Tubuhnya terasa begitu sakit. Dia bahkan mengira kalau semua tulang persendiannya patah karena untuk menggerakkan ujung jarinya saja dia tidak bisa.
Beberapa menit berlalu setelah dia membuka mata dan mendapati dirinya terbangun di tempat yang asing. Langit-langit kamar berwarna putih pucat dengan satu lampu mewah yang menggantung di tengahnya adalah hal pertama yang dia lihat.
Sejak kapan ada lampu gantung dengan desain mewah seperti itu di tempat tinggalnya? meski dia berasal dari kaum bangsawan, namun selama sepuluh tahun belakangan, dia sudah hidup di asrama dengan penuh kesederhanaan karena pekerjaannya sebagai abdi raja.
Jadi, di mana dia sekarang?
Perempuan itu sedikit waspada saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Entah apa yang mereka lakukan. Namun dia merasa beberapa bagian tubuhnya disentuh sana sini dengan benda dingin yang tak dia ketahui. Sialan, jika saja dia bisa bergerak bebas dan memiliki tenaga, sudah pasti tangan kurang ajar itu patah karenanya.
"Nona Abby, Anda dapat mendengar saya?"
Abby menggulirkan matanya ke arah kanan untuk menatap sosok yang baru saja mengajaknya bicara. Di sana berdiri seorang lelaki tampan dengan pakaian serba putih tengah menatapnya sambil tersenyum. Sepertinya dia seorang dokter. Baguslah, semoga saja orang-orang ini tak memiliki niat buruk padanya.
Tenggorokannya terasa kering dan cukup sakit sekarang, maka Abby hanya memejamkan mata dan membukanya kembali untuk menjawab pertanyaan tersebut, tanda bahwa dia dapat mendengar ucapannya.
Dokter tersebut mengangguk dengan senyuman yang tak luntur dari wajahnya. Kemudian, Abby samar-samar mendengar pembicaraan orang-orang itu sebelum kegelapan kembali menghampirinya setelah merasakan tusukan benda kecil yang runcing dan tajam menembus kulit lengannya.
Sepertinya, dia akan kembali tak sadar selama beberapa jam ke depan.
. . .
Senja datang dengan gerimis yang menghantarkan hawa dingin di tanah ibukota. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi terlihat berjalan tenang di tengah-tengah koridor rumah sakit. Wajah tampan itu masih terlihat datar meski baru saja mendapat kabar bahwa saudarinya baru saja bangun dari tidur panjang. Bukankah seharusnya dia bahagia dan mempercepat langkahnya agar segera sampai dan bisa melihat keadaan adiknya? namun tidak, dia tidak melakukannya.
Juna berhenti sejenak saat dia sudah sampai di depan pintu kamar VIP 1 yang adiknya tempati. Kedua tangannya saling terkepal di sisi tubuh saat merasakan gejolak perasaan yang tak dapat dia mengerti.
Baiklah, dia memang merasa lega karena satu-satunya saudara yang dia miliki sudah bangun. Namun jika orang itu bangun hanya untuk kembali mengacau dan membuatnya harus terus menanggung malu, maka Juna lebih ikhlas kalau adiknya tidak usah bangun saja.
Keterlaluan memang. Namun pemikiran itu sempat terlintas di benaknya beberapa kali.
Setelah membuka pintunya perlahan, Juna dapat melihat seorang perempuan bertubuh mungil tengah berusaha duduk, di sisi kanan dan kirinya terdapat dua perawat yang tengah membantunya dengan hati-hati. Yang satu memegang tubuh adiknya agar tidak oleng, dan yang satunya lagi menaikan kepala ranjang dengan menekan tombol otomatis di sana.
Lelaki itu diam di dekat pintu. Memperhatikan Abby yang kini sudah bersandar dengan nyaman, juga pada perawat yang tengah menyimpan meja kecil berisikan satu set makanan di depan adiknya.
"Pergilah! biar aku yang melakukannya." Juna mendekat dan duduk di atas bagian ranjang pasien yang kosong. Tanpa bertanya atau membantah, dua perempuan itu segera pergi dengan sopan. Mereka tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk mengusik seorang sulung Anggara. Bisa-bisa, pekerjaan mereka hanya tinggal nama nanti.
