Gara masih berdiam diri di balik kemudi setelah sampai di pekarangan luas milik keluarga Anggara lima menit yang lalu. Netra elangnya menyorot dengan tajam ke arah depan. Seolah ingin menghancurkan sosok perempuan di dalam sana yang terus menjadi alasan sang ibu mengganggunya akhir-akhir ini. Jika bukan demi ketenangannya, Gara tidak akan mau datang ke sini.
Lelaki yang tahun ini akan menyentuh angka dua puluh lima tersebut mendengus sebelum membuka pintu mobil dengan sebuah bunga mawar dan kotak bingkisan di lengannya. Dan demi Tuhan, itu bukan keinginannya. Mahen sudah menyiapkan semua itu dan tentu saja itu atas perintah sang ibu.
Wajah tenangnya tak terusik sama sekali saat mendapati sambutan ramah dari para pegawai di sana. Gara hanya menunduk kecil dan tetap melangkah lurus dengan kakinya yang panjang.
Seolah sudah tahu kalau orang yang ingin dia tuju tidak berada di area bawah, Gara langsung menuju lantai dua dengan arahan seorang pelayan yang setia membimbingnya sampai ke depan pintu kamar Abby.
Gara menghentikan gerakan si pelayan yang ingin membukakan pintu untuknya dan segera memberikan tanda pengusiran dengan tangannya. Dia memang tidak biasa untuk berbasa-basi dengan orang asing.
Kenop pintu berwarna putih itu dibuka oleh Gara secara perlahan. Wangi khas lavender yang sialnya cukup dia ingat sebagai aroma perempuan itu langsung menyapa hidungnya kala pintu tersebut terbuka lebar dengan sepenuhnya.
Gara terpaku di tengah pintu kala mendapati seorang perempuan berwajah pucat tengah duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mata yang menatap bosan pada tayangan televisi di depannya. Meksi begitu, tangannya begitu aktif memasukan satu demi satu potongan apel yang sudah dikupas ke dalam mulutnya.
Abby tidak terlihat seperti yang Gara bayangkan sebelumnya. Perempuan itu nampak tidak terganggu meski tahu bahwa seseorang kini tengah memasuki kamarnya. Dan entah kenapa lelaki itu cukup terganggu dengan kenyataan tersebut.
"Masuklah! aku tidak akan memakanmu, Gara." Ucapan sarkas Abby terdengar cukup menjengkelkan. Namun di sisi lain, Gara pun merasa agak aneh karena nada bicara perempuan itu sedikit lebih tenang dari biasanya.
Gara kembali melanjutkan langkah, mendekati sosok Abby yang juga mulai menatap ke arahnya. Namun tak seperti biasanya yang selalu banyak tingkah, kini Abby hanya diam menunggu lelaki itu bicara.
Dalam beberapa detik, dua orang itu hanya saling menatap tanpa ada yang bersuara. Gara yang berdiri dengan hadiah di tangannya terlihat cukup manis saat memandang Abby yang tengah mendongak ke arahnya. Bias senja berwarna jingga melewati jendela, membuat dua sosok itu seperti diselimuti kehangatan.
Kembali menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya di hari yang sama, Gara akhirnya duduk di kursi yang paling dekat dengan ranjang setelah menyimpan bingkisan dan juga bunga yang dibawanya di atas nakas.
"Kamu terlihat baik meski sudah satu bulan tertidur. Aku pikir kamu tidak akan bangun lagi." Berujar dengan asal meski matanya tidak berkata demikian. Sosok Abby yang tanpa riasan dan terlihat alami adalah pemandangan baru untuknya.
Alih-alih menjawab, Abby malah tertarik dengan bunga mawar berwarna merah yang Gara bawa. Perlahan, tangan lentiknya mengambil bunga tersebut dan menyimpannya di atas pangkuan. Selimut putihnya yang menutupi kaki Abby membuat mawar tersebut terlihat semakin mencolok.
"Terimakasih karena kamu sudah datang." Ucap Abby tulus dengan mata yang tak lepas dari hadiah mawarnya.
"Aku tidak mungkin mau repot-repot datang kemari jika bukan karena ibuku. Jadi, jangan besar kepala!" nada suaranya masih ketus, tidak melembut sama sekali.
Abby terkekeh kecil mendengarnya, "ya, aku tahu."
Perempuan itu menaikkan pandangan dan matanya langsung bertemu dengan sorot kelam Gara yang juga tengah menatapnya dengan kening berkerut.
Entah sadar atau tidak, tangan Abby terangkat untuk mengusap kerutan di kening mulus tersebut dengan lembut. "Kamu akan tua semakin cepat jika terus berekspresi seperti ini."
Abby tersentak dengan apa yang baru saja dia lakukan, maka dengan cepat dia menjauhkan tangannya. Namun itu kalah cepat dengan tangan besar Gara yang sudah lebih dulu menggenggam pergelangan tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?" desis Gara pelan dengan wajah yang lebih mengerikan. Lelaki itu paling tidak suka disentuh oleh orang 'asing'.
Abby termenung sejenak saat mendapati tatapan tajam Gara yang seperti menghunus jantungnya. "Maaf, aku tidak bermaksud ku-"
"Abbysca. Aku pikir kecelakaan itu akan membuatmu sadar. Namun nyatanya, kamu tetap tidak tahu malu. Bertindak layaknya wanita murahan dengan wajah pucatmu. Kamu ingin aku bersimpati?" kalimat Gara begitu penuh dengan penekanan. Pun dengan genggaman tangannya yang mengerat membuat Abby meringis ngilu. Tubuhnya masih terasa sakit di beberapa bagian, namun lelaki itu dengan sengaja membuatnya tambah sakit.
