Sudah sepuluh hari berlalu semenjak Abby terbangun dan mendapati dirinya berada di dunia lain. Tempat di mana orang-orang berpenampilan aneh, juga peralatan sehari-hari yang serba canggih dan instan. Abby bahkan hampir melotot saat melihat bangunan-bangunan tinggi menjulang dari balik dinding kaca yang tirainya dibuka oleh seorang perawat. Bangunan itu seperti akan menyentuh langit, membuat Abby merasa kagum dengan kemampuan manusia di zaman ini.
Kebaikan apa sebenarnya yang telah dia perbuat sehingga kini dia bisa melihat dan hidup di abad ke dua puluh satu, yang jaraknya seribu tahun dari zaman dia berasal.
Meski belum bisa menerima sepenuhnya tentang dirinya yang kini hidup di dalam tubuh orang lain, namun Abby cukup mampu mengendalikan emosinya dengan baik. Dia tidak menangis karena mengalami perpindahan masa, dia juga tidak mengamuk karena mendapati dirinya hanya seorang diri di sini bersama 'mereka' yang tidak dia kenal sama sekali.
Dia cukup beruntung karena memiliki pengendalian diri yang baik. Sepertinya itu berkat latihan fisik dan batin yang Abby lakukan di kehidupan sebelumnya. Membuat dia menjadi pribadi yang kuat dengan pembawaan yang tenang dan selalu waspada terhadap sekitar.
Namun saat mengingat bagaimana perangai perempuan yang kini dia tempati, Abby rasanya lebih baik dikirimkan langsung ke alam baka saja. Hidup perempuan ini begitu sia-sia.
Leha-leha dan menghabiskan uang Juna, merias diri berlebihan dan mengejar lelaki yang tak pernah mempedulikannya, juga mengabaikan segala pelajaran di sekolahnya. Bagiamana mungkin ada seorang perempuan yang tidak memiliki urat malu seperti itu? di mana otaknya?
Abby mendengus kala mengingat Juna yang tak pernah mengunjunginya kembali setelah waktu itu. Kini dia mengerti, lelaki itu pasti sakit kepala jika mengingat kekacauan apa saja yang perempuan ini buat.
Ya Tuhan. Harus darimana Abby mulai memperbaiki segalanya?
Saat ini, Abby tengah duduk menyamping di tempat tidur dengan kedua kaki yang menggantung. Matanya menatap datar pada cermin yang dipegang oleh seorang pelayan. Rambut basahnya pun sedang dikeringkan oleh pelayan lain menggunakan sebuah benda berisik yang terasa panas di kepalanya. Sepertinya, dua perempuan di sampingnya ini memang dibayar khusus untuk melayaninya. Abby cukup berterimakasih pada Juna akan hal itu. Meksi terkesan tidak peduli, namun lelaki itu masih perhatian pada adiknya ini.
Wajah di depannya ini, bagiamana Abby menjelaskannya?
Dibandingkan dengan wajah tirus miliknya di masa lalu, potongan yang ini terlihat lebih baik. Bentuknya hanya tiga perempat dari lebarnya telapak tangan orang dewasa. Sedikit bulat dengan dagu yang tidak terlalu lancip. Hidungnya kecil tidak terlalu tinggi. Alisnya cukup tebal dengan jarak yang sedikit berdekatan. Bibirnya cukup tipis namun memiliki warna merah muda alami.
Dan yang paling menonjol menurut Abby adalah matanya. Netra hitam pekat yang memiliki kilauan jernih. Seperti ada aliran air di sana. Jenis ini adalah jenis mata yang dapat membuat orang lain terjerumus karena kedalamannya.
"Hari ini, Nona akan pulang. Apa Nona senang?"
Lina. Perempuan berambut sebahu dengan tubuh yang datar itu bertanya dengan senyuman sopan. Tangannya tidak bergerak sedikitpun karena takut cermin itu akan bergeser dan membuat Abby marah.
"Ya." Jawab Abby singkat. Bagaimana mungkin dia tidak senang jika selama sepuluh hari ini dia harus terjebak di ruangan dengan bau obat-obatan yang menyengat ini?
"Tuan Juna tidak bisa ikut menjemput Anda karena sedang berada di luar kota. Nona tidak masalah bukan?" perawat yang satunya ikut bertanya. Dibanding Lina yang irit bicara, Mira terlihat lebih ceria dan bersahabat. Tubuhnya sedikit gempal, namun itu membuatnya lebih lucu.
"Ya." Itu lebih baik malah. Karena dengan begitu, Abby tidak perlu terjebak kembali dalam kecanggungan dengan lelaki itu seperti tempo hari.
"Hentikan Mira! kamu ingin membakar rambutku?" bertanya kesal namun masih dengan raut wajah yang datar. Pengering rambut yang suaranya dapat membuat telinga tuli itu terasa begitu panas.
Mira langsung berhenti dan segera menjauhkan benda tersebut dari kepala Abby. Juna yang marah memang sangat menyeramkan, tapi Abby yang sedang kesal terlihat lebih mengerikan menurutnya. "Maaf, Nona."
. . .
Jam berlalu dengan cepat, dan langit yang cerah kini sudah berubah menjadi jingga. Padahal Abby hanya diam dan berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa-apa. Sebenarnya itu bukan kebiasannya sejak dulu, namun perintah dari dokter yang menanganinya mau tak mau membuat Abby menurut. Belum lagi Lina dan Mira yang selalu melakukan semua hal yang dia butuhkan tanpa diminta. Abby jadi semakin malas untuk bergerak.