Abby menatap lelaki asing yang kini juga tengah memandangnya tanpa ekspresi yang berarti. Setelah terbangun di tempat asing, melihat benda-benda yang begitu asing, kini dia juga harus berhadapan dengan banyak orang asing.
Untuk yang kedua kalinya dia bertanya pada dirinya sendiri, sedang berada di mana dia sekarang?
Melihat lelaki itu tak kunjung membuka suara, maka Abby memilih melakukan hal yang sama. Pandangannya turun pada makanan di atas meja kecil yang berada di atas kakinya. Kemudian, tangannya terangkat untuk mengambil gelas berisi air putih di sana. Namun sial, tangannya itu begitu sulit untuk digerakkan.
Abby menghela nafas sembari mencoba kembali peruntungan. Dengan gerakan kaku dan bergetar, akhirnya dia hampir sampai. Namun sebelum berhasil menggenggamnya, tangan lain yang lebih besar sudah lebih dulu mengambilnya.
Tak lama, gelas itu sudah berada di dekat mulutnya. Dalam diam, Abby menenggak air minumnya dengan bantuan lelaki yang belum dia ketahui siapa identitasnya tersebut.
"Te-terima ka.. sih." Matanya terpejam, merasakan perih di tenggorokan saat mencoba berbicara. Sudah berapa lama dia tertidur sebenarnya?
"Aku memang bukan orang baik, tapi bukan berarti aku akan menolak jika kamu minta tolong." Lelaki itu mengaduk bubur di dalam mangkuk dengan pelan, kemudian mengambil sesendok dan mengarahkannya ke depan mulut Abby seperti tadi. "Buka mulutmu!"
Abby menurut, dia membuka mulut kecilnya dan membiarkan makanan lembek dengan rasa yang hambar itu menyapa indera perasa-nya. Perempuan berambut sepinggang itu menatap orang yang sedang menyuapinya dengan teliti. Keningnya mengerut karena merasa tidak asing dengan wajah tampan dan pembawaan dinginnya.
Abby sedikit tersentak saat mengingat satu nama yang terlintas di benaknya.
"Kak Ju..na?"
Juna? siapa dia?
Yang membuatnya lebih kaget adalah, lelaki itu langsung menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Satu alis tebalnya naik, seperti menunggu apa yang ingin Abby ucapkan.
"Arjuna Anggara."
Netra jernih itu melotot saat lagi-lagi mendapati mulutnya berucap dengan spontan begitu saja. Darimana otaknya mengingat nama lengkap itu?
Helaan nafas terdengar begitu berat dari Juna.
"Aku tahu hubungan persaudaraan kita tidak terlalu baik, namun aku masih kakakmu, Abbysca Anggara. Jadi, tolong panggil aku dengan sopan!" nada bicaranya begitu datar, namun itu berbalik dengan tindakannya yang cukup perhatian saat mengusap sudut bibir Abby dengan tisu karena gadis itu makan dengan ogah-ogahan.
Abbysca Anggara.
Arjuna Anggara.
Persaudaraan kita.
Aku masih kakakmu.
Empat kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepala Abby. Dia sampai harus memejamkan mata saat mencoba mencari keterkaitan di antara semua kalimat itu.
Tiba-tiba, sekelibat bayangan panjang berputar di kepalanya layaknya sebuah pertunjukan opera yang dulu sering dia tonton. Rasa sakit menghantamnya saat bayangan itu tak berhenti berputar membuat dia meremas rambutnya dengan kencang.
Orang-orang dengan pakaian aneh itu. Kenapa Abby bisa memiliki banyak ingatan dengan mereka? kenapa dia bisa terbangun di tempat ini? ke mana orang-orang yang dia kenal? rekan seperjuangannya di kerajaan, kakak satu-satunya yang dia miliki, tunangan yang berkhianat padanya, sahabat yang merencanakan pembunuhan untuknya. Ke mana mereka semua?
Nafasnya terengah, wajahnya memucat seiring dengan kesadaran Abby yang harus kembali direnggut oleh kegelapan. Hal terakhir yang dia ingat adalah Juna yang memanggil-manggil namanya dengan raut wajah yang berbeda. Sepertinya, lelaki itu mengkhawatirkannya.
. . .
TBC
Terimakasih banyak untuk teman-teman yang membaca dan mendukung cerita ini. Tolong berikan banyak cinta untuk Abbysca.
Salam,
Nasal Dinarta.
