Mirip Arini

Kedua tangan Anita terkepal sangat erat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak saat mendengar ada wanita lain yang akan dinikahi Yuda.

Padahal, tanpa sepengetahuan siapa pun termasuk Arini dari dulu Anita sudah menaruh perasaan. Ada setitik harapan saat Arini dinyatakan meninggal. Dan kini... penghalang baru sudah muncul dan lebih parahnya kenapa harus dengan wanita yang sangat mirip dengan Arini.

"Kapan kalian akan menikah? Jangan lupa kabari aku. Jangan sampai tahu-tahu udah resmi saja."

"Secepatnya, tunggu undangan datang dariku." jawab Yuda begitu dingin.

Yuda masih di posisinya dan Anita pun masih di posisinya. Sekilas Anita menatap Yuda dengan hati yang terasa di sayat-sayat. Ia tidak mengerti kenapa mantan suami sahabatnya ini tidak pernah sekalipun meliriknya? Padahal ia merasa tidaklah terlalu jelek, ia cantik dan juga seorang dokter terkenal. Apa yang kurang darinya?

Sementara gadis yang baru masuk ke kehidupan Yuda sudah mampu meluluhkan hati Yuda. Atau memang karena wanita itu begitu mirip Arini hingga dengan mudahnya Yuda membuka hati. Entahlah!

"Apakah kamu mencintainya?" tanya Anita ia ingin memastikan jika apa yang ia duga adalah sebuah kebenaran. Jika Yuda menikahi wanita itu karena memiliki kesamaan wajah.

Yuda tidak langsung menjawab, ia lebih memilih menatap Anita dengan ekspresi datar.

"Sejak kapan kamu ingin tahu kehidupanku?" sinis Yuda disertai dengan senyum mengejek.

Bukan tanpa alasan Yuda berkata seperti itu. Dari dulu dirinya paling tidak suka jika ada orang yang ikut campur masalah pribadinya. Dan Anita tahu hal itu.

"Apakah sebagai sahabat aku tidaklah boleh tahu?"

"Jelas saja. Karena kehidupanku ini bukan untuk di nikmati publik."

"Huh, kau tidak berubah, Yuda. Kamu masih tetap jadi Yuda yang dingin, arogan dan menyebalkan. Aku hanya ingin tahu sedikit saja. Sebab aku kira kamu tidak akan pernah membuka hati lagi pada wanita. Karena yang aku tahu seorang Yudatama begitu mencintai mendiang istrinya."

Yuda terkekeh. Lalu ia membalikan tubuhnya hingga menatap ke arah Rena dan Rania berada. "Anakku butuh sosok Mommy-nya. Dan aku pun butuh sosok istri yang bisa melayaniku."

"Bukan karena dia mirip Arini, 'kan?" tanya tiba-tiba Anita.

Lagi-lagi Yuda memberikan tatapan tajamnya pada Anita. Tatapan mata yang selalu sukses membuat Anita berdebar.

"Kau jangan terlalu ikut campur, Anita. Sungguh aku heran sama kamu dari dulu sampai sekarang masih saja suka ikut campur."

"Aku sahabatmu, Yuda."

"Bukan! Kau hanya sahabat mendiang istriku saja. Aku mengakui sahabat karena kau sahabat istriku. Sedangkan sekarang? Istriku sudah tidak ada maka hubungan kita hanya sebatas seorang dokter pribadi keluarga saja. Tidak lebih."

Rasanya... sakit! Penantian selama empat tahun ini harus musnah begitu saja. Anita sakit hati.

"Oh, gitu. Kalau begitu maafkan atas kelancangan saya Tuan Yuda. Sekarang saya tahu posisi saya yang sesungguhnya, terima kasih sudah mengingatkan."

"Bagus kalau nyadar."

"Dan saya kira Anda sebenarnya tidak benar-benar mencintai nona Rania. Anda hanya melihat Arini di dirinya sehingga ingin memiliki."

"Tidak...."

"Dad, Mommy sadar."

Perkataan Yuda tertahan di udara saat Rena memanggilnya dan mengatakan jika Rania sudah sadar. Yuda langsung saja menghampiri.

Rania yang mulai tersadar itu tidak langsung bangun, ia meringis memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Tidak lupa perutnya terasa perih. Sadarnya Rania berbarengan dengan Kedatangan Boy yang membawa makanan untuk Rania.

"Mommy sudah bangun. Mommy jangan buat Rena khawatir," ujar Rena dengan isak tangis.

Rania membuka matanya saat kedua matanya terbuka dengan lebar. Begitu terkejutnya Rania karena mendapati Yuda berada di sampingnya dengan posisi Yuda jongkok di samping sofa yang Rania tiduri. Karena kaget Rania langsung saja bangun dan refleks memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Auw," pekik Rania.

"Kamu kenapa, sih? Sudah tahu baru siuman langsung bangun kaya gitu." Yuda sewot karena melihat Rania bangun dengan tergesa-gesa.

"Ini ada apa?" Rania melihat ke arah dokter Anita.

"Kenapa ada dokter, siapa yang sakit?" tanyaku Rania ia masih dalam mood kebingungan.

"Mommy pingsan. Jangan buat Réna khawatir, ya, Mommy. Rena gak mau Mommy Kenapa-kenapa." Rena berkata seraya memeluk tubuh Rania dengan erat.

"Aku pingsan?" Rania belum menyadari.

Dengan gaya angkuh dan dingin Yuda menyodorkan sepiring nasi ke arah Rania.

"Di rumah kamu gak punya beras untuk kamu masak? Sampai-sampai ke kantor tidak sarapan terlebih dahulu. Kalau memang gak punya nanti saya belikan sekalian sama sawahnya. Biar gak kelaparan!"

Rania ingat, dirinya memang belum sarapan dikarenakan ia terburu-buru. Niat untuk sarapan di kantor pun tidak terlaksana karena Rena tidak mau jauh darinya.

"Hidup saya gak kekurangan, kok Tuan. Tadi saya buru- buru jadi gak sempat sarapan."

"Ambil! Cepat makan pekerjaanmu masih banyak. Jangan sampai menyusahkan lagi."

"Daddy gak boleh kaya gitu ke Mommy. Mommy lagi sakit." Rena membela Rania membuat Rania tersenyum saking terbarunya.

Yuda pun lupa jika ada anaknya di tengah-tengah mereka. Ia malah kebablasan membentak Rania. Meskipun sebenarnya itu bentuk perhatian hanya caranya yang kurang tepat.

Yuda menyesal lalu di elusnya kepala Rena dengan menyunggingkan senyuman. "Maafkan Daddy, Sayang. Daddy khawatir sama Mommy. Karena tidak memperhatikan kesehatan mommy sendiri."

"Rena tahu. Tapi gak boleh bentak Mommy lagi, ya."

"Dad janji."

Setelah itu Yuda kembali menatap Rania dan menyerahkan kembali piring dengan baik-baik. "Makanlah! Jangan biarkan perutmu kosong."

Rania mengambil piring dari tangan Yuda. Andai saha di sana tidak adalah Rena sudah dipastikan Rania tidak sudi menerimanya. Namin demi menghargai hati seorang anak kecil bernama Rena ia berusaha untuk sabar menghadapi Yuda.

'Ya Allah gini amat punya atasan. Gak nyadar apa aku kaya gini juga gara-gara mereka. Huh sabar, sabar. Orang sabar disayang Allah.'

Melihat perhatian Yuda membuat Anita semakin terasa sakit. Ia tahu Yuda sudah lama. Yang Anita tahu bentakan yang Yuda. lakukan bukan karena jengkel melainkan karena ia peduli.

'Apa aku harus mundur lagi? Yuda memang bukanlah jodohku. Dipaksa sedemikian juga tidak akan membuat Yuda memilihku. Hah, Anita kamu harus move on.' Dokter Anita bergumam dalam hati.

Tidak ingin terusan berada di dalam satu ruangannya dengan Yuda dan calonnya. Anita memutuskan untuk segera pergi selain karema ingin menjaga hatinya agar tidak terus sakit. Alasan lainnya juga karena tugasnya sudah selesai.

"Baik, karena Nona...." Anita menggantung perkataannya saat ia kupa nama wanita yang mirip Arini itu.

"Rania," ucap Rania sendiri.

"Ah iya Rania. Sayang mohon izin pamit. Nona Rania jangan lupa di minum obatnya dan satu hal jangan telat makan."

"Iya, terima kasih dokter. In sha Allah hal seperti ini tidak akan terulang lagi."

Anita pun pergi diantar kembali oleh Boy sang asisten Yuda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!