” Arven hanya mampu menggeleng malas.
“Yakin tidak ikut? Bagaimana kalau Arven tanya kenapa tidak ikut?”
“Tenang. Dia tidak akan bertanya kenapa aku tidak datang. Yang ada dia pasti senang dengan ketidakhadiranku.”
“Ya udah, aku jalan dulu sama bunda.”
Setelah kepergian bunda dan adiknya, dengan gerak cepat Ezra bergegas memakai jaket lalu berlari ke dapur mengemas botol yang berisi merica bubuk.
Kalau sampai paman Jungki menjahatiku, matanya akan berkenalan dengan dasyatnya serbuk merica ini. Dasar si Ezra, isi otaknya tidak jauh-jauh dari hal kriminal.
Karena baru saja anak kecil itu mendapat sms dari Jungki yang memberitahukan bahwa paman baru itu akan mengajaknya menemui sang ayah, Ezra nekad untuk mempercayai orang dewasa yang belum lama dikenalnya itu. Untuk itulah ia membawa serbuk merica sebagai senjata untuk berjaga-jaga.
.
Ditempat lain, Roze bersama putra pendiamnya memasuki sebuah mall untuk berburu kado untuk teman anaknya itu.
“Niel, apa kakakmu benar tidak akan pergi ke pesta teman kalian?”
“Tidak ikut Bun, bagus kalau Ezra tidak ikut. Karena Arven memang tidak mengundangnya.”
“Tidak di undang? Bukankah semua teman diundang?”
“Karna Ezra nakal, Bun.”
Roze menanggapinya hanya dengan mengangguk-anggukan kepala. Tidak usah diherankan. Ezra memang begitu. Roze hanya bisa coba memahami putrinya itu sambil menasihatinya pelan-pelan. Tidak masalah jika anaknya itu akan bersedih karena tidak bisa menghadiri pesta temannya. Itu bagus demi ketentraman semua orang.
Masuk ke sebuah store khusus anak-anak, tak butuh banyak waktu bagi Daniel untuk menentukan pilihannya. Anak itu hanya menunjuk sebuah mainan yaitu mobil remot. Sedangkan dirinya saja belum pernah memiliki mainan yang dapat dikendalikan oleh remot. Paling juga bunda belikan mainan yang berbatre saja.
“Daniel, ayo pilih juga mainan untukmu.” Tawar si bunda. Daniel ngerti itu hanya basa-basi. Bunda tidak mungkin mau buang-buang uang untuk membelikannya juga. Lagi pula, ia teringat akan Darriel, adik kembarnya. Ia merasa kasihan jika bunda hanya beli satu untuk dirinya saja.
“Buat Arven saja, Bun.” Jawabnya singkat. Dengan senang hati Roz pun membayar. Meski hanya sebuah mobil mainan, Roze tetap menyayangkan uang dua ratus lima puluh ribu miliknya melayang.
“Daniel!” Seorang anak laki-lagi memanggil Daniel ketika hendak keluar dari mall. Bocah itu ialah Arven.
“Arven?” balas Daniel.
Deg…
Wajah Roze berubah pucat ketika tak sengaja bertemu tatap dengan seorang yang tengah menggandeng tangan teman kelas Daniel itu. Tak hanya Roze, reaksi orang itu juga sama tak kalah terkejut.
Dua pasang mata saling menyorot penuh makna, membuat dua bocah laki-laki itu bertanya-tanya dalam hati.
.
bersambung...
Bestie... Kalian sehat kan?😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Rusiani Ijaq
siapa tuh, tp kan anak javen peyempuan
2024-03-17
4
Sweet Girl
eh eh siapa dia...???
2024-02-07
0
Sweet Girl
Anak baik ...
2024-02-07
0