Bab. 3

Rania sampai di lantai sepuluh. Pandangannya langsung mengarah pada empat wanita yang berpenampilan cantik berbanding terbalik dengan dirinya yang berpenampilan biasa saja. Hal ini malah sukses membuat Rania tidak percaya diri.

Harapannya untuk bisa diterima menjadi seorang sekretaris pupus sudah jika saingannya seperti ini. Rania menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyapa tidak lupa senyum manisnya ia sunggingkan di bibir tipisnya.

Sayang, dari keempat orang itu tidak ada yang meresponnya. Rania pun memilih duduk menjauh daripada harus berdekatan tapi kehadirannya dianggap gaib.

Baru beberapa detik Rania duduk seseorang keluar dari ruangan interview. Orang itu memberikan instruksi agar para calon sekretaris yang akan diinterview untuk segera bersiap-siap.

Sementara itu, Yuda yang sudah berada di ruangan interview sudah siap sedia. Padahal ia seharusnya tidak perlu terjun langsung untuk menginterview , namun demi memastikan penglihatannya mengenai seorang wanita yang begitu mirip dengan mendiang istrinya --Arini. Ia rela melakukannya.

Yuda terduduk dengan penuh wibawanya. Aura dingin dan arogan begitu terasa di ruangan itu. Membuat siapa saja yang berada di satu ruangan yang sama dengan Yuda serasa seperti seorang tahanan yang hendak diadili.

Namun, meskipun aura ruangan teramat menegangkan. Tidak dengan perasaan Yuda. Yang ada saat ini ia sedang ada dalam mode tak sabar ingin sesegera mungkin ingin melihat orang yang begitu mirip dengan istrinya itu.

"Boy, cepatlah! Aku sudah tidak sabar," ujar Yuda dengan menyunggingkan senyum langkanya.

"Baik, Tuan." Boy pun memerintahkan pada ketua HRD untuk memanggil terlebih dahulu seseorang yang memang sedang ditunggu oleh Yuda.

"Interview akan dimulai. Tolong panggil satu-satu dan kamu harus panggil orang ini dulu." Boy menyerahkan sebuah kertas yang bertuliskan nama salah satu calon sekretaris.

"Baik, Pak. Akan saya lakukan!"

Ketua HRD pun berlalu ia hendak memanggil satu nama yang sudah dipesankan oleh asisten Yuda--Boy.

Saat suara pintu terdengar, semua yang tengah menunggu di luar secara bersamaan refleks menoleh ke sumber suara pintu itu. Muncul seorang pria sedikit gemuk dengan kumis tipis di bagian atas bibirnya, Toni namanya.

"Yang namanya Rania Putri yang mana?" tanya pria gemuk bernama Toni itu.

Rania celingukan sendiri hingga akhirnya ia pun membuka suaranya dengan tangan yang ia acungkan.

"Aku, Pak."

"Kamu dapat giliran pertama."

Dengan wajah bingung campur kaget karena dirinya yang harus mendapatkan nomor pertama diinterview. Rania pun menatap keempat orang yang sedari tadi menatap dirinya dengan tatapan meremehkan. Sekarang justru memberikan tatapan permusuhan. Namun, Rania tidak peduli ia tidak mengenali mereka pun ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun kepada mereka.

"Baik, Pak." Rania pun segera beranjak dengan perasaan gugup pastinya.

Biasanya ia selalu tampil percaya diri. Entah kenapa untuk sekarang rasa percaya dirinya hilang, malah berganti dengan rasa gugup. Alasan cukup simpel takut terulang kejadian beberapa waktu ke belakang saat dirinya harus gagal dan gagal lagi.

Pertama kali masuk hal pertama yang Rania lihat adalah seorang pria dengan setelan jas hitam yang terlihat begitu tampan. Hingga jiwa jomblonya meronta-ronta mengagumi sosok Mahakarya Tuhan.

'Ya Tuhan... hatiku rasanya meleleh. Pria itu ganteng banget. Tapi... kira-kira siapa?'

Rania terus saja membatin hingga ia tak sadar sudah berdiri tepat di hadapan pria yang ia kagumi. Sungguh matanya enggan untuk berpaling. Sepertinya ada magnet yang terus memaksa Rania untuk terus menatap pria di hadapannya itu.

Tak jauh berbeda dengan pria yang ditatap Rania, ia pun sedang berperang dengan batinnya sendiri menatap lekat wajah wanita yang selama ini sangat ia rindukan. Senyum tak hentinya terlukis di bibirnya, senyum yang menurut orang begitu sangat mahal, tapi sekarang diperlihatkan dengan begitu mudahnya. Ia adalah Yuda.

'Akhirnya, akhirnya... aku menemukanmu, Arini sayang.'

Rania tersadar dari kelancangannya yang sudah mengagumi seorang pria yang bukan mahramnya itu. Ia membaca istighfar secara refleks.

"Astaghfirullah."

Yuda yang sedang dalam mode mengagumi Rania seketika tersadar. Yuda langsung memasang wajah tak suka saat mendengar ucapan istighfar dari bibir Rania. Perkataan istighfar itu seperti habis melihat sesuatu yang menakutkan saja.

"Kenapa kamu mengucap istighfar? Kamu kira saya hantu?"

"Eh, gak, kok, bukan begitu maksud saya, Pak," Rania jadi serba salah sendiri. Padahal maksudnya itu ia sedang mengistigfarkan dirinya sendiri karena sudah menggagumi orang yang tidak halal untuk ia kagumi.

