"Nona, tidakkah Anda ingin keluar hari ini?"
"Hm? tidak. Aku tidak ada kelas, Mira."
"Stok pakaian Anda sudah berkurang, Anda harus segera berbelanja."
"Aku tidak akan memakannya seperti aku memakan hidangan yang kamu buat, jadi mereka tidak akan habis."
"Koleksi tas Anda juga sudah ketinggalan zaman, Nona. Ini sudah waktunya Anda untuk memesan keluaran terbaru. Haruskah saya menghubungi Ms. Anne?"
"Aku tidak butuh itu, Mira. Ranselku lebih berfungsi sekarang."
"Lalu cat kuku Anda su-"
"Hentikan Mira, kenapa kamu begitu cerewet?"
"Maaf, Nona."
Mira menatap majikannya dengan begitu putus asa. Setelah menghabiskan sarapan sehat dan sedikit berolahraga pagi tadi, Abby tidak melakukan apa-apa selain bergulat dengan selimut setelah membersihkan diri. Abby bilang hari libur adalah waktu untuk beristirahat.
Dengan mata yang masih terpejam, Abby berujar malas, "bangunkan aku nanti pukul sebelas siang! aku akan mengumpulkan energi untuk mengerjakan tugas." Meski ingin menikmati hidup santai yang sangat jarang dia dapatkan di kehidupannya dulu, namun Abby tidak semalas itu untuk menjalani takdir.
"Apa Anda bergadang semalaman, Nona?" masih berdiri di dekat ranjang dengan tangan yang penuh dengan cucian. Raut wajah Mira terlihat khawatir.
"Ya, jadi jangan menggangguku lagi!" jawab Abby lemah. Setelahnya, perempuan itu benar-benar tidak akan peduli lagi dengan ucapan Mira. Dia butuh tidur.
Semalam, Abby hanya tidur dua jam karena harus mengejar ketertinggalannya dalam mempelajari materi di kelas yang sering dia mangkiri. Sebenarnya bukan hanya malam tadi, dalam satu Minggu dia akan bergadang sebanyak tiga sampai empat kali. Semoga saja hasilnya nanti tidak mengecewakan.
"Saya juga tidak pernah melihat Anda menyentuh ponsel lagi. Apa sekarang benda itu tiba-tiba tidak berguna bagi Anda?" Mira menatap ponsel cantik dengan pelindung berwarna pink muda yang tergeletak di atas nakas. Jika bukan karena Mira yang mengisi dayanya dengan teratur, mungkin benda itu akan tetap mati.
Tidak mendengar jawaban dari Abby, akhirnya Mira menyerah. Pelayan tersebut menyalakan penghangat ruangan karena cuaca pagi ini terasa dingin, dia tidak ingin Abby sakit nanti. Setelahnya, dia menutup pintu perlahan dan pergi dari sana.
Tepat setelah pintu kamar tertutup, Abby membuka matanya yang sayu dan menatap pemandangan taman bunga yang terlihat indah dari pintu balkon yang sengaja dibuka oleh Mira. "Benda tidak berguna seperti itu, apa untungya bagiku?" bisiknya, menjawab pertanyaan terakhir Mira. Setelahnya, Abby menaikkan selimut dan kembali memejamkan mata.
. . .
Kediaman Anggara siang ini terasa sibuk karena pulangnya tuan rumah dengan cara mendadak. Para pelayan hilir mudik untuk menyiapkan makanan karena sebentar lagi waktu makan siang akan datang. Belum lagi Juna kembali, maka mereka harus menyiapkan banyak hal istimewa nanti.
Juna sendiri hanya diam dengan tenang di atas sofa ruang keluarga. Menatap pegawainya yang berjalan ke sana kemari. Entah apa yang mereka lakukan, Juna tidak ingin tahu. Sebenarnya, rencananya untuk datang ke rumah ini sedikit diundur beberapa hari dari waktu yang sudah dia tentukan. Tadinya, Juna pikir bisa langsung ke sini setelah siang harinya bertemu dengan Gara kala itu, namun ternyata jadwalnya begitu sibuk. Jadilah baru hari ini dia sempat 'berkunjung'.
Di sisi kirinya, Hari berdiri dengan sopan dan kepala yang sedikit menunduk. Dia menunggu diinterogasi.
"Aku tidak mendengar keributan selama satu bulan terakhir. Apa anak itu mendadak jadi pendiam setelah sadar?"
"Menjawab, Tuan. Nona Abby memang menjadi lebih tenang sekarang." Hari menjawab mantap, menyetujui ucapannya sendiri. Meski merasa sedikit aneh, namun tenangnya Abby membuat sakit di kepala Hari agak berkurang. Dia cukup senang dengan itu.
Juna mengangguk, "dia sudah sepenuhnya sembuh bukan?"
"Dokter berkata bahwa kondisi Nona sudah delapan puluh lima persen normal kembali." Setelah Abby pulang dari rumah sakit, bukan berarti dokter yang merawatnya lepas tanggung jawab. Setiap seminggu sekali, dokter itu akan datang dan memeriksa keadaan Abby, juga memberikan saran dan nasehat agar tubuh perempuan itu lebih cepat pulih. Dan tentu saja itu atas perintah Juna.