Sudah sepuluh hari berlalu semenjak Abby terbangun dan mendapati dirinya berada di dunia lain. Tempat di mana orang-orang berpenampilan aneh, juga peralatan sehari-hari yang serba canggih dan instan. Abby bahkan hampir melotot saat melihat bangunan-bangunan tinggi menjulang dari balik dinding kaca yang tirainya dibuka oleh seorang perawat. Bangunan itu seperti akan menyentuh langit, membuat Abby merasa kagum dengan kemampuan manusia di zaman ini.
Kebaikan apa sebenarnya yang telah dia perbuat sehingga kini dia bisa melihat dan hidup di abad ke dua puluh satu, yang jaraknya seribu tahun dari zaman dia berasal.
Meski belum bisa menerima sepenuhnya tentang dirinya yang kini hidup di dalam tubuh orang lain, namun Abby cukup mampu mengendalikan emosinya dengan baik. Dia tidak menangis karena mengalami perpindahan masa, dia juga tidak mengamuk karena mendapati dirinya hanya seorang diri di sini bersama 'mereka' yang tidak dia kenal sama sekali.
Dia cukup beruntung karena memiliki pengendalian diri yang baik. Sepertinya itu berkat latihan fisik dan batin yang Abby lakukan di kehidupan sebelumnya. Membuat dia menjadi pribadi yang kuat dengan pembawaan yang tenang dan selalu waspada terhadap sekitar.
Namun saat mengingat bagaimana perangai perempuan yang kini dia tempati, Abby rasanya lebih baik dikirimkan langsung ke alam baka saja. Hidup perempuan ini begitu sia-sia.
Leha-leha dan menghabiskan uang Juna, merias diri berlebihan dan mengejar lelaki yang tak pernah mempedulikannya, juga mengabaikan segala pelajaran di sekolahnya. Bagiamana mungkin ada seorang perempuan yang tidak memiliki urat malu seperti itu? di mana otaknya?
Abby mendengus kala mengingat Juna yang tak pernah mengunjunginya kembali setelah waktu itu. Kini dia mengerti, lelaki itu pasti sakit kepala jika mengingat kekacauan apa saja yang perempuan ini buat.
Ya Tuhan. Harus darimana Abby mulai memperbaiki segalanya?
Saat ini, Abby tengah duduk menyamping di tempat tidur dengan kedua kaki yang menggantung. Matanya menatap datar pada cermin yang dipegang oleh seorang pelayan. Rambut basahnya pun sedang dikeringkan oleh pelayan lain menggunakan sebuah benda berisik yang terasa panas di kepalanya. Sepertinya, dua perempuan di sampingnya ini memang dibayar khusus untuk melayaninya. Abby cukup berterimakasih pada Juna akan hal itu. Meksi terkesan tidak peduli, namun lelaki itu masih perhatian pada adiknya ini.
Wajah di depannya ini, bagiamana Abby menjelaskannya?
Dibandingkan dengan wajah tirus miliknya di masa lalu, potongan yang ini terlihat lebih baik. Bentuknya hanya tiga perempat dari lebarnya telapak tangan orang dewasa. Sedikit bulat dengan dagu yang tidak terlalu lancip. Hidungnya kecil tidak terlalu tinggi. Alisnya cukup tebal dengan jarak yang sedikit berdekatan. Bibirnya cukup tipis namun memiliki warna merah muda alami.
Dan yang paling menonjol menurut Abby adalah matanya. Netra hitam pekat yang memiliki kilauan jernih. Seperti ada aliran air di sana. Jenis ini adalah jenis mata yang dapat membuat orang lain terjerumus karena kedalamannya.
"Hari ini, Nona akan pulang. Apa Nona senang?"
Lina. Perempuan berambut sebahu dengan tubuh yang datar itu bertanya dengan senyuman sopan. Tangannya tidak bergerak sedikitpun karena takut cermin itu akan bergeser dan membuat Abby marah.
"Ya." Jawab Abby singkat. Bagaimana mungkin dia tidak senang jika selama sepuluh hari ini dia harus terjebak di ruangan dengan bau obat-obatan yang menyengat ini?
"Tuan Juna tidak bisa ikut menjemput Anda karena sedang berada di luar kota. Nona tidak masalah bukan?" perawat yang satunya ikut bertanya. Dibanding Lina yang irit bicara, Mira terlihat lebih ceria dan bersahabat. Tubuhnya sedikit gempal, namun itu membuatnya lebih lucu.
