Abby kembali ke tempat di mana tadi dia dan Juna berpisah setelah kurang lebih setengah jam menghabiskan waktu bersama para lansia dan juga beberapa perawat di sana. Sedangkan sepuluh menit terakhir, Abby sempat berbicara dengan Danu yang menyambut kedatangannya dengan bahagia. Dan lagi-lagi, Abby harus mendapatkan ucapan terimakasih yang ke sekian kalinya dari Danu. Bukannya tidak suka, hanya saja Abby merasa Danu terlalu merendah dan bersikap seolah dirinya tidak pantas mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Padahal, semua manusia layak diperlakukan sama.
Langkahnya terhenti kala mendapati mobil lain yang tak asing sudah terparkir tepat di samping mobil milik Juna. Dan rasa curiganya terjawab saat Juna mendatanginya dengan senyuman tidak enak sembari menunjuk seseorang yang tengah duduk di atas bangku kayu tepat di bawah pohon beringin dengan dagunya.
"Aku masih memiliki urusan di dalam dengan mereka. Jadi, bicaralah dengan baik bersamanya!" Juna mengusap surai lembut adiknya sebelum kembali ke dalam.
Abby sedikit menganga dibuatnya, tidak percaya dengan Juna yang meninggalkannya begitu saja. Dan apa-apaan katanya tadi? dia menyuruhnya untuk menghampiri lelaki itu? sekarang?
Perempuan itu menghela nafas sembari menatap langit siang yang cerah berawan. Tidak terlalu panas, namun kamu bisa terbakar jika berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Apalagi saat ini dia hanya mengenakan kemeja hitam berlengan pendek. Akan sepanas apa dia nanti? namun, jika dia tidak ke sana, maka masalah ini memang tidak akan selesai juga.
"Baiklah, hanya kali ini." Perlahan, Abby melangkah. Menghampiri Gara yang tengah duduk dengan posisi membelakanginya. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan, jadinya Gara terlihat lebih santai daripada kemarin-kemarin saat Abby melihatnya. Entah suatu kebetulan atau tidak, lelaki itu juga mengenakan celana jeans dan juga kemeja hitam sebagai atasannya. Abby kembali mendengus.
Abby berhenti sejenak, berdiri beberapa langkah dari posisi Gara sampai membuat lelaki itu sadar dari lamunannya. Gara menatapnya dengan agak linglung, "Abbysca."
Abbysca..
Abbysca..
Kenapa Abby justru merasa hangat hanya karena lelaki itu memanggil namanya? apa karena dulu, Gara jarang sekali melakukannya? Sayang sekali, Abbysca yang asli tak ada di sini. Rasa senang itu pasti milik dia yang tertinggal, bukan miliknya.
"Gara." Abby menjawab pelan sembari melanjutkan langkah. Kemudian, mengambil duduk tepat di samping Gara dengan jarak yang tidak terlalu jauh karena kursinya memang diperuntukkan untuk dua orang. "Aku tidak tahu kalau kamu juga akan ke sini." Jika dia tahu, mungkin tadi dia akan membatalkan niatnya untuk ikut dengan Juna ke tempat ini.
Lelaki itu masih menatap Abby dari samping dengan wajah tenangnya. Itu cukup membuat Abby merasa risih, namun dia terlalu malas untuk menegurnya.
"Aku salah-satu donatur di tempat ini." Setelah mereka berdua resmi bertunangan lima tahun yang lalu, Gara mengikuti saran ibunya untuk menjadi donatur tetap di yayasan keluarga milik Anggara, alasannya tentu saja demi mendekatkan hubungan dua keluarga.
Abby mengangguk. Fakta ini baru dia ketahui sekarang. Abby rasa itu karena Abby yang asli tidak terlalu peka dengan hal-hal yang terjadi di sekitarnya kecuali tentang Gara dan bagaimana cara mendapatkan perhatiannya. Sudah dia bilang, Abby itu memang bodoh.
Mereka terdiam, menikmati waktu pagi yang sebentar lagi berganti menjadi siang. Ditemani suara dedaunan di atas mereka yang berisik karena tertiup angin.
"Aku merasa punya ingatan denganmu di tempat ini." Ujar Abby asal.
Namun tak disangka, Gara malah membenarkan. Lelaki itu menerbitkan senyum kecilnya yang baru pertama kali Abby lihat. Dan itu cukup membuat Abby merinding. "Kita memang pernah berbicara di sini lima tahun yang lalu. Kamu tidak salah."
Wah, benarkah?