Perempuan itu merapatkan pakaian tebal di tubuhnya saat keluar dari kamar yang sudah cukup lama dia tempati tersebut. Abby duduk di kursi roda dengan seorang lelaki tua yang mendorongnya dengan hati-hati. Abby ingat kalau lelaki itu adalah kepala pelayan di kediaman Anggara. Sedangkan dua pelayannya berjalan persis di belakang Abby.
Kepergiannya diantar oleh beberapa petinngi penting rumah sakit sampai ke gerbang depan. Abby tidak merasa heran sekali, mengingat rumah sakit ini merupakan satu dari sekian banyaknya aset yang keluarga Anggara miliki. Sekarang dan dulu ternyata sama saja. Semua orang akan tunduk pada mereka yang memiliki harta dan jabatan yang lebih tinggi.
Alis perempuan itu sedikit naik saat melihat sebuah kendaraan yang sepertinya terbuat dari besi dan bahan canggih lainnya. Orang-orang menyebutnya 'mobil'. Abby menghela nafas pelan, seharusnya dia bersyukur karena berkat ingatan pemilik tubuh, dia jadi mengetahui segala hal dan tidak membuat orang lain curiga karena tingkah anehnya.
Mobil mewah berwarna silver itu melaju dengan kencang meninggalkan pelataran rumah sakit saat Abby dan tiga orang lainnya sudah masuk dengan aman.
Sedangkan, beberapa petinngi rumah sakit yang ditinggalkan mulai saling berbicara, memberikan pendapat yang sejak tadi mereka tahan.
"Aku cukup kasihan dengan Nona Abbysca. Tuan Arjuna tidak datang karena alasan sibuk di luar kota. Pun dengan tunangannya yang semenjak Nona kecelakaan hanya pernah menjenguknya sekali." ujar seorang lelaki berusia tiga puluhan dengan kemeja putih bersih yang menempel di tubuhnya. Dia adalah salah-satu petinggi rumah sakit yang sebenarnya cukup suka mengurusi kehidupan orang lain.
"Urusan orang-orang konglomerat memang sulit dimengerti. Padahal, Nona Abbysca tidak memiliki kekurangan yang berarti." Timpal perempuan berambut sebahu yang begitu setia memandang mobil mewah yang membawa Abby hingga benda itu hilang saat di ujung belokan. "Memang apa salahnya berjuang untuk orang yang kita cintai?" mendengus kesal. Sebagai sesama perempuan, dia cukup tahu bagaimana rasanya berjuang seorang diri.
"Ey, ey! ada apa dengan kalian? ayo kembali! jangan hanya makan gaji buta saja!"
. . .
Di tempat lain, seorang lelaki dengan wajah yang terpahat sempurna tengah duduk dengan tenang di balik meja kerjanya yang megah. Tumpukan berkas yang menggunung terasa begitu memuakkan baginya yang sejak pagi belum mengambil jeda sama sekali.
Sesekali kening mulus itu akan mengerut jika mendapati hal yang tidak sesuai dengan apa yang dia kehendaki tertera di dalam tulisan. Meski begitu, itu tak bertahan lama karena jemarinya yang menggenggam sebuah pen mahal kembali menari di atas sana dan membubuhkan tanda tangannya dengan cepat.
Sagara Aditama. Itu adalah nama yang tertera di atas meja kerjanya. Ditulis dengan huruf kapital dan diawali dengan kata 'Direktur Utama' sebagai jabatannya saat ini.
Lelaki itu menyimpan pen-nya dengan agak kasar ke sembarang arah sembari memejamkan mata. Punggung tegapnya bersandar pada kepala kursi dengan tangan yang memijat kening pelan. Rasa pusing yang mendera kepalanya tidak bisa menghilang sejak malam tadi.
Selain karena terlalu lelah mengurus perusahaan, Gara juga dipusingkan dengan hal lain. Perempuan paruh baya yang sering dia panggil 'Ibu' terus saja menerornya akhir-akhir ini. Menghubunginya berkali-kali, mengirimkan pesan, bahkan sekretarisnya ikut diteror karena Gara sering sekali menghindar. Dan isinya tidak pernah berubah, sang ibu hanya memintanya untuk menjenguk Abbysca. Tunangannya sejak lima tahun yang lalu.
Tidakkah ibunya tahu kalau hubungan mereka tidak semulus itu? tidak ada kemajuan sama sekali dalam pertunangan mereka. Abbysca yang mengejarnya tanpa lelah. Dan Gara yang selalu menghindar tanpa merasa bersalah. Perpaduan yang sangat pas.
Tok! tok!
"Masuk!" Gara bicara tanpa menoleh. Dia bahkan masih sibuk memejamkan kedua matanya.
Terdengar langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan Gara. "Maaf Pak, Nyonya ingin saya menyampaikan pesan kepada Anda. Nona Abbysca sudah pulang ke kediamannya dan Nyonya meminta saya untuk-"
"Mengunjunginya sekarang juga. Bukan begitu, Mahen?" potong Gara dengan cepat. Wajah tampannya begitu kaku dengan raut yang bosan. Sudah lelah dengan gangguan ibunya.
Mahen mengangguk dengan sopan, "benar, Pak."
"Baiklah, sepertinya hanya itu satu-satunya cara agar Mama tidak terus menggangguku." Gara kembali menghela nafas dan berdiri dari kursi kebesarannya.
"Siapkan mobil!"
. . .
TBC
Terimakasih sudah membaca part ke dua. Tolong berikan dukungan dan cinta yang banyak untuk Abby dan Gara.
Salam,
Nasal Dinarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
IG: _anipri
berrti pertunangan Gara dan Abby nggak diinginkan ya sama Gara
2022-10-24
1
AbC Home
udah favorit agak lama ini baru mulai baca maraton ternyata menarik like like thor
2022-09-20
1