Berita tentang Abbysca yang kini menyeret nama kakak dan tunangannya ternyata berdampak besar pada saham dua perusahaan raksasa tersebut. Sama-sama memiliki ikatan dekat dengan Abby, membuat dua lelaki itu ikut dibicarakan oleh media. Apalagi kini, masing-masing saham perusahaan mereka terlihat naik beberapa persen setelah berita Abby diliris. Itu merupakan suatu keuntungan tanpa harus diusahakan. Entah harus senang atau tidak, tapi keduanya memilih bungkam alih-alih memberikan konfirmasi.
Juna dan Gara seolah tidak peduli dengan media yang tengah gonjang-ganjing sekarang karena isu kalau keduanya akan terjun dalam dunia politik beberapa bulan ke depan. Dan tanpa diduga, beberapa partai besar juga tengah mengincar mereka agar mau bergabung bersama. Sungguh, ini adalah sesuatu yang konyol.
Juna yang kala itu tengah menikmati makan siang di dalam ruang kerjanya, menatap malas pada televisi besar di depan sana yang belum berhenti menayangkan wajah adiknya. Sudah dia duga, apa yang Abby lakukan kemarin memang menarik untuk diangkat menjadi berita. Padahal, jika saja foto dan video saat Abby yang tengah berjalan di tengah kampung kumuh tidak tersebar, mungkin namanya juga tidak akan ikut terseret seperti ini.
Apa-apaan mereka. Siapa memangnya yang ingin terjun ke dunia politik yang sangat menyeramkan itu? Juna tentu dengan senang hati akan mengurus perusahaan keluarga yang terus membesar ini sampai tua, daripada bergaul dengan orang-orang di pemerintahan.
Juna mendengus, "Gara pasti tengah menertawakanku sekarang." Lelaki itu menenggak air putihnya hingga tandas, memilih mengakhiri makan siangnya lebih awal karena kehilangan selera.
Dia dan Gara sudah mengenal cukup lama, namun kedekatan keduanya hanya sebatas teman yang tidak benar-benar teman. Mereka tidak sering bicara atau saling bertukar pikiran layaknya sepasang teman, mereka juga hanya pernah beberapa kali bertemu secara langsung, room chat mereka saja hanya diisi dengan hal-hal penting. Namun di antara semua itu, ada satu hal yang menjadi kesamaan. Yaitu, mereka tidak pernah memiliki keinginan untuk bergelung dalam dunia politik.
Jadi, sudah dapat dipastikan kalau Gara pun tengah menyumpahi media yang menggoreng berita tentang Abby hingga menyeret namanya. Namun di sisi lain, Gara juga pasti sedang menertawakan nasib Juna yang tak beda jauh saat ini.
Juna mengalihkan pandangan saat Damar, sekretarisnya, masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
"Maaf, Pak. Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali. Namun tidak ada sahutan. Jadi, demi keamanan saya langsung masuk saja." Langsung menjelaskan saat melihat wajah menyeramkan milik Juna. Meski dapat dibilang sangat tampan, tapi atasannya itu akan terlihat menakutkan saat aturannya dilanggar. Juna memang menyukai kedisiplinan.
"Ada apa?" mengubah cara duduknya menjadi lebih santai. Terlalu enggan untuk merusak hari dengan bentakan yang tidak perlu. Biarkanlah Damar selamat kali ini.
"Pak Danu sudah datang dan sedang menunggu di luar. Apa beliau dapat diperbolehkan masuk sekarang?" Juna memang menyuruh bawahannya itu untuk menjemput Danu, seorang kakek yang semalam dia bicarakan dengan Abby, agar mendatangi kantornya siang ini.
Juna menatap bekas makan siangnya yang agak berantakan, "tolong minta seseorang untuk membereskan ini! setelah itu, ajak beliau masuk!"
Damar mengangguk sopan dan segera menjalankan perintah Juna. Sepuluh menit kemudian, meja di depannya sudah bersih kembali. Menyisakan bunga lavender segar di dalam pot cantik yang akhir-akhir ini menjadi pengharum alami ruang kerja Juna.
Tak lama berselang, Danu masuk dengan wajah sungkannya. Lelaki tua itu mengenakan pakaian batik dan sepatu tanpa tali yang terlihat baru. Sepertinya, yang dikenakan Danu saat ini merupakan salah-satu pemberian Abby. Baguslah, itu terlihat cocok.