"Ya." Itu lebih baik malah. Karena dengan begitu, Abby tidak perlu terjebak kembali dalam kecanggungan dengan lelaki itu seperti tempo hari.
"Hentikan Mira! kamu ingin membakar rambutku?" bertanya kesal namun masih dengan raut wajah yang datar. Pengering rambut yang suaranya dapat membuat telinga tuli itu terasa begitu panas.
Mira langsung berhenti dan segera menjauhkan benda tersebut dari kepala Abby. Juna yang marah memang sangat menyeramkan, tapi Abby yang sedang kesal terlihat lebih mengerikan menurutnya. "Maaf, Nona."
. . .
Jam berlalu dengan cepat, dan langit yang cerah kini sudah berubah menjadi jingga. Padahal Abby hanya diam dan berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa-apa. Sebenarnya itu bukan kebiasannya sejak dulu, namun perintah dari dokter yang menanganinya mau tak mau membuat Abby menurut. Belum lagi Lina dan Mira yang selalu melakukan semua hal yang dia butuhkan tanpa diminta. Abby jadi semakin malas untuk bergerak.
Perempuan itu merapatkan pakaian tebal di tubuhnya saat keluar dari kamar yang sudah cukup lama dia tempati tersebut. Abby duduk di kursi roda dengan seorang lelaki tua yang mendorongnya dengan hati-hati. Abby ingat kalau lelaki itu adalah kepala pelayan di kediaman Anggara. Sedangkan dua pelayannya berjalan persis di belakang Abby.
Kepergiannya diantar oleh beberapa petinngi penting rumah sakit sampai ke gerbang depan. Abby tidak merasa heran sekali, mengingat rumah sakit ini merupakan satu dari sekian banyaknya aset yang keluarga Anggara miliki. Sekarang dan dulu ternyata sama saja. Semua orang akan tunduk pada mereka yang memiliki harta dan jabatan yang lebih tinggi.
Alis perempuan itu sedikit naik saat melihat sebuah kendaraan yang sepertinya terbuat dari besi dan bahan canggih lainnya. Orang-orang menyebutnya 'mobil'. Abby menghela nafas pelan, seharusnya dia bersyukur karena berkat ingatan pemilik tubuh, dia jadi mengetahui segala hal dan tidak membuat orang lain curiga karena tingkah anehnya.
Mobil mewah berwarna silver itu melaju dengan kencang meninggalkan pelataran rumah sakit saat Abby dan tiga orang lainnya sudah masuk dengan aman.
Sedangkan, beberapa petinngi rumah sakit yang ditinggalkan mulai saling berbicara, memberikan pendapat yang sejak tadi mereka tahan.
"Aku cukup kasihan dengan Nona Abbysca. Tuan Arjuna tidak datang karena alasan sibuk di luar kota. Pun dengan tunangannya yang semenjak Nona kecelakaan hanya pernah menjenguknya sekali." ujar seorang lelaki berusia tiga puluhan dengan kemeja putih bersih yang menempel di tubuhnya. Dia adalah salah-satu petinggi rumah sakit yang sebenarnya cukup suka mengurusi kehidupan orang lain.
"Urusan orang-orang konglomerat memang sulit dimengerti. Padahal, Nona Abbysca tidak memiliki kekurangan yang berarti." Timpal perempuan berambut sebahu yang begitu setia memandang mobil mewah yang membawa Abby hingga benda itu hilang saat di ujung belokan. "Memang apa salahnya berjuang untuk orang yang kita cintai?" mendengus kesal. Sebagai sesama perempuan, dia cukup tahu bagaimana rasanya berjuang seorang diri.
"Ey, ey! ada apa dengan kalian? ayo kembali! jangan hanya makan gaji buta saja!"
. . .
Di tempat lain, seorang lelaki dengan wajah yang terpahat sempurna tengah duduk dengan tenang di balik meja kerjanya yang megah. Tumpukan berkas yang menggunung terasa begitu memuakkan baginya yang sejak pagi belum mengambil jeda sama sekali.
Sesekali kening mulus itu akan mengerut jika mendapati hal yang tidak sesuai dengan apa yang dia kehendaki tertera di dalam tulisan. Meski begitu, itu tak bertahan lama karena jemarinya yang menggenggam sebuah pen mahal kembali menari di atas sana dan membubuhkan tanda tangannya dengan cepat.
