Rania merasa risi karena Yuda terus saja memperhatikan dirinya makan. Bahkan sekadar ingin membuka mulut untuk memasukan nasi tak luput dari tatapannya. Rania jadi serba salah sendiri.
Sesekali Rania menyuapi Rena. Mengalihkan sedikit kerisiannya karena terus ditatap. Tak ada niat sedikitpun Yuda untuk bergeser dari posisinya. Dalam hati Rania terus saja menggerutu kesal. Apakah dia tidak pegal sedari tadi berdiri? Rania Terus saja membatin.
Mungkin karena kesal sendiri sebab Rania makan begitu lelet dan terlihat tidak berselera membuat Yuda mengeram. Sejurus kemudian, Yuda merebut piring yang dipegang oleh Rania, ia bermaksud untuk menyuapi Rania.
"Sini, biar saya suapi. Cara makan kamu membuat saya gatal ingin menyuapi." ujar Yuda seraya menarik paksa piring. "Rena sayang geser sedikit. Daddy duduk di tengah."
Rena menggeleng. "No, Dad! Rena mau dekat Mommy." Rena langsung memeluk lengan Rania.
"Tuan saya bisa makan sendiri...."
"Stttt, stop! Jangan protes! Bisa nurut, gak?"
"Dad, jangan marahin Mommy!" bela Rena..
"Girl, Dad bukan marahin Mommy. Dad cuma ngasih tahu Mommy saja."
"Jelasinnya pelan-pelan Dad."
Yuda memegang pelipisnya ia tidak menyangka anak gadisnya ini ternyata begitu pintar berbicara.
"Oke, Dad ngasih taunya pelan-pelan."
Yuda lalu menarik kursi kecil ia letakan di depan Rania. Lalu ia duduk di sana.
"Sayang, Mommy-nya Rena kalau makan itu yang benar, ya. Dari tadi makan tapi nasinya. masih sama gak berkurang." Yuda mengambil nasi dengan sendok lalu mendekatkannya pada Rania. "Sekarang buka mulutnya." titah Yuda dengan sendok yang berisi nasi sudah ada di depan mulutnya.
Rania bergeming. Ia merasa mimpi diperlakukan seperti ini oleh pria yang notabene atasnya.
"Saya bisa sendiri...."
"Saya bilang aaa, buka mulutnya," sela Yuda penuh penekanan.
"Makan Mommy. Biar gak sakit lagi."
'Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Kenapa ayah dan anak ini seperti kerja sama ingin menjebakku dalam posisi yang canggung ini,'
"Rania," panggil Yuda karena ia malah diam.
Terpaksa Rania membuka mulutnya. Rasanya aneh saja disuapi seseorang yang baru ia kenal. Belum juga nasi yang ia kunyah ditelan, Yuda sudah kembali menyodorkan sesondok nasi.
"Lama! Nasinya kamu kunyah gak sih?"
"Dad." lagi Rena menenangkan Yuda agar tidak membentak Rania.
Yuda mendesah kenapa ia baru tahu jika anak gadisnya ini begitu cerewet. Mendadak anak gadisnya ini menjadi pelindung untuk calon ibu sambungnya.
"Salahkan Mommy mu kenapa makannya begitu lelet. Dad sampai kesal sendiri."
"Wajar, Dad. Mommy lagi sakit."
Rasanya Rania dingin tertawa terbahak-bahak atasannya yang super duper cuek dingin dan arogan terkalahkan oleh seorang anak kecil yang tak lain anaknya sendiri. Rania pun tidak menyangka jika Rena bicaranya seperti bukan seorang anak berusia empat tahun.
Hati Rania menghangat. Sedikit banyak ia tahu jika Rena ditinggalkan ibunya sejak kecil. Saat dirinya masih merah dan belum pernah sekalipun melihat wajah ibunya. Mungkin dalam hal materil bersyukur ia lahir di tengah-tengah keluarga kaya raya. Namun jika menyangkut kasih sayang seorang ibu Rena termasuk orang yang kurang beruntung. Ia pastinya tidak pernah mendapatkannya, mendapatkan kasih sayang seorang ibu.
Perdebatan kecil antara ayah dan anak itu masih terjadi. Yuda yang gak terima karena terus ditegur oleh Rena. Serta Rena yang tidak mau berhenti berceloteh karena Yuda terus saja memarahi Rania.
Alhasil Rania mencoba untuk jadi penengah. Ia tidak mau karena dirinya ayah dan anak itu terus berdebat.