Juna berdiri dan mendekati Danu yang terdiam kaku di dekat pintu. "Selamat siang Pak Danu. Mari duduk!" meski tidak mendapatkan banyak pelajaran dari ayah maupun ibunya saat kecil dulu, namun Juna paham kalau sosok orang tua itu harus diperlakukan dengan baik.
"Terimakasih, Tuan. Saya tidak menyangka bisa memasuki tempat luar biasa seperti ini." Danu memandang kagum ke sekeliling ruangan yang kini dia tempati. Sekalipun, dia tidak pernah bermimpi untuk bisa memasuki sebuah gedung mewah tempat manusia berkasta tinggi mencari nafkah.
"Bukan masalah. Silahkan diminum!" Juna menunjuk sopan secangkir teh hangat berkualitas tinggi dengan kelima jarinya. "Atau..mungkin Anda ingin makan dulu? apa Anda sudah makan sebelum ke sini?" sekarang, Juna sedikit menyesal karena hanya menyuruh Damar untuk menyiapkan minuman dan kudapan ringan saja.
Danu menggeleng, "tidak, Tuan. Saya sudah makan. Terimakasih atas perhatiannya." Meski rasa sungkannya belum hilang, namun Danu terlihat duduk dengan nyaman di sana. "Saya juga ingin berterimakasih atas bantuan yang begitu banyak dari Anda dan juga Nona Abbysca. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda berdua."
Tertegun adalah hal yang spontan Juna lakukan kala mendengar doa tulus dari Danu berkat niat baik Abby. Sungguh, Juna bukanlah manusia yang dekat dengan Tuhan, namun mendapatkan doa secara langsung seperti ini dari orang asing adalah hal baru untuknya.
Lelaki itu berdehem dan sedikit memalingkan wajah, "terima kasih kembali."
Juna berhenti sebelum melanjutkan, "sebenarnya, maksud saya meminta Anda datang adalah untuk membahas niat adik saya." Kembali memikirkan percakapannya dengan Abby semalam. "Apa Anda merasa nyaman tinggal di rumah Anda yang sekarang?" karena tidak tahu darimana harus memulai, akhirnya Juna memilih mempertanyakan itu.
Danu terdiam sejenak, "jika nyaman yang Anda maksud adalah saya masih bisa tidur dan berteduh tanpa harus kepanasan atau kehujanan, maka saya nyaman tinggal di sana." Walau bagaimanapun, rumah yang Danu tempati sampai saat ini adalah hasil jerih payahnya. Tidak mudah bagi seseorang untuk mendapatkan hunian nyaman di kota ini, apalagi dengan ekonomi yang tidak memadai. Jadi, memiliki rumah yang lebih tepatnya dibilang gubuk, adalah hal yang sangat Danu syukuri.
Jawaban yang bagus. Juna mengakui dalam hati. Meski tidak berpendidikan tinggi dan hidup dalam lingkaran kemiskinan selama puluhan tahun, namun Danu terlihat cukup berkarakter. Juna sedikit terkesan.
"Apa orang-orang di sekitar Anda memperlakukan Anda dengan baik?" lanjutnya.
Senyuman kecil terbit di wajah tua Danu, "kami hanya saling menyapa di beberapa kesempatan karena rumah saya sedikit jauh dari keramaian. Lagipula, kami sama-sama berekonomi sulit. Akan cukup mustahil bagi mereka untuk membantu saya secara materi." Entah kenapa, mendengar pertanyaan Juna, Danu jadi berpikir bahwa sebenarnya hal yang ingin lelaki muda itu dengar adalah hal lain yang lebih spesifik dari pertanyaan yang dia ajukan sendiri. Maka dari itu, Danu menjawabnya langsung pada intinya.
Lagi-lagi Juna dibuat terkesan karena kepekaan Danu. Lelaki tua di depannya ini masih terlihat sehat dan dapat berpikir jernih meski usianya sudah tiga kali lipat di atas Juna.
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaan Anda? Anda merasa tidak keberatan?"
