Bulir keringat membanjiri wajah dan tubuh ramping Abby saat perempuan itu berlatih anggar bersama seorang lelaki yang ia ketahui bernama Erik. Jika tidak salah, orang itu merupakan anak dari kepala pelayan di kediaman Anggara yang berprofesi sebagai atlet. Sepertinya Juna memang memberikan banyak kelonggaran bagi pegawainya yang selalu setia dan bekerja keras. Lihat saja, anak dari seorang pelayan pun diperbolehkan untuk menggunakan ruang latihan besar milik kediaman ini.
Anggar adalah ilmu beladiri menggunakan senjata yang berkembang menjadi seni budaya olahraga ketangkasan dengan senjata yang menekankan pada teknik kemampuan seperti memotong, menusuk atau menangkis senjata lawan dengan menggunakan keterampilan dalam memanfaatkan kelincahan tangan. (1)
Olahraga yang berasal dari daratan Eropa ini memang sangat digemari oleh masyarakat di eranya dulu. Tidak salah jika sekarang dia merasa senang karena mendapati jenis olahraga ini berkembang pesat di daratan Asia pada abad ini. Rindu Abby pada tanah kelahirannya sedikit terobati sekarang.
Abby terkekeh dari balik topengnya saat merasakan ujung pedang lelaki itu menghimpit bagian sepatunya, sengaja membuat Abby kesulitan dalam bergerak. Namun dengan cepat dan gesit, perempuan itu segera menyingkir dan kembali memberikan serangan demi serangan sampai ujung pedangnya mengarah ke tengah dada Erik yang kini terdiam kaku. Lelaki itu kalah.
"Anda lebih baik dari saya, Nona." ujar Erik saat Abby menarik pedangnya mundur dan perlahan membuka topeng yang sejak tadi dikenakan. Memperlihatkan wajah cantiknya yang berpeluh dengan anak rambut yang menempel di bagian kening dan wajah. Ekspresi gadis itu masih tenang meski sinar kesenangan terlihat di netra jernihnya.
"Aku hanya sedang beruntung. Terimakasih sudah menemaniku berlatih, Kak." Abby memberikan senyuman kecil.
Erik menunduk dengan sopan dan memberikan senyuman yang sama, "itu bukan hal besar, Nona. Kalau begitu saya permisi lebih dulu." Lelaki itu pamit undur diri dengan seragam yang masih menempel. Namun Abby tidak berkata apa-apa dan hanya memberikan anggukan kecil.
Dua minggu terakhir semenjak keluar dari rumah sakit, Abby memang tidak pergi ke mana-mana. Dia bahkan tidak berangkat ke kampus tempat di mana gadis itu seharusnya belajar sebagai seorang mahasiswa.
Bukan karena tidak ingin, Abby hanya merasa tubuhnya begitu lemah. Itu seperti akan terjatuh kapan saja jika ada angin kencang yang menerpa. Belum lagi dokter berkata bahwa dia sedang dalam masa pemulihan. Jadi, hal yang paling benar untuknya adalah melatih fisik dan mentalnya agar lebih kuat. Dia tidak tahu hal apa yang akan dia temui nanti di luar sana. Maka, hari-harinya dia habiskan untuk berlatih, mengonsumsi makanan sehat juga membaca beberapa buku di perpustakaan milik Juna.
Tidak buruk. Semua hal yang dia lakukan cukup membuahkan hasil dan manfaat. Dia merasa lebih bugar, pikirannya juga sedikit lebih terbuka dari yang terakhir kali. Lagipula, rumah besar dengan segala fasilitas lengkapnya ini terlalu sayang untuk diabaikan. Meski pada awalnya Abby merasa asing, namun perlahan dia dapat melakukannya.
"Ini minuman Anda, Nona." Lina datang dengan satu nampan berisi jus segar dan juga buah-buahan lokal yang sudah dikupas dan dipotong agar lebih mudah untuk dimakan.
"Terimakasih." Abby menerimanya dengan senang hati. Saat ini, dia sedang duduk di atas kursi santai samping kolam renang yang jernih. Menikmati angin pagi yang menyegarkan sembari menghilangkan keringat yang membanjiri tubuhnya selepas berlatih tadi.
Kalau bisa, Abby ingin terus hidup seperti ini saja. Santai dan tidak harus berinteraksi dengan orang luar yang hanya akan menimbulkan masalah yang tidak perlu. Memikirkannya saja sudah membuat Abby pusing. Lagipula, masalah yang dibuat perempuan ini begitu banyak. Dia jadi bingung harus mulai dari mana.
Abby mengernyit bingung kala mendapati Mira yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahnya. Wajah tembam gadis itu terlihat cukup panik.
