Sesi bicara pertama Abby dengan Elang saat di kelas tadi ternyata memanjang. Elang yang tidak terlalu suka keramaian namun cukup suka bicara itu mampu membuat Abby merasa punya teman. Miris sekali hidup perempuan yang tubuhnya kini ditempati olehnya ini. Selama hidupnya, hanya ada Lilyana yang menjadi temannya. Itu pun hanya berstatus 'palsu'. Syukurlah perempuan itu tak muncul di sini dan kembali mengganggunya seperti tadi.
Setelah menyelesaikan kelas terakhir, keduanya kembali dipertemukan di kantin. Entah itu suatu kebetulan atau tidak, Abby tak ingin memusingkan hal tersebut. Setidaknya, selama menghabiskan makan siang Abby tak akan sendiri.
"Jadi, apa kita berada di tingkat yang sama selama ini?" Abby menusuk buah pir yang telah dipotong-potong kecil di atas piring ke dalam mulutnya. Perempuan itu langsung memesan buah-buahan segar setelah selesai menyantap hidangan padat sebelumnya.
Elang mengangguk, "ya, kita bahkan sering berada di dalam kelas yang sama selama dua tahun terakhir. Kita satu prodi, kamu tidak ingat?"
Dengan raut wajah yang nampak berpikir, Abby menjawab, "tapi kenapa aku tidak memiliki banyak ingatan tentang itu?"
Lelaki itu terkekeh sembari menenggak minuman bersoda yang dia pesan, "mungkin karena kamu jarang masuk kelas. Suatu keberuntungan karena ternyata kamu tidak harus mengulang materi di semester selanjutnya."
Abby mendengus dan menghempaskan garpu dari tangannya dengan agak kasar. Menimbulkan suara bising yang cukup menggangu. "Memang perempuan bodoh." Selain wajah dan kekayaannya, sepertinya tak ada yang bisa dia banggakan dari hidup Abby.
Apa gunanya memiliki kecantikan, kekayaan dan kekuasaan jika otaknya tak bisa berfungsi dengan baik dan benar? yang ada, dia akan segera kehilangan semua itu di masa depan. Tak cukupkah Lilyana sebagai contoh paling dekat? tingkat ketololan Abby memang sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Lalu, apa perempuan itu juga berpikir bahwa Juna akan selalu ada untuk membela dan mengabulkan segala keinginannya?
Abby menghela nafas lelah dan menggeleng pelan. Merasa prihatin dengan dirinya sendiri.
"Hah? kamu mengatakan apa?" Elang tak mampu menangkap ucapan Abby karena terlalu fokus dengan laptop di depannya.
Perempuan itu menggeleng, "kamu sedang mengerjakan tugas?" malah bertanya hal lain.
"Aku harus lulus tahun depan, jadi aku tak boleh bermalas-malasan." Timpal si lelaki.
Abby tertegun di tempatnya. Lelaki ini memiliki sedikit kemiripan dengan sifatnya di masa lalu. Cukup ambisius. Memang tidak terlalu baik, tapi memiliki sifat seperti itu ada untungnya juga.
Kepala Abby sedikit miring, wajah cantiknya terlihat tengah berpikir. Dia adalah jiwa yang berkelana di dunia moderen ini, jadi dia tidak memiliki pengalaman selain mengandalkan ingatan si pemilik tubuh. Sedangkan di sisi lain, dia harus selangkah lebih maju dalam bidang pendidikan dan hal lainnya daripada Abby yang sebelumnya. Netra jernihnya kembali menatap Elang dengan pandangan sedikit rumit, "Elang, kamu mau membantuku?"
Dan dari situlah awal pertemanan mereka dimulai.
. . .
Dengan pakaian kantor yang masih menempel di tubuh kekarnya, Gara keluar dari mobil dan melangkahkan kaki menuju salah-satu kafe ternama. Tempat di mana dia memiliki janji dengan seseorang.
Suara dentingan lonceng menggema saat lelaki itu melewati pintu masuk. Netra elangnya menyapu setiap sudut tempat tersebut, kemudian berhenti di satu titik. Tanpa ingin membuang waktu, Gara kembali melangkah dan menghampiri sosok yang ditujunya.
"Maaf, apa aku membuatmu menunggu lama?" Gara duduk di hadapan lelaki tinggi yang memiliki tatapan teduh, mengingatkannya akan seseorang yang akhir-akhir ini cukup mengganggu pikirannya.
"Tenang saja. Aku juga baru sampai." Juna menatap lawan bicaranya, kemudian melirik satu cangkir berisi Latte di depan Gara. "Aku sudah memesankanmu sesuatu. Semoga sesuai dengan seleramu." Lanjut Juna ringan.
Gara menatap kopi yang dicampur dengan susu di depannya dengan kening yang agak mengerut, setelahnya melirik minuman Juna sendiri yang ternyata berbeda dengan miliknya.
"Darimana kamu tahu?kamu.." lelaki itu tidak melanjutkan karena merasa bingung dengan pertanyaan yang ingin dia ajukan sendiri.
Gara dan Juna memang saling mengenal dan bahkan bisa dikatakan berteman. Namun, kedekatan mereka tak sejauh itu sampai Juna akan tahu mengenai hal apa saja yang dia suka. Jadi, saat tahu kalau lelaki itu memesankan minuman kesukaannya, Gara mau tidak mau merasa heran.