Lagipula, ada apa dengannya barusan? kenapa dia bertindak di luar batas? dia seperti tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tangannya tadi seolah bergerak tanpa diperintah.
"Maaf, Gara. Tapi, bisakah kamu lepaskan tanganku? itu sakit." Abby meringis dengan mata yang masih menatap Gara.
Lelaki itu mendengus dan segera melepaskan genggamannya dengan kasar membuat Abby mengumpat dalam hati. Orang ini memang minta dihajar. Lihat saja kalau tenaganya sudah pulih nanti, dia pasti akan membalasnya.
Merasa jika suasana hatinya buruk, Gara lekas berdiri membuat kursi tunggal yang dia duduki berderit nyaring. "Aku sedikit berharap kalau kecelakaan itu membuatmu hilang ingatan agar kamu melupakanku dan berhenti menggangguku. Namun sepertinya aku terlalu berharap banyak."
Matanya menatap ke sekeliling dan langsung mendengus kasar kala mendapati beberapa gambar dirinya dipajang dengan indah di sana. Saat mereka bertunangan, saat mereka tengah berlibur di pantai, saat pesta kelulusan sekolah Abby dan yang terakhir adalah foto dirinya seorang diri yang entah kapan diambilnya.
Dan kesamaan dari semua foto itu adalah ekspresi wajah mereka. Abby yang tersenyum ceria dengan binar bahagia di matanya, dan Gara yang hanya menatap datar seolah begitu terpaksa untuk berada di sana.
"Lihatlah semua foto ini? aku jadi bertanya-tanya.." Gara menghentikan ucapannya dan kembali menatap Abby seperti tengah menahan sakit, namun lelaki itu tidak peduli. "..sudah sebesar apa rasa cinta yang selalu kamu agungkan untukku itu berkembang?"
Keduanya terdiam selama beberapa waktu, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Abbysca. Tidakkah kamu lelah dengan semua ini?" nada suara Gara terdengar merendah, dia sepertinya cukup putus asa.
Gara memalingkan wajah ke arah pintu balkon yang terbuka. Taman asri yang dipenuhi tumbuhan hijau dan bunga warna-warni menyapa penglihatannya dari atas sana. Sinar jingga yang perlahan redup membuat tempat itu terasa begitu sepi. Sejenak, matanya terpejam hanya untuk mengingat bayangan masa remajanya yang tengah tertawa bersama Abby kecil di tempat itu.
"Sangat memuakkan." Desisnya pelan pada angin malam yang sebentar lagi akan datang menyapa. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dengan pandangan yang sudah kembali pada Abby.
"Aku muak melihat senyummu yang selalu terlihat kala kita bertemu. Aku muak melihat binar matamu yang bercahaya saat menatapku. Aku muak mendengar rengekanmu saat kamu berkunjung ke kantorku dan merusak hari tenangku." Gara memberikan penekanan pada setiap kata yang dia ucapkan. Tidak peduli dengan Abby yang tengah menunduk, yang mungkin saja merasa tersakiti dengan perkataannya.
"Dan yang paling membuatku muak adalah.. kenyataan kalau kita terikat seperti ini." Gara berujar pelan dengan nada yang kentara sekali sudah lelah.
"Pergi!"
Alis tebal pemuda itu naik saat mendapati suara serak Abby yang menimpali ucapannya.
Abby perlahan mengangkat pandangan. Memperlihatkan wajah penuh air mata dengan mata yang menyorot sendu. Perempuan itu sepertinya tengah kesakitan.
Gara sedikit tersentak melihatnya. Tidak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini. Lelaki itu tak pernah melihat tangisan Abby sebelumnya.
"Abbysca.."
"PERGI!" Abby berteriak sekuat tenaga sembari membanting bantal di dekatnya ke arah Gara yang terkejut.
Tak lama, para pelayan masuk setelah mendengar keributan di dalam kamar Abby. Mereka terkejut sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Jadi, mereka hanya terdiam kaku di sudut ruangan menunggu perintah.
Gara tak banyak bicara. Setelah melihat sekali lagi ke arah Abby yang mulai terisak, lelaki itu pergi tanpa pamit dan salam. Keluar dari kediaman Anggara, membawa segenggam perasaan aneh yang cukup menggangu pikiran dan hatinya.
"Lelaki kurang ajar itu.." Abby menyorot dendam ke arah pintu kamarnya yang terbuka.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
"Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?"
Lina dan Mira mendekat ke arah Abby dengan hati-hati.
Yang ditanya masih diam sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Tak lama Abby berkata, "bakar semua foto lelaki itu!"
. . .
TBC
Yeay, bab tiga datang. Terimakasih sudah sampai di bagian ini, semoga tidak bosan untuk terus memberikan dukungan. ^_^
Salam,
Nasal Dinarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Wahyuni Falin Wahyuni Falin
jangan sama Gara jodohnya lah kak thor ,greget qu .. cowok lain aja jodohnya, biar aja tu si Gara nyesellll
2023-01-15
1
Sri Aisyah
gak jadi nangis kak pas abby berkata " bakar semua foto lelaki itu" beuhhhh serasa dapat angin segar😂😂😂😂😂soalnya aku tipe pendendam klo ada yang nyakitin aku
2022-10-01
4
AbC Home
disini udah ada bawang 😭😭😭
2022-09-20
3