"Ada apa?"
Setelah mengambil nafas beberapa kali, Mira akhirnya bersuara, "di luar gerbang ada Nona Lilyana. Satpam penjaga depan berkata bahwa teman Anda itu terlihat marah karena tidak diperbolehkan masuk."
Lilyana?
Abby memang menghimbau pegawai di rumah ini untuk tidak menerima tamu, siapapun itu. Selain karena tidak ingin repot, Abby juga tidak tahu harus bersikap seperti apa jika seseorang yang dia kenal datang dan mengunjunginya. Dan yang terakhir datang kala itu adalah Gara, tunangannya. Setelahnya, tidak ada siapa-siapa.
"Selain itu, Nona Lilyana juga berteriak kesal menyebut Anda tidak menerima panggilan dan membaca pesan darinya setelah Anda siuman." Lanjut Mira menjelaskan dengan detail tanpa diminta.
Abby termenung dengan wajah berpikir. Detik berikutnya, bibir tipis itu tersenyum sinis mengingat siapa sosok Lilyana yang saat ini tengah Mira bicarakan. Sosok teman perhatian yang sebenarnya ingin merusak hidup Abby.
"Ah, perempuan gila itu.." desis Abby pelan dengan ekspresi wajah yang tidak sedap dipandang.
Sejak mengetahui fungsi dari benda bernama 'ponsel' dan juga mulai tahu bagiamana cara menggunakannya, Abby memilih untuk mengabaikan beberapa nomor yang menurutnya tidak terlalu penting. Dia tidak menghapusnya, tidak juga memblokirnya, dia hanya memilah dan memilih mana yang penting dan yang tidak. Dan Lilyana termasuk dalam daftar ke duanya.
Lilyana merupakan perempuan seusianya. Berasal dari keluarga sederhana namun bermimpi menjadi burung phoenix dengan cara menghasut dan memanfaatkan kebodohan Abby.
Di kampus, orang itu akan berlagak seperti orang kaya sungguhan. Pamer sana-sini dengan mengenakan barang yang Abby berikan secara sukarela. Selain itu, Lilyana juga akan berbicara dan bersikap layaknya seorang anak tunggal dari pemilik perusahaan besar. Berbohong pada semua orang mengenai orangtuanya yang sibuk bekerja di luar negeri. Dengan begitu, Lilyana akan mendapat kepopuleran dan perhatian dari mereka dengan mudah.
Abby bodoh. Bodoh sekali. Mau-mau saja dimanfaatkan seperti itu.
"Dia ingin masuk bukan? maka aku akan biarkan dia menginjak rumah ini untuk terakhir kali." Abby bergumam pelan sembari menenggak jusnya sampai tandas. Kemudian, dia menoleh pada Mira yang masih berdiri menunggu keputusan, "biarkan dia masuk!"
Mira terlihat cukup terkejut namun dia tidak bicara lagi dan langsung pergi dari sana untuk melakukan perintah.
Tak lama, seorang perempuan berambut sebahu dengan warna cokelat terang datang menghampiri Abby. Kekehan terdengar dari bibir tipis itu saat mendengar hentakan kaki dari Lilyana, sepertinya 'temannya' itu sedang kesal sekarang. Abby masih menatap tenang pada kolam renang dengan tangan yang sibuk mengupas jeruk. Dia terlihat tidak peduli dengan kedatangan Lilyana.
"Abby!"
Suara kursi ditarik yang bergesekan dengan lantai kasar pinggiran kolam terdengar nyaring membuat Abby menyentuh telinga tidak suka. Lilyana menyimpan barang bawaannya di atas meja dengan kasar. Sengaja melakukannya karena merasa marah dengan pengabaian Abby.
"Kenapa kamu mengabaikan panggilan dan pesanku? padahal aku begitu merindukanmu." Lilyana menggerutu dengan pandangan kebencian yang berusaha ditutupi.
Merindukan uangku?
"Ah, aku pikir kamu sudah melupakanku karena katanya kamu tidak pernah menjengukku di rumah sakit selama aku koma." Abby menoleh dan menatap Lilyana tepat di matanya membuat yang ditatap sedikit tersentak. Merasa asing dengan tatapan datar dan bosan yang ada di sana.
Dengan sedikit gelagapan Lilyana menjawab, "I-itu karena aku sibuk sebulan terakhir ini. Tapi itu bukan berarti aku tidak peduli, Abby. Aku selalu mendoakan kesembuhanmu."
Tentu saja, aku adalah uang berjalanmu. Jika aku mati, kamu tidak akan bisa hidup enak lagi.
Abby mendengus dalam hati, menahan diri agar tidak menjambak rambut pendek perempuan di sampingnya. Tahan Abby, tahan.