Sagara Aditama. Itu adalah nama yang tertera di atas meja kerjanya. Ditulis dengan huruf kapital dan diawali dengan kata 'Direktur Utama' sebagai jabatannya saat ini.
Lelaki itu menyimpan pen-nya dengan agak kasar ke sembarang arah sembari memejamkan mata. Punggung tegapnya bersandar pada kepala kursi dengan tangan yang memijat kening pelan. Rasa pusing yang mendera kepalanya tidak bisa menghilang sejak malam tadi.
Selain karena terlalu lelah mengurus perusahaan, Gara juga dipusingkan dengan hal lain. Perempuan paruh baya yang sering dia panggil 'Ibu' terus saja menerornya akhir-akhir ini. Menghubunginya berkali-kali, mengirimkan pesan, bahkan sekretarisnya ikut diteror karena Gara sering sekali menghindar. Dan isinya tidak pernah berubah, sang ibu hanya memintanya untuk menjenguk Abbysca. Tunangannya sejak lima tahun yang lalu.
Tidakkah ibunya tahu kalau hubungan mereka tidak semulus itu? tidak ada kemajuan sama sekali dalam pertunangan mereka. Abbysca yang mengejarnya tanpa lelah. Dan Gara yang selalu menghindar tanpa merasa bersalah. Perpaduan yang sangat pas.
Tok! tok!
"Masuk!" Gara bicara tanpa menoleh. Dia bahkan masih sibuk memejamkan kedua matanya.
Terdengar langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan Gara. "Maaf Pak, Nyonya ingin saya menyampaikan pesan kepada Anda. Nona Abbysca sudah pulang ke kediamannya dan Nyonya meminta saya untuk-"
"Mengunjunginya sekarang juga. Bukan begitu, Mahen?" potong Gara dengan cepat. Wajah tampannya begitu kaku dengan raut yang bosan. Sudah lelah dengan gangguan ibunya.
Mahen mengangguk dengan sopan, "benar, Pak."
"Baiklah, sepertinya hanya itu satu-satunya cara agar Mama tidak terus menggangguku." Gara kembali menghela nafas dan berdiri dari kursi kebesarannya.
"Siapkan mobil!"
. . .
TBC
Terimakasih sudah membaca part ke dua. Tolong berikan dukungan dan cinta yang banyak untuk Abby dan Gara.
Salam,
Nasal Dinarta
Gara masih berdiam diri di balik kemudi setelah sampai di pekarangan luas milik keluarga Anggara lima menit yang lalu. Netra elangnya menyorot dengan tajam ke arah depan. Seolah ingin menghancurkan sosok perempuan di dalam sana yang terus menjadi alasan sang ibu mengganggunya akhir-akhir ini. Jika bukan demi ketenangannya, Gara tidak akan mau datang ke sini.
Lelaki yang tahun ini akan menyentuh angka dua puluh lima tersebut mendengus sebelum membuka pintu mobil dengan sebuah bunga mawar dan kotak bingkisan di lengannya. Dan demi Tuhan, itu bukan keinginannya. Mahen sudah menyiapkan semua itu dan tentu saja itu atas perintah sang ibu.
Wajah tenangnya tak terusik sama sekali saat mendapati sambutan ramah dari para pegawai di sana. Gara hanya menunduk kecil dan tetap melangkah lurus dengan kakinya yang panjang.
Seolah sudah tahu kalau orang yang ingin dia tuju tidak berada di area bawah, Gara langsung menuju lantai dua dengan arahan seorang pelayan yang setia membimbingnya sampai ke depan pintu kamar Abby.
Gara menghentikan gerakan si pelayan yang ingin membukakan pintu untuknya dan segera memberikan tanda pengusiran dengan tangannya. Dia memang tidak biasa untuk berbasa-basi dengan orang asing.
Kenop pintu berwarna putih itu dibuka oleh Gara secara perlahan. Wangi khas lavender yang sialnya cukup dia ingat sebagai aroma perempuan itu langsung menyapa hidungnya kala pintu tersebut terbuka lebar dengan sepenuhnya.
Gara terpaku di tengah pintu kala mendapati seorang perempuan berwajah pucat tengah duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mata yang menatap bosan pada tayangan televisi di depannya. Meksi begitu, tangannya begitu aktif memasukan satu demi satu potongan apel yang sudah dikupas ke dalam mulutnya.
Abby tidak terlihat seperti yang Gara bayangkan sebelumnya. Perempuan itu nampak tidak terganggu meski tahu bahwa seseorang kini tengah memasuki kamarnya. Dan entah kenapa lelaki itu cukup terganggu dengan kenyataan tersebut.
"Masuklah! aku tidak akan memakanmu, Gara." Ucapan sarkas Abby terdengar cukup menjengkelkan. Namun di sisi lain, Gara pun merasa agak aneh karena nada bicara perempuan itu sedikit lebih tenang dari biasanya.
Gara kembali melanjutkan langkah, mendekati sosok Abby yang juga mulai menatap ke arahnya. Namun tak seperti biasanya yang selalu banyak tingkah, kini Abby hanya diam menunggu lelaki itu bicara.
Dalam beberapa detik, dua orang itu hanya saling menatap tanpa ada yang bersuara. Gara yang berdiri dengan hadiah di tangannya terlihat cukup manis saat memandang Abby yang tengah mendongak ke arahnya. Bias senja berwarna jingga melewati jendela, membuat dua sosok itu seperti diselimuti kehangatan.
Kembali menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya di hari yang sama, Gara akhirnya duduk di kursi yang paling dekat dengan ranjang setelah menyimpan bingkisan dan juga bunga yang dibawanya di atas nakas.
"Kamu terlihat baik meski sudah satu bulan tertidur. Aku pikir kamu tidak akan bangun lagi." Berujar dengan asal meski matanya tidak berkata demikian. Sosok Abby yang tanpa riasan dan terlihat alami adalah pemandangan baru untuknya.
Alih-alih menjawab, Abby malah tertarik dengan bunga mawar berwarna merah yang Gara bawa. Perlahan, tangan lentiknya mengambil bunga tersebut dan menyimpannya di atas pangkuan. Selimut putihnya yang menutupi kaki Abby membuat mawar tersebut terlihat semakin mencolok.
"Terimakasih karena kamu sudah datang." Ucap Abby tulus dengan mata yang tak lepas dari hadiah mawarnya.
"Aku tidak mungkin mau repot-repot datang kemari jika bukan karena ibuku. Jadi, jangan besar kepala!" nada suaranya masih ketus, tidak melembut sama sekali.
Abby terkekeh kecil mendengarnya, "ya, aku tahu."
Perempuan itu menaikkan pandangan dan matanya langsung bertemu dengan sorot kelam Gara yang juga tengah menatapnya dengan kening berkerut.
Entah sadar atau tidak, tangan Abby terangkat untuk mengusap kerutan di kening mulus tersebut dengan lembut. "Kamu akan tua semakin cepat jika terus berekspresi seperti ini."
Abby tersentak dengan apa yang baru saja dia lakukan, maka dengan cepat dia menjauhkan tangannya. Namun itu kalah cepat dengan tangan besar Gara yang sudah lebih dulu menggenggam pergelangan tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?" desis Gara pelan dengan wajah yang lebih mengerikan. Lelaki itu paling tidak suka disentuh oleh orang 'asing'.
Abby termenung sejenak saat mendapati tatapan tajam Gara yang seperti menghunus jantungnya. "Maaf, aku tidak bermaksud ku-"
"Abbysca. Aku pikir kecelakaan itu akan membuatmu sadar. Namun nyatanya, kamu tetap tidak tahu malu. Bertindak layaknya wanita murahan dengan wajah pucatmu. Kamu ingin aku bersimpati?" kalimat Gara begitu penuh dengan penekanan. Pun dengan genggaman tangannya yang mengerat membuat Abby meringis ngilu. Tubuhnya masih terasa sakit di beberapa bagian, namun lelaki itu dengan sengaja membuatnya tambah sakit.
Lagipula, ada apa dengannya barusan? kenapa dia bertindak di luar batas? dia seperti tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tangannya tadi seolah bergerak tanpa diperintah.
"Maaf, Gara. Tapi, bisakah kamu lepaskan tanganku? itu sakit." Abby meringis dengan mata yang masih menatap Gara.
Lelaki itu mendengus dan segera melepaskan genggamannya dengan kasar membuat Abby mengumpat dalam hati. Orang ini memang minta dihajar. Lihat saja kalau tenaganya sudah pulih nanti, dia pasti akan membalasnya.