Danu kini mulai menurunkan pandangan, "mencari barang bekas ringan adalah satu-satunya hal yang dapat saya lakukan di saat saya tidak memiliki keahlian khusus, juga usia saya yang tidak akan mampu jika harus mengerjakan pekerjaan berat." Lelaki tua itu kembali menaikkan pandangan sembari tersenyum tulus, "itu adalah mata pencaharian saya, maka saya merasa baik-baik saja dengan itu."
Baiklah, kini Juna paham dengan apa yang harus dia lakukan.
. . .
"Tidak, Ma. Aku tidak ada hubungannya dengan apa yang Abby lakukan." Gara menghela nafas, lelah menghadapi rentetan pertanyaan dari Melly.
"Itu tidak terdengar buruk, Gara. Dunia pemerintahan akan membuatmu semakin kaya." Melly terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
"Memang sejak kapan aku mau mengurusi hal rumit seperti politik? bergelut dengan berkas perusahaan sudah menjadi bagian hidupku." Orang-orang di balik media memang tidak akan makan jika tidak mengeluarkan berita panas yang delapan puluh persennya berisi rumor semata. Kapan Gara terlihat berminat pada dunia politik?
"Baiklah, baik. Lalu, bagaimana dengan calon menantu Mama? Abby terlihat cantik, seperti Dewi saat berjalan di tengah pemukiman warga. Tidak salah Mama memilihkan calon berhati malaikat seperti itu untukmu."
"Abby baik-baik saja.." sampai bisa membuatku kelimpungan akhir-akhir ini. Lanjut Gara dalam hati. Kenapa ibunya itu selalu bersemangat jika sedang membicarakan Abby? bagaimana jika pada akhirnya, Melly tahu dengan semua kebenaran yang berusaha dia tutupi ini?
"Kamu masih bersikap sama jika itu menyangkut Abby. Kamu harus merubah sikapmu itu Gara! mana ada perempuan cantik dengan paket lengkap selain Abby yang mau menunggumu selama lebih dari lima tahun? dia pergi nanti, baru menyesal kamu!"
Kini, Gara diam. Meresapi kalimat panjang yang baru saja ibunya ucapkan. Tanpa diingatkan pun, Gara paham bagaimana rasanya ditinggalkan. Namun, belum ada yang dapat dia lakukan sekarang untuk mencegah semua itu.
"Maaf, Ma. Aku hanya..belum bisa." Jawabnya lirih, sembari menatap figura yang Abby pecahkan waktu itu yang kini berhasil Mahen perbaiki. Meski tidak terlihat sama dengan yang asli, namun itu tidak buruk.
Melly terdengar menghela nafas kasar di sebrang sana.
"Baiklah, lupakan itu dulu. Lalu, bagaimana dengan Juna? dia mau ikut berkontribusi bukan di acara besar kita?" nada suaranya jadi lebih antusias sekarang.
"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya Juna sedikit keberatan dengan apa yang Mama inginkan. Mungkin nanti aku akan kembali bicara padanya." Lagipula, Melly memang ada-ada saja. Kenapa harus melibatkan orang lain dalam acara penting perusahaan mereka? meski dengan embel-embel calon besan, itu tidak etis sama sekali. Apalagi saat mendengar penolakan langsung dari Abby, Gara merasa harga dirinya sedikit terluka.
Panggilan itu diakhiri oleh Gara setelah Melly berkata akan pulang satu Minggu lagi. Ibunya itu memang disibukan dengan butiknya yang berada di luar negeri. Apalagi, setelah dia resmi bercerai dengan Bima, ayah Gara, beberapa tahun yang lalu, Melly seolah enggan untuk menginjak tanah kelahirannya.
"Mama terus memaksaku untuk bersikap baik pada Abby, namun Mama sendiri tidak memberikan contoh yang baik padaku selama ini."
Jadi, bagiamana mungkin Gara mampu bersikap demikian?
. . .
TBC
Sesuai janji saya tadi, hari ini saya double up. Hore!
Seperti biasa, saya ucapkan terimakasih buat teman-teman yang selalu datang untuk memberikan dukungan. Semoga sehat selalu.
Jangan lupa untuk vote dan komentarnya, teman-teman! ^_^
Salam,
Nasal Dinarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
AbC Home
oh gara
2022-09-20
1
Hermalinda Nova
makasih thor atas double up y klo bisa nih ya crazy up dong thor☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️
2022-09-10
1