"Saat itu kamu masih murid SMP dan aku mahasiswa tingkat akhir. Aku menghiburmu yang tengah menangis karena terjatuh selepas mengejar Juna." Ada kilatan kehangatan di mata elang Gara saat tengah mengenang masa itu. Dan hal tersebut sukses membuat Abby menegang di tempatnya. Kenapa dia harus melihat tatapan itu di wajah Gara?
"Itu terdengar manis. Tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas." Abby berkata jujur. Sepertinya, ingatannya sedikit menghilang saat kecelakaan tunggal yang dialami tubuh ini. Benar, itu bisa saja terjadi, buktinya dia sering merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya secara tiba-tiba jika sedang sendiri dan melamun tentang beberapa hal di masa lalu.
Dua manusia itu kembali diam. Gara yang masih mengingat masa-masa remajanya, dan Abby yang tidak tahu harus mengangkat topik seperti apa. Lidahnya kelu, apalagi dengan kecanggungan yang ada di antara mereka. Abby merasa familiar dengan posisi seperti ini, namun dia justru merasa asing dengan suasana hatinya yang tak terbaca sekarang.
"Bisakah..bisakah kamu tahan dulu keinginanmu untuk berpisah dariku sampai ulang tahun perusahaan keluargaku berlangsung?" akan sangat merepotkan jika ibunya langsung jatuh sakit di hari penting seperti itu karena mendengar pertunangan mereka yang dibatalkan.
Alis tebal perempuan itu naik satu, "kenapa kamu berkata seolah hanya aku yang menginginkan perpisahan ini?" Abby tidak mengerti. Bukankah Gara adalah orang yang paling menantang semua ini dari awal? lalu, kenapa dia bertindak seperti kekasih yang tidak ingin dicampakkan?
Netra jernih Abby menatap Gara tepat di mata elangnya. Sepasang manusia yang terikat pertunangan paksa itu saling memandang dengan ekspresi tak berarti. Sama-sama memiliki visual luar biasa, sama-sama mengenakan pakaian yang mirip, sama-sama saling menatap. Mungkin itu akan menjadi potongan film romantis andai saja ada suara musik tentang percintaan yang diputar di belakang layar, ditambah dengan dedaunan kering yang jatuh menimpa mereka karena tertiup angin.
Gara tidak tahu harus menjawab pertanyaan Abby dengan apa. Karena nyatanya, kini pikirannya begitu kosong. "Aku hanya meminta persetujuan mu tentang hal itu."
Abby menahan diri untuk tidak mendengus yang di mana hanya akan membuat dirinya terlihat menyebalkan sekarang. Dia hanya tengah mengutuk dan menyumpahi Gara di dalam hati. Bagiamana bisa lelaki itu malah mengabaikan ucapannya?
"Baiklah, aku akan menuruti keinginanmu untuk terakhir kali." Bersikap layaknya seorang dermawan yang tidak bisa menolak untuk memberikan bantuan pada mereka yang lemah. Abby hanya merasa kalau lelaki itu memang membutuhkan bantuannya sehingga di tidak bisa menolak. Sialan, lagi-lagi ini pasti perasaan Abby yang asli!
Gara yang mendengarnya, merasa sedikit lebih lega. "Terima kasih."
"Hah?"
"Terima kasih, Abbysca." Gara dengan sengaja menekankan nama perempuan itu sembari mengalihkan pandangan ke depan. Tidak sanggup jika harus terus menatap wajah cantik Abby yang dia rasa terus bersinar setiap mereka bertemu.
"Maaf, telah membuat kekacauan di kantormu." Alih-alih membalas ucapan terimakasih Gara, Abby malah membahas hal lain yang menurutnya memang perlu diluruskan. "Aku benar-benar marah waktu itu, jadi aku kehilangan kontrolku." Untung saja aku juga tidak menghancurkan wajah tampanmu. Lanjut Abby dalam hati.
Dan sama seperti Abby, Gara pun tidak menimpali ucapan maaf perempuan itu. Maka pada akhirnya, mereka kembali diam untuk yang ke sekian kalinya di sana. Duduk berdua di tempat yang sama, menikmati hangatnya cuaca meski lidah tak sanggup lagi berbicara.
Mungkin sebenarnya, itulah yang mereka butuhkan sejak lama.
. . .
TBC
Up ke dua di hari yang sama, sesuai janji saya. Terimakasih para pembaca setia, sampai ketemu lagi di up ke tiga saya sore menjelang malam nanti. ^_^
Tidak bosan untuk mengingatkan teman-teman agar senantiasa mendukung cerita ini dengan menekan tombol like dan membubuhkan beberapa kata di kolom komentar. ^~^
Salam,
Nasal Dinarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
AbC Home
tuh kan nyesel gara
2022-09-20
1
Hermalinda Nova
tetap semangat thor
2022-09-10
1