"Mau sampai kapan terus beradu argumen."
Ucapan Rania berhasil membuat keduanya diam. Mereka lalu saling melempar pandangan. "Salahkan Dad, Mom."
"Kok Daddy? Kamu yang mulai lo."
"Daddy."
"Rena."
Rania memilih beranjak saat keduanya malah semakin berdebat saja. Secara bersamaan Yuda dan Rena menahan Rania.
"Mau ke mana, Mom... Mommy-nya Rena," ucap serempak Yuda dan Rena.
"Mommy mau kerja...." Rania refleks menutup mulutnya saat secara spontan menyebut dirinya Mommy.
Yuda tersenyum tipis mendengar ucapan dari Rania. 'Sebentar lagi,' gumam Yuda.
"Mommy masih sakit." ujar Rena seraya berdiri dan ikut berdiri di samping Rania.
"Makanannya juga belum habis." sambung Yuda.
"Udah sehat, kok. Udah kenyang juga."
Rania lalu merangkul tangan Rena, ia hendaklah membawa kembali Rena agar duduk di sampingnya menemani dirinya bekerja.
***
Pukul 18.00 WIB
Rania dan Rena ter tidur di sofa. Sekitar 3 jam lamanya Rania dan Rena menunggu Yuda yang kedatangan tamu penting secara tiba-tiba. Yuda masuk ke ruangannya pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Rania dan Rena tertidur dengar pulasnya.
Yuda berjalan mendekat lalu ia duduk di samping mereka. Mengelus rambut Rena dengan begitu lembutnya. Setelah itu matanya tertuju pada Rania. Wanita cantik berkerudung merah itu benar-benar cantik dan mirip Arininya, istri yang sudah empat tahun meninggal. Seulas senyum tersungging di sana.
Tangannya tergerak untuk menyentuh Rania. Awalnya ragu namun pada akhirnya ia tetap menyentuh kepala Rania lalu berpindah ke pipi.
"Bagaimanapun acaranya kamu harus jadi milikku, Rania. Bagaimanapun acaranya."
Yuda merogoh saku jasnya lalu mengambil handphone untuk menelepon Boy agar ia secepatnya keruangan miliknya.
Tidak perlu lama Boy sudah ada di sana. Ia terkejut mendapati dua wanita yang sama-sama terlihat cantik itu terlelap dengan nyenyak.
"Boy kita pulang. Kamu gendong Rena."
"Siap, Tuan."
Boy langsung saja membawa Rena dalam gendongannya. Sementara Yuda ia menggendong Rania tanpa beban sedikitpun. Sepanjang perjalanan menuju basement, Yuda tak hentinya menatap wajah Rania. Terlihat lucu dan menggemaskan hingga tanpa ia sadari selalu saja tersenyum.
Rania sama sekali tidak merasa terganggu. Terbukti meksipun ia digendong namun ia tidak menyadarinya tidurnya masih saja nyenyak. Yang ada Rania malah mencari posisi ternyamannya dengan mengendus-ngenduskan kepalanya ke dada bidang Yuda.
Tiba di basement, Yuda mendudukkan Rania di kursi belakang disusul dirinya dan terakhir Boy menidurkan Rena di paha sang daddy.
"Jalan Boy!"
"Ke mana?"
Yuda menatap tajam Boy. Boy bisa melihat jelas betapa menakutkan tatapan Yuda dari balik kaca spion.
"Maksud saya kita ke rumah Tuan atau ke rumah Nona Rania."
"Menurutmu?"
"Ke-ke rumah Tuan." Boy gugup.
"Itu tahu. Sekarang jalan!"
"BBaik."
Boy langsung menancap gas menuju kediaman Yuda. Sungguh melihat Yuda seperti tadi membuat Boy selalu kehilangan nyalinya.
"Setelah mengantarkan saya. Kamu ke rumah Rania lalu katakan dia nginap di rumah karena anakku ingin selalu bersama Rania."
"Laksanakan Tuan!"
Ya, malam ini ia akan memberikan kejutan untuk Rania. Kejutan yang mungkin saja tidak akan pernah terlupakan oleh dirinya.
Awalnya Yuda hanya akan mengingat Rania agar mau menikah dengan memanfaatkan kedekatan anaknya. Namun karena ada kesempatan hingga secara Cepat ia mengganti rencana Awalnya.
"Kau tidak akan bisa mengelak lagi," gumam Yuda seraya Mengelus kepala Rania yang bersandar di bahunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments