Transmigrasi Abbysca
Tubuhnya terasa begitu sakit. Dia bahkan mengira kalau semua tulang persendiannya patah karena untuk menggerakkan ujung jarinya saja dia tidak bisa.
Beberapa menit berlalu setelah dia membuka mata dan mendapati dirinya terbangun di tempat yang asing. Langit-langit kamar berwarna putih pucat dengan satu lampu mewah yang menggantung di tengahnya adalah hal pertama yang dia lihat.
Sejak kapan ada lampu gantung dengan desain mewah seperti itu di tempat tinggalnya? meski dia berasal dari kaum bangsawan, namun selama sepuluh tahun belakangan, dia sudah hidup di asrama dengan penuh kesederhanaan karena pekerjaannya sebagai abdi raja.
Jadi, di mana dia sekarang?
Perempuan itu sedikit waspada saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Entah apa yang mereka lakukan. Namun dia merasa beberapa bagian tubuhnya disentuh sana sini dengan benda dingin yang tak dia ketahui. Sialan, jika saja dia bisa bergerak bebas dan memiliki tenaga, sudah pasti tangan kurang ajar itu patah karenanya.
"Nona Abby, Anda dapat mendengar saya?"
Abby menggulirkan matanya ke arah kanan untuk menatap sosok yang baru saja mengajaknya bicara. Di sana berdiri seorang lelaki tampan dengan pakaian serba putih tengah menatapnya sambil tersenyum. Sepertinya dia seorang dokter. Baguslah, semoga saja orang-orang ini tak memiliki niat buruk padanya.
Tenggorokannya terasa kering dan cukup sakit sekarang, maka Abby hanya memejamkan mata dan membukanya kembali untuk menjawab pertanyaan tersebut, tanda bahwa dia dapat mendengar ucapannya.
Dokter tersebut mengangguk dengan senyuman yang tak luntur dari wajahnya. Kemudian, Abby samar-samar mendengar pembicaraan orang-orang itu sebelum kegelapan kembali menghampirinya setelah merasakan tusukan benda kecil yang runcing dan tajam menembus kulit lengannya.
Sepertinya, dia akan kembali tak sadar selama beberapa jam ke depan.
. . .
Senja datang dengan gerimis yang menghantarkan hawa dingin di tanah ibukota. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi terlihat berjalan tenang di tengah-tengah koridor rumah sakit. Wajah tampan itu masih terlihat datar meski baru saja mendapat kabar bahwa saudarinya baru saja bangun dari tidur panjang. Bukankah seharusnya dia bahagia dan mempercepat langkahnya agar segera sampai dan bisa melihat keadaan adiknya? namun tidak, dia tidak melakukannya.
Juna berhenti sejenak saat dia sudah sampai di depan pintu kamar VIP 1 yang adiknya tempati. Kedua tangannya saling terkepal di sisi tubuh saat merasakan gejolak perasaan yang tak dapat dia mengerti.
Baiklah, dia memang merasa lega karena satu-satunya saudara yang dia miliki sudah bangun. Namun jika orang itu bangun hanya untuk kembali mengacau dan membuatnya harus terus menanggung malu, maka Juna lebih ikhlas kalau adiknya tidak usah bangun saja.
Keterlaluan memang. Namun pemikiran itu sempat terlintas di benaknya beberapa kali.
Setelah membuka pintunya perlahan, Juna dapat melihat seorang perempuan bertubuh mungil tengah berusaha duduk, di sisi kanan dan kirinya terdapat dua perawat yang tengah membantunya dengan hati-hati. Yang satu memegang tubuh adiknya agar tidak oleng, dan yang satunya lagi menaikan kepala ranjang dengan menekan tombol otomatis di sana.
Lelaki itu diam di dekat pintu. Memperhatikan Abby yang kini sudah bersandar dengan nyaman, juga pada perawat yang tengah menyimpan meja kecil berisikan satu set makanan di depan adiknya.
"Pergilah! biar aku yang melakukannya." Juna mendekat dan duduk di atas bagian ranjang pasien yang kosong. Tanpa bertanya atau membantah, dua perempuan itu segera pergi dengan sopan. Mereka tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk mengusik seorang sulung Anggara. Bisa-bisa, pekerjaan mereka hanya tinggal nama nanti.
Abby menatap lelaki asing yang kini juga tengah memandangnya tanpa ekspresi yang berarti. Setelah terbangun di tempat asing, melihat benda-benda yang begitu asing, kini dia juga harus berhadapan dengan banyak orang asing.
Untuk yang kedua kalinya dia bertanya pada dirinya sendiri, sedang berada di mana dia sekarang?
Melihat lelaki itu tak kunjung membuka suara, maka Abby memilih melakukan hal yang sama. Pandangannya turun pada makanan di atas meja kecil yang berada di atas kakinya. Kemudian, tangannya terangkat untuk mengambil gelas berisi air putih di sana. Namun sial, tangannya itu begitu sulit untuk digerakkan.
Abby menghela nafas sembari mencoba kembali peruntungan. Dengan gerakan kaku dan bergetar, akhirnya dia hampir sampai. Namun sebelum berhasil menggenggamnya, tangan lain yang lebih besar sudah lebih dulu mengambilnya.
Tak lama, gelas itu sudah berada di dekat mulutnya. Dalam diam, Abby menenggak air minumnya dengan bantuan lelaki yang belum dia ketahui siapa identitasnya tersebut.
"Te-terima ka.. sih." Matanya terpejam, merasakan perih di tenggorokan saat mencoba berbicara. Sudah berapa lama dia tertidur sebenarnya?
"Aku memang bukan orang baik, tapi bukan berarti aku akan menolak jika kamu minta tolong." Lelaki itu mengaduk bubur di dalam mangkuk dengan pelan, kemudian mengambil sesendok dan mengarahkannya ke depan mulut Abby seperti tadi. "Buka mulutmu!"
Abby menurut, dia membuka mulut kecilnya dan membiarkan makanan lembek dengan rasa yang hambar itu menyapa indera perasa-nya. Perempuan berambut sepinggang itu menatap orang yang sedang menyuapinya dengan teliti. Keningnya mengerut karena merasa tidak asing dengan wajah tampan dan pembawaan dinginnya.
Abby sedikit tersentak saat mengingat satu nama yang terlintas di benaknya.
"Kak Ju..na?"
Juna? siapa dia?
Yang membuatnya lebih kaget adalah, lelaki itu langsung menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Satu alis tebalnya naik, seperti menunggu apa yang ingin Abby ucapkan.
"Arjuna Anggara."
Netra jernih itu melotot saat lagi-lagi mendapati mulutnya berucap dengan spontan begitu saja. Darimana otaknya mengingat nama lengkap itu?
Helaan nafas terdengar begitu berat dari Juna.
"Aku tahu hubungan persaudaraan kita tidak terlalu baik, namun aku masih kakakmu, Abbysca Anggara. Jadi, tolong panggil aku dengan sopan!" nada bicaranya begitu datar, namun itu berbalik dengan tindakannya yang cukup perhatian saat mengusap sudut bibir Abby dengan tisu karena gadis itu makan dengan ogah-ogahan.
Abbysca Anggara.
Arjuna Anggara.
Persaudaraan kita.
Aku masih kakakmu.
Empat kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepala Abby. Dia sampai harus memejamkan mata saat mencoba mencari keterkaitan di antara semua kalimat itu.
Tiba-tiba, sekelibat bayangan panjang berputar di kepalanya layaknya sebuah pertunjukan opera yang dulu sering dia tonton. Rasa sakit menghantamnya saat bayangan itu tak berhenti berputar membuat dia meremas rambutnya dengan kencang.
Orang-orang dengan pakaian aneh itu. Kenapa Abby bisa memiliki banyak ingatan dengan mereka? kenapa dia bisa terbangun di tempat ini? ke mana orang-orang yang dia kenal? rekan seperjuangannya di kerajaan, kakak satu-satunya yang dia miliki, tunangan yang berkhianat padanya, sahabat yang merencanakan pembunuhan untuknya. Ke mana mereka semua?
Nafasnya terengah, wajahnya memucat seiring dengan kesadaran Abby yang harus kembali direnggut oleh kegelapan. Hal terakhir yang dia ingat adalah Juna yang memanggil-manggil namanya dengan raut wajah yang berbeda. Sepertinya, lelaki itu mengkhawatirkannya.
. . .
TBC
Terimakasih banyak untuk teman-teman yang membaca dan mendukung cerita ini. Tolong berikan banyak cinta untuk Abbysca.
Salam,
Nasal Dinarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
IndraAsya
👣👣👣 Jejak 💪💪💪😘😘😘
2022-12-17
1
Anwar Julianto
salam kenal juga thor
2022-11-18
0
Moms ez Ez
lg mantau siapa tau novelya bagus kalau bagus aku langsung masukin vaforit thor langsunh cus bacanya
2022-10-10
2