Meski besok libur, tak berarti malam harinya adalah hari yang tenang bagi Nami. Kini ia tengah bersiap-siap dengan sepedanya, mengantarkan pesanan ayam milik pelanggan.
Nami mulai mengayuh sambil bersenandung kecil menikmati suasana malam hari. Pemukiman yang padat tak lagi membuat malam terasa dingin. Ia tiba di alamat pemesan ayam goreng restoran keluarganya.
Gadis itu turun dan menyagakkan sepedanya.
Senyumnya mengembang kala melihat tanaman merambat yang tumbuh hampir memenuhi pagar dan gerbang kayu di depannya. Pagar dan gerbang itu tak tinggi, hanya sebatas dadanya saja.
Lihatlah juga rumah sederhana berbahan kayu dua tingkat di hadapannya. Perpaduan warna antara putih dan abu-abu memberikan kesan lembut di mata. Tak seperti warna yang lain, pintunya berwarna biru muda, menjadikan benda itu tampak mencolok. Namun tetap menyatu dengan warna yang lain. Di teras ada beberapa tanaman yang digantung sampai menjuntai ke bawah. Cantik. Nami menyukai rumah ini.
Ia yang hanya memandangnya saja sudah merasa nyaman. Bagaimana rasanya jika ia tinggal di sana. Rasanya ada banyak cinta yang diberikan pemiliknya ke rumah itu. Siapa pun pemiliknya---entah mengapa---Nami merasa adalah seorang perempuan tua yang hangat. Ya, seseorang yang mungkin pantas ia panggil "nenek".
Nami menekan bel di dekat gerbang.
"Siapa?" tanya suara dari sebuah video interkom. Suara seorang laki-laki. Mungkin anak atau cucu pemilik rumah.
"Pesanan ayam gorengnya, Mas," sahut Nami sambil membawa plastik di tangannya mendekat ke kamera.
Tak ada suara lagi, Nami jadi merasa diabaikan. Namun, tak lama pintu rumah terbuka dan seorang laki-laki berkaos hitam dengan celana pendek keluar. Nami diam saja seraya menunggu orang itu mendekat, tapi semakin dekat, ia merasa semakin familier dengan pemuda itu.
Gerbang kayu dibuka dari dalam. "Mana ayam gue?" sergah suara di depannya ketus.
Ah, jadi ini rumah laki-laki stony faced teman semejanya.
"Ini." Nami mengangsurkan bungkusan yang dibawanya.
Zelan mengambil benda yang disodorkan padanya, lalu membayar dengan kupon ayam yang diberikan (ralat) dicurinya dari Nami waktu itu. Tanpa kata-kata lagi Zelan nyelonong pergi begitu saja. Nami bahkan tak sempat berterima kasih untuk bersopan santun pada pelanggannya. Ia manyun, kesal, berang, dongkol, tapi lagi-lagi hanya bisa diam tak berani marah-marah.
Kembali gadis itu mengayuh sepedanya sampai ke restoran keluarganya.
"Ada pesanan lagi, Mi!" Nami yang baru sampai langsung disodorkan seplastik bungkusan berisi ayam goreng untuk diantar. Ibunya memberikan sebuah alamat yang langsung membuatnya mengernyit.
Alamat yang sama dengan alamat yang baru didatanginya tadi.
"Hmm, bauk-bauknya gue bakal dikerjain nih sama setan ayam itu."
Dengan keluhan yang berkali-kali keluar dari mulutnya, Nami kembali ke rumah Zelan.
"Cowok kok tinggal di rumah yang gayanya kayak nenek-nenek gini."
Nami mendengus turun dari sepeda sambil matanya kembali menyapu setiap detail rumah yang beberapa saat lalu dikaguminya. Ia melakukan hal yang sama lagi. Dan hal yang sama terulang lagi---Zelan keluar, nerima pesanan, dan ngeloyor begitu saja.
Sampai di restoran, sebuah bungkusan siap untuk diantar diserahkan lagi padanya. Saat melihat alamat yang lagi-lagi sama, Nami membanting helm sepeda. "Gak bisa gantian nih, Bu, nganter makanannya? Nami capek," keluh Nami saat ibunya akan masuk lagi ke dalam restoran.
"Baru nganter dua pesenan udah capek. Gak usah manja. Cepet anter nanti pelanggan Ibu marah."
Ibunya benar-benar. Setidaknya biarkan ia masuk dulu kek. Masih di luar saja sudah dicegat untuk langsung mengantar makanan lagi ke rumah orang sarap. Ibunya sadar tidak sih itu yang pesan orangnya sama terus.
Nami mendesah panjang. Ia bukannya lelah. Mengantar dua pesanan tak akan membuatnya kelelahan. Ia tak selemah itu. Capek hanya alasan karena ia malas kembali ke sana. Walau begitu, Nami tetap kembali. Dan hal yang sama terjadi lagi.
Sampai ke pesanan kelima, Nami sudah tak tahan. Ia memencet-mencet bel dengan tak sabaran. Meski sudah dilihatnya Zelan keluar dari pintu, Nami tak juga berhenti memencet bel.
"Biarin aja rusak. Biar orang-orang tau gue udah ribuan kali kemari sampai belnya rusak," batin Nami yang tentu hanya hiperbola-nya saja.
Pagar dibuka untuk yang kelima kalinya. "Kalo bel rumah gue rusak lo yang harus ganti."
"Kalo gitu jangan buat gue kemari lagi."
Zelan tersenyum meremehkan. "Yang nyuruh lo kemari siapa?"
"Lo!" Tunjuk Nami di depan wajah Zelan.
Pemuda itu kaget dan langsung mendelik, membuat Nami kikuk dan langsung menurunkan tangannya. Ia refleks saja tadi.
"Kalo mau pesan ayam yang banyak, sekalian aja 'kan bisa. Gue capek kalo harus bolak-balik terus."
"Itu derita lo! Pembeli adalah raja. Mana ayam gue?" Zelan menggerakkan tangan meminta pesanannya.
"Nih." Bungkusan kelima yang dibawa Nami berpindah tangan.
Mulai dari pesanan kedua dan seterusnya, Zelan membayarnya dengan uang. Tentu saja karena kupon yang dicurinya memang cuma satu. Sebelum pemuda itu pergi seperti yang sudah-sudah, Nami membuka suara lagi tanpa melihat Zelan sedikit pun, "Bentar lagi restonya tutup. Jadi jangan pesen lagi." Sehabis mengatakan itu Nami langsung menaiki sepedanya dan berlalu menjauh.
Zelan berbalik, memerhatikan punggung seorang gadis yang mengayuh sepeda sangat kencang. Ia tersenyum, sejak Nami mengatakan restorannya akan tutup, Zelan sudah tersenyum. Geli sendiri karena telah berhasil mengerjai Nami.
"It's your punishment, Babe!" gumamnya lalu berbalik.
Sebenarnya Zelan sudah memesan ayam dari empat hari yang lalu---saat ia mengambil kupon Nami. Namun bukan orang yang diharapkannya yang mengantar. Malah bapak-bapak yang Zelan lihat di rumah Nami saat ia sakit yang mengantarnya. Ia terus mencoba sampai hari ini, hari Nami yang mengantar ayamnya. Ia juga sengaja menyimpan kuponnya sebelum bertemu gadis itu. Agar tak ketahuan ia sudah berhari-hari melakukannya.
***
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Myname_isnia
keren kak cerita nya .....
2022-10-14
0
senja
etdah kelakuan Ze bikin mules anak orang, wkaka
2020-05-20
2