"Abby. Aku beberapa kali mendengar laporan dari pelayan rumah kalau Abby cukup sering membicarakan apa yang kamu suka." Kekehan kecil terdengar dari Juna sebelum melanjutkan, "siapa tahu ternyata itu sedikit berguna." Menenggak minumannya sembari menikmati pemandangan jalan raya yang dipadati kendaraan lewat dinding kaca.
Meski terlihat tenang, nyatanya mendengar nama itu disebutkan oleh orang lain mampu membuat perasaan Gara tak menentu. Kurang lebih satu bulan semenjak perempuan itu bangun, namun selama itu pula Gara tak melihatnya. Terakhir kali adalah saat Gara 'menjenguk' perempuan itu di rumahnya dan berakhir dengan pengusiran. Omong-omong, dia cukup kesal dengan hal tersebut.
"Kamu masih tinggal di apartemen?" bukan rahasia lagi, kalau temannya ini memang lebih memilih tinggal di tempat lain daripada bersama adiknya di kediaman besar Anggara.
Juna mengangguk, "mungkin sore ini aku akan pulang ke sana." Jawabnya sedikit ambigu.
Gara mulai menyesap minumannya, "untuk?"
"Aku cukup heran karena tidak mendengar laporan apapun lagi dari Paman Hari selain Abby yang kuliah dan menghabiskan waktunya di rumah. Itu tidak terdengar seperti dirinya. " Juna menegakkan tubuh dan melipat kedua tangannya di atas meja, sembari menatap Gara dia bertanya, "katakan padaku, apakah benar dia tidak pernah menemuimu lagi setelah sembuh?"
Gara terdiam sejenak, "ya, itu benar." Entah kenapa Gara merasa aneh dengan jawabannya sendiri. Seharusnya dia merasa senang, tapi hatinya berkata lain. Di sudut hatinya ada keinginan untuk bertanya, kenapa perempuan itu tak pernah mengganggunya lagi sekarang?
"Kamu terlihat tidak senang." Ungkap Juna dengan sedikit ejekan di dalamnya. "Aku mendengar bahwa seseorang diusir dari rumah tunangannya." Lanjutnya tanpa beban. Juna bahkan tidak peduli dengan raut wajah Gara yang terlihat menyebalkan sekarang.
Melihat jika temannya itu hanya diam, seperti enggan untuk menjawab, maka Juna kembali berujar, "lalu, aku juga mendengar seseorang mengirimkan begitu banyak bingkisan mewah agar tunangannya tidak terus merajuk."
Juna sialan! Gara mengumpat dalam hati. Merutuki ucapan Juna yang begitu menyebalkan namun penuh dengan fakta.
"Hahaha." Juna tertawa lepas, merasa puas bisa membuat Gara bungkam hanya dengan satu nama saja. Kapan lagi dia bisa bersikap seperti ini kepada Gara yang notabene berekspresi saja jarang. Tapi lihat sekarang, wajah temannya itu begitu kompleks. Marah, kesal dan seperti ingin menelannya hidup-hidup.
"Apa kamu mulai merasa kehilangan? atau justru kamu mulai menyadari perasaanmu sekarang?" Juna bertanya dengan wajah yang serius. Kekonyolan di wajahnya kini menghilang, digantikan dengan tatapan datar seperti semula.
Juna tentu tahu sebesar apa rasa benci Gara pada adiknya, Abby. Meski perempuan itu berjuang mati-matian pun, Gara tidak akan pernah meliriknya. Ikatan pertunangan di antara keduanya hanyalah bualan orang tua semata. Karena nyatanya, hanya Abby yang berjuang di dalamnya. Namun karena hal itulah Juna juga ikut membenci sikap Abby.
Bertingkah layaknya seorang perempuan tak tahu malu demi mengejar cinta seorang lelaki yang menatapnya saja enggan. Berapa ratus persen harga diri Abby yang diturunkan hanya untuk mengemis cinta Gara? sebagai sesama keturunan Anggara, Juna merasa malu dengan tingkah laku Abby. Maka dari itu, dia memilih menjauh dan mengawasi semuanya dalam diam.
Juna tidak membenci Abby yang selalu membaut masalah di mana-mana demi mendapatkan Gara. Juna juga tidak membenci Gara yang begitu tega karena terus menolak dan mengabaikan Abby. Juna hanya merasa tidak memiliki hak untuk ikut campur meski keduanya memiliki ikatan dekat dengannya.
"Kamu mengajak bertemu hanya untuk membahas ini?" tanya Gara tidak percaya.
Juna mengedikkan bahu, "bukankah itu adalah hal yang kita pikirkan akhir-akhir ini?"
Lelaki itu sedikit memiringkan kepala dengan ekspresi main-main di wajahnya, "sepertinya Abby sudah lelah denganmu, jadi kamu bisa tenang dan mulai mencari cintamu sendiri. Bukankah itu bagus?"
Lagi dan lagi, Gara hanya mampu terdiam. Ucapan Juna kembali membuatnya bungkam.
Apa sebenarnya yang Gara inginkan?
. . .
TBC
Yeay, bab enam selesai. Terimakasih buat teman-teman yang sudah membaca sampai bab ini. Kalian luar biasa. Mohon terus berikan dukungan dan cinta untuk para pemain. ^~^
Salam,
Nasal Dinarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
AbC Home
kan kan dikejar dia lari dijauhi dia sakit hati
hadeeehh susah emang
2022-09-20
5
C1nt4
semangat thor
2022-08-31
0