Dengan pandangan menerawang, Juna kembali bertanya. "Lalu, yang lima belas persennya?"
"Nona hanya perlu berolahraga rutin. Dan sisanya.." Hari menggantungkan ucapannya membuat Juna mengerutkan kening dan melirik lelaki tua itu dengan pandangan menuntut.
"Perhatian hangat dari orang-orang terdekat akan membuat hati dan pikiran Nona lebih terbuka. Itu akan membuat kondisinya berada dalam tahap sehat seratus persen." Hari kembali menunduk, tidak berani menatap tuannya setelah selesai mengatakan itu. Sudah menjadi pengetahuan semua orang kalau Juna begitu acuh tak acuh terhadap adiknya sendiri. Jadi, Hari takut Juna tersinggung.
Kekehan terdengar dari mulut Juna. Wajah tampan itu menyiratkan ejekan yang kentara. Ejekan untuk dirinya sendiri lebih tepatnya. Dengan mata yang menatap lantai dua dengan seksama, Juna berkata, "oh, apakah sudah waktunya aku bersikap manis pada adik kecilku itu?"
. . .
Juna membuka kenop pintu kamar Abby perlahan. Wangi manis vanila bercampur bunga lavender membuat lelaki itu sedikit tertegun untuk sejenak. Aroma kamar ini masih sama sejak terakhir kali dia menginjaknya.
Berjalan dengan langkah tenang, Juna menghampiri sang adik yang ternyata memang benar, tengah bergelung nyaman di balik selimut tebal. Pemandangan itu cukup aneh di mata Juna. Karena biasanya, semendung apapun cuaca di hari itu, sangat mustahil bagi Abby untuk tidak keluar. Entah itu untuk bermain, berbelanja menghabiskan uang Juna, atau mendatangi kantor Gara dan mengganggu hari sibuk temannya itu. Meski mereka tidak tinggal bersama, namun Juna mengetahui setiap detail tentang apa yang Abby lakukan.
Juna duduk di atas ranjang, sedangkan matanya tak lepas dari wajah sang adik. Tangannya terangkat untuk mengelus surai hitam yang terasa halus dan lembut. Untuk sesaat, Juna merasa dirinya keterlaluan karena sudah terlalu lama mengabaikan Abby meski itu tak sepenuhnya benar.
Gadis kecil yang selalu membuntutinya ke mana-mana masih terasa segar di ingatan Juna. Namun kini, gadis itu sudah besar dan begitu sibuk dengan cintanya. Hingga tanpa disadari membuat Juna merasa kehilangan namun enggan untuk mengatakan.
Abby mengerjap kala merasakan usapan di kepalanya. Netra jernih itu sedikit membulat mendapati sosok lelaki yang tak pernah dia sangka akan berada di hadapannya. Namun alih-alih bertanya dan menanyakan maksud dan tujuan Juna mendatangi kamarnya, Abby malah bertindak lain. Tangan mungilnya terulur untuk menggenggam jemari Juna yang panjang dan besar yang kini masih hinggap di kepalanya.
"Kakak pulang." Ujarnya dengan mata yang kembali terpejam. Setelahnya, Abby malah bersikap seolah tak ada apa-apa. Perempuan itu kembali tidur dengan deru nafas yang tenang. Meski begitu, tangannya tidak melepas jemari Juna sedikitpun.
Hati Juna serasa tersentil. Melihat wajah damai Abby, mendengar ucapan tak seberapa dari perempuan itu. Sungguh menandakan kalau adiknya memang menanti kehadirannya sejak lama.
Beberapa detik Juna habiskan untuk diam, tanpa melakukan apa-apa dengan posisi yang tidak berubah. Namun di menit berikutnya, lelaki itu melepaskan jemarinya dari genggaman Abby dengan pelan kemudian bangkit hanya untuk melepaskan jaket yang melekat di tubuhnya. Tak lama setelahnya, dia naik ke atas ranjang dan ikut berbaring di samping Abby. Menaikan selimut agar menutupi tubuh mereka berdua, lalu perlahan memejamkan mata seperti adiknya.
Mungkin, setelah bangun nanti mereka bisa berbicara dari hati ke hati layaknya sepasang adik kakak yang sesungguhnya.
. . .
TBC
Bab 7 datang. Yeay. ^~^
Terimakasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti cerita ini dari awal sampai bab ini. Semoga senantiasa memberikan dukungan dan cinta pada Abby dan juga yang lainnya.
Salam,
Nasal Dinarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Devi Lusi
walaupun adik kakak krang bagus tidur satu ranjang begitu karena udah pda dewasa
2023-06-10
0
AbC Home
aq suka bahasa yang kamu buat thor begitu ngena di hati walaupun ini konflik biasa tp membacanya membuat hatiku berdesir dan mataku mengembun
2022-09-20
5
Iana
bagus thor ceritanya semangat ya,
2022-09-02
1