Merasa jika suasana hatinya buruk, Gara lekas berdiri membuat kursi tunggal yang dia duduki berderit nyaring. "Aku sedikit berharap kalau kecelakaan itu membuatmu hilang ingatan agar kamu melupakanku dan berhenti menggangguku. Namun sepertinya aku terlalu berharap banyak."
Matanya menatap ke sekeliling dan langsung mendengus kasar kala mendapati beberapa gambar dirinya dipajang dengan indah di sana. Saat mereka bertunangan, saat mereka tengah berlibur di pantai, saat pesta kelulusan sekolah Abby dan yang terakhir adalah foto dirinya seorang diri yang entah kapan diambilnya.
Dan kesamaan dari semua foto itu adalah ekspresi wajah mereka. Abby yang tersenyum ceria dengan binar bahagia di matanya, dan Gara yang hanya menatap datar seolah begitu terpaksa untuk berada di sana.
"Lihatlah semua foto ini? aku jadi bertanya-tanya.." Gara menghentikan ucapannya dan kembali menatap Abby seperti tengah menahan sakit, namun lelaki itu tidak peduli. "..sudah sebesar apa rasa cinta yang selalu kamu agungkan untukku itu berkembang?"
Keduanya terdiam selama beberapa waktu, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Abbysca. Tidakkah kamu lelah dengan semua ini?" nada suara Gara terdengar merendah, dia sepertinya cukup putus asa.
Gara memalingkan wajah ke arah pintu balkon yang terbuka. Taman asri yang dipenuhi tumbuhan hijau dan bunga warna-warni menyapa penglihatannya dari atas sana. Sinar jingga yang perlahan redup membuat tempat itu terasa begitu sepi. Sejenak, matanya terpejam hanya untuk mengingat bayangan masa remajanya yang tengah tertawa bersama Abby kecil di tempat itu.
"Sangat memuakkan." Desisnya pelan pada angin malam yang sebentar lagi akan datang menyapa. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dengan pandangan yang sudah kembali pada Abby.
"Aku muak melihat senyummu yang selalu terlihat kala kita bertemu. Aku muak melihat binar matamu yang bercahaya saat menatapku. Aku muak mendengar rengekanmu saat kamu berkunjung ke kantorku dan merusak hari tenangku." Gara memberikan penekanan pada setiap kata yang dia ucapkan. Tidak peduli dengan Abby yang tengah menunduk, yang mungkin saja merasa tersakiti dengan perkataannya.
"Dan yang paling membuatku muak adalah.. kenyataan kalau kita terikat seperti ini." Gara berujar pelan dengan nada yang kentara sekali sudah lelah.
"Pergi!"
Alis tebal pemuda itu naik saat mendapati suara serak Abby yang menimpali ucapannya.
Abby perlahan mengangkat pandangan. Memperlihatkan wajah penuh air mata dengan mata yang menyorot sendu. Perempuan itu sepertinya tengah kesakitan.
Gara sedikit tersentak melihatnya. Tidak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini. Lelaki itu tak pernah melihat tangisan Abby sebelumnya.
"Abbysca.."
"PERGI!" Abby berteriak sekuat tenaga sembari membanting bantal di dekatnya ke arah Gara yang terkejut.
Tak lama, para pelayan masuk setelah mendengar keributan di dalam kamar Abby. Mereka terkejut sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Jadi, mereka hanya terdiam kaku di sudut ruangan menunggu perintah.
Gara tak banyak bicara. Setelah melihat sekali lagi ke arah Abby yang mulai terisak, lelaki itu pergi tanpa pamit dan salam. Keluar dari kediaman Anggara, membawa segenggam perasaan aneh yang cukup menggangu pikiran dan hatinya.
"Lelaki kurang ajar itu.." Abby menyorot dendam ke arah pintu kamarnya yang terbuka.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
"Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?"
Lina dan Mira mendekat ke arah Abby dengan hati-hati.
Yang ditanya masih diam sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Tak lama Abby berkata, "bakar semua foto lelaki itu!"
. . .
TBC
Yeay, bab tiga datang. Terimakasih sudah sampai di bagian ini, semoga tidak bosan untuk terus memberikan dukungan. ^_^
Salam,
Nasal Dinarta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!