"Terus?"

"Eh, itu anu ...."

"Sudahlah! Sekarang lebih baik kamu duduk."

Rania pun mengikuti apa yang Yuda instruksikan. Kini ia pun duduk saling berhadapan, sejenak Rania memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya lalu ia mulai menyadari sesuatu. Jika di ruangan itu hanya ada dirinya dan pria yang ia kagumi itu.

Ia pun mulai merasa takut. Ia belum pernah berada di posisi seperti ini berdua dengan lawan jenis di tempat tertutup. Pikiran buruk pun mulai menghantui isi kepala Rania. Untuk menetralisir rasa takutnya itu ia tidak hentinya meremas kuat-kuat jari jemarinya dengan kepala yang ia tundukan.

Kemudian ia juga berusaha untuk tetap tenang, tidak boleh memperlihatkan rasa ketakutannya. Sebab hal itu justru akan membuat dirinya semakin terpojokkan.

Apalagi ia merasa sedang diperhatikan. Entahlah, interview kali ini ia merasa seperti tidak sedang diinterview melainkan sedang diadili karena ketahuan melakukan kejahatan.

"Siapa namamu?"

Kalimat pertama yang terucap dari bibir Yuda berhasil membuat Rania semakin gemetaran ketakutan.

"Saya... nama saya Rania Putri. Usia dua puluh lima tahun, lahir pada bulan Agustus hari Senin saya...,"

"Stop!" Yuda menyela perkataan Rania hingga akhirnya Rania langsung diam seketika.

"Aku hanya menanyakan nama kamu saja. Kenapa kamu malah nyerocos terus."

Bibir Rania benar-benar ia tutup dengan rapat. Ia juga merutuki dirinya sendiri kenapa bisa-bisanya ia keceplosan bicara. Ia lupa sedang berhadapan dengan siapa sekarang ini.

Setelah itu Yuda kembali menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan seorang sekretaris. Justru pertanyaan Yuda lebih mengarah pada hal pribadi Rania. Rania sebenarnya sudah mulai menyadari, tetapi dia bisa apa? Dia lebih memilih menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Yuda ketimbang tidak menjawab sama sekali.

"Sudah, sekarang kamu boleh keluar."

Rania melongo tidak percaya saat dengan tiba-tiba Yuda mengakhiri sesi interview tanpa sedikit pun menyinggung masalah pekerjaan yang berhubungan dengan seorang sekretaris.

Saking tidak percayanya, Rania terus membuka mulutnya jangan lupakan keningnya semakin mengerut.

"Kau dengarkan! Kau boleh keluar!" Yuda menggebrak meja karena Rania tidak kunjung beranjak. Ia malah terus diam dengan ekspresi tak percayanya.

"Ba-baik, Pak. Sa-saya keluar," ujar Rania seraya berdiri dan langsung terbecir keluar.

'Astagfirullah! Ganteng-ganteng kok aneh gitu. Aku jadi takut," gumam Rania dalam hati seraya terus saja bergidik ngeri.

Di dalam ruangan interview itu, Yuda terus tersenyum hingga Boy dan Toni kembali masuk ke dalam ruangan itu. Tadi Yuda sudah memerintahkan Boy maupun Toni untuk meninggalkan dirinya berdua saja dengan Rania. Wanita yang sangat mirip mendiang istrinya.

Dengan pertanyaan yang sudah ia berikan pada Rania, semakin yakinlah Yuda jika Rania memang Arini-nya. Istri yang sangat ia cintai sampai detik ini meskipun mereka sudah terpisah oleh maut.

"Toni, terima dia jadi sekretaris ku."

Toni yang masih bingung yang di maksud Yuda, menoleh ke arah Boy untuk meminta sebuah kejelasan. Bukannya memberikan penjelasan Boy hanya mengangkat sebelah bahunya sebagai tanda ia tidak tahu.

Terpaksa Toni pun memberanikan diri untuk bertanya, meminta penjelasan dari perkataannya.

"Anu Tuan, maksudnya gimana, ya?"

Yuda langsung menatap Toni dengan tatapan yang tajam bagaikan tatapan mata elang yang sedang memindai mangsanya.

Yuda paling benci saat memerintah sesuatu justru tidak dipahami oleh bawahannya.

Sungguh Yuda tidak mau tahu dan sungguh kejam.

Toni merasa kesulitan sendiri untuk menelan salivanya itu. Hingga pada akhirnya di situasi

mendesak otaknya bekerja dengan baik.

"Sa-saya mengerti Tuan. Saya akan terima wanita tadi jadi sekretaris Anda."

"Bagus."

"Lalu yang lainnya bagaimana? Mereka belum sempat di interview...."

"Terserah kamu! Pokoknya wanita tadi yang harus jadi sekretaris saya!"

"Ba-baik Tuan.''

Yuda pun meninggalkan ruangan interview sebab tujuannya sudah selesai. Ia pun berniat kembali ke ruangan pribadinya melalui pintu keluar khusus.

Yuda merasa takjub sendiri, sebab Rania memiliki kesamaan yang hampir seratus persen. Jika dibandingkan kemiripan keduanya ada di angka sembilan puluh persen. yang sepuluh persen itu adalah penampilan dan gaya hidup yang berbeda.

"Aku harus memilikimu bagaimanapun caranya, Rania."

Yuda tersenyum semirik hingga siapa saja yang melihatnya akan merasa aura ketakutan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!