"Apa yang kamu bawa?" memilih mencari topik lain alih-alih menimpali ucapan manis Lilyana yang lebih terdengar seperti penjilat di telinganya. Jika memang Lilyana adalah temannya, maka perempuan itu pasti akan menanyakan kabarnya lebih dulu daripada bertingkah menyebalkan seperti ini.
"Oh, ini. Aku membawakan sesuatu untukmu. Aku merasa bersalah karena tidak bisa menjengukmu waktu itu, jadi aku bawakan ini sebagai hadiah." Lilyana menyerahkan satu kotak berukuran sedang dan membukanya langsung di depan Abby. Dengan bangganya perempuan itu memamerkan isinya dengan senyuman penuh muslihat.
"Lihat! aku membeli ini dengan uang tabunganku sendiri. Kamu bisa memakainya di pesta ulang tahun perusahaan Gara bulan depan nanti. Kamu pasti akan menjadi perempuan paling cantik di sana." Lanjut Lilyana.
Abby menahan diri agar wajahnya tidak mencebik saat itu juga kala mendapati gaun yang Lilyana maksud lebih terlihat seperti gaun yang dikenakan para ****** di tempat hiburan malam. Lalu, 'temannya' itu ingin Abby mengenakannya dan mempermalukan dirinya sendiri nanti? oh, silahkan bermimpi karena Abby tidak akan melakukannya.
"Terimakasih, tapi Gara sudah mengirimkan gaun untukku. Jadi, sepertinya aku akan memakai hadiah darimu di lain waktu." Bohong. Itu seratus persen bohong. Lelaki itu mana mungkin mau repot-repot membelikannya gaun. Namun Lilyana bisa apa, perempuan itu juga tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan Gara dan menanyakan kebenarannya. Lagipula, Abby tidak tertarik untuk menghadiri acara membosankan seperti pesta. Itu akan sangat merepotkan.
Sinar keterkejutan nampak di wajah penuh riasan milik Lilyana. Sepertinya perempuan itu tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Benarkah?" terdengar sedikit ejekan dari nada suara Lilyana.
"Terserah kalau kamu tidak percaya." Memilih acuh dan kembali menatap ke depan. Mengabaikan kehadiran Lilyana sepenuhnya.
Sedangkan yang diacuhkan sedang berusaha untuk meredam kemarahannya yang kini hampir sampai di ubun-ubun. Bagaimana bisa temannya yang idiot itu bertingkah menyebalkan seperti ini? darimana keberanian Abby berasal hingga mampu membungkam Lilyana hanya dengan sikap acuhnya.
Mata kucing milik Lilyana semakin menyipit menahan rasa iri di hati kala melihat wajah alami Abby yang begitu cantik dan bersih. Kulitnya mulus dan berkilau karena terpaan sinar pagi. Belum lagi bentuk tubuh yang ramping namun bugar itu, kenapa Abby terlihat semakin menarik sekarang? tidak bisa dibiarkan. Abby tidak boleh lebih cantik darinya.
"Ada apa?" menatap dua pelayannya yang datang dengan beberapa kotak cantik berukuran cukup besar di masing-masing tangan mereka.
"Semua bingkisan ini datang dari Tuan Gara. Sekretarisnya langsung yang mengantarkan ini, Nona." Jawab Mira.
Lina mengangguk dan melanjutkan, "namun orang itu langsung pergi karena memiliki banyak urusan. Dia menyampaikan permintaan maaf kepada Anda, Nona."
Dua, empat, lima, enam, tujuh. Abby menghitung semua jumlah bingkisan yang mereka pegang. Luar biasa, ada apa dengan lelaki itu? apa Gara sedang tidak waras sampai memberinya hadiah dalam jumlah banyak?
Namun detik berikutnya dia terdiam dan menoleh ke samping hanya untuk mendapati wajah syok Lilyana. Perempuan itu nampaknya tidak bisa menyembunyikan rasa iri dengki di dalam hatinya. Terbukti dengan dua tangannya yang mengepal, menggenggam ujung pakaiannya sendiri dengan erat. Seolah sedang menyalurkan rasa kemarahan yang melanda.
Abby menyeringai pelan.
Ah, dia suka melihatnya.
(1) sumber; Wikipedia*
. . .
TBC
Aduh, senengnya udah nyampe bab tiga. Terimakasih buat teman-teman yang sudah sampai di sini. Tolong tinggalkan pesan dan kesan di kolom komentar agar Abbysca dan Sagara tetap berlayar.
Salam,
Nasal Dinarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
AbC Home
burung pipit ingin jadi bangau
2022-09-20
4