Wajah Nami menunduk dalam. Sampai-sampai lehernya sakit akibat saking takutnya ia bergerak. Bernapas pun Nami sangat berhati-hati, takut jika udara yang keluar dari rongga hidungnya dapat mengganggu sang titisan Hitler.
Jujur ia lebih ingin disuruh mencet bisul gajah daripada begini. Itu pun kalau gajah bisa punya bisul.
Ia tak pernah terlibat masalah apa pun dengan seseorang selama ini. Selalunya hidup Nami datar-datar saja, mainstream, cenderung membosankan tanpa drama ini-itu. Namun kini ia menjadi teman semeja seorang perundung yang wajahnya mirip residivis.
Zelan memang tidak pilih kasih dalam mem-bully orang, mau itu anak-anak popular berdandanan heboh dan berkelas dari atas sampai bawah, atau anak culun bermata empat yang hobi bawa buku-buku tebal yang menggunung, kalau ia tak suka ia akan beri pelajaran---laki-laki atau pun perempuan.
Anak populer saja gampang ia membuat perhitungan. Apalagi pada Nami yang superbiasa ini. Oke, memang ia tak jelek-jelek amat. Ia normal-normal saja kok. Tubuh Nami agak kurus dengan tinggi sekitar 162 cm, cukup tinggi. Lalu kulitnya kuning langsat dengan rambut hitam sepinggang yang lurus dan lebat. Ia tak punya poni dan rambutnya selalu dikuncir. Juga tak ada satu pun aksesoris, selain anting, yang ia kenakan, polos dan bersahaja. Terkadang ada yang menyebutnya manis, tapi kacamata yang ia pakai sekarang menutupi semuanya.
Naufal---ketua kelas---masuk ke kelas bersama lima orang lainnya. Mereka langsung meletakkan buku-buku di atas meja guru. Ini sudah kali ketiga mereka balik dari perpustakaan.
"Yang gue panggil namanya maju dan ambil masing-masing satu buku dari setiap mata pelajaran," jelas Naufal kemudian melihat absen dan memanggil orang pertama, "Amanda Namira."
Nami keluar dari mejanya dan melangkah ke meja guru. Ia bersyukur karena meja mereka tidak menempel ke dinding. Jika iya, maka untuk keluar Nami harus selalu berurusan dengan si Seram yang hobi merengut itu. Ia kembali ke tempat duduknya setelah selesai. Diletakkannya buku-buku paket supertebal itu di atas meja. Namun Zelan malah menyeret tumpukan buku itu ke hadapannya. Nami terdiam akan tingkah orang di sampingnya. Bahkan tangannya masih menggantung di udara. Ia ingin bertanya, tapi takut. Untuk melirik Zelan saja debaran jantungnya sudah seperti orang yang baru dilempar dari jurang.
"Apa lo?" hardik laki-laki itu saat melihat lirikan Nami. "Gak terima?"
Nami tersentak akan bentakan Zelan dan langsung berujar secara refleks, "Terima-terima, terima kasih."
What? Apa itu? Terima kasih buat apa coba? Dasar kikuk! Bikin malu saja.
Gadis itu kembali duduk. Ia ingin mengembuskan napasnya kuat-kuat, tapi takut. Pengecut. Nami memang sepengecut itu. Ia benci cari masalah dan memang takut dengan Zelan. Bahkan sudah dari pertama masuk sekolah.
Perlahan Nami menyesali keputusannya pindah sekolah ke Peddie. Awalnya ia hanya sekolah di SMA negeri biasa. Namun saat semester dua kelas sepuluh, kakak laki-lakinya menawarkan agar ia pindah sekolah kemari. Semua biaya sekolah ditanggung oleh kakaknya yang sekarang sudah menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Nami punya niatan untuk mengambil beasiswa prestasi. Namun nilai akademiknya tak sebagus itu. Murid-murid di sini, terutama yang dari SMP atau mungkin dari PAUD sudah sekolah di yayasan Peddie, sudah sangat terbiasa dengan jam belajar yang ketat. Mereka sangat disiplin dengan waktu dan keinginan belajarnya benar-benar tinggi.
Meski saat kelas sepuluh Nami tak berada di kelas unggulan, tapi orang-orang di kelasnya hampir semua mengikuti bimbingan belajar. Serta tak sedikit pula yang ikut kelas tambahan sepulang sekolah dari jam tiga sampai setengah lima sore. Setelah ikut kelas tambahan pun beberapa ada yang ikut ekskul lagi, baru kemudian pergi bimbingan belajar. Benar-benar deh!
Awalnya, Nami yang biasa bersantai-santai dalam belajar, sangat kaget saat tahu beberapa temannya pulang les atau diskusi dari bimbingan belajar sampai jam sembilan atau sepuluh malam. Namun sekarang hal itu sudah terasa sangat biasa baginya.
Walau sudah terbiasa dengan sistem belajarnya, bukan berarti Nami bisa jadi juara umum. Bahkan untuk masuk sepuluh besar umum juga tidak bisa. IQ-nya tak cukup tinggi untuk mengalahkan orang-orang genius di kelas ini. Salah satunya si Seram yang sekarang sedang duduk bak tuan tanah di sampingnya.
Nilai IQ Nami hanya 130. Orang yang rentan nilainya 120-139 termasuk dalam kategori cerdas. Namun kategori itu tentu tak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Zelan yang dapat nilai 187---termasuk kategori superior.
Akhirnya Nami kembali maju ke depan saat nama Zelan dipanggil. Naufal tidak heran karena sudah melihat sendiri apa yang dilakukan laki-laki itu pada Nami.
***
Rasanya seperti bisa kembali menghirup udara bebas. Mungkin kata-kata Nami terdengar seperti orang yang baru keluar dari penjara, tapi itu benar. Bahkan rasanya Nami dapat mengirup habis seluruh udara yang ada di ruangan ini saking leganya ia sekarang.
"Gila! Gimana rasanya duduk sama titisan Hitler?"
Mendengar celetukan tak berfaedah itu, Nami hanya menampilkan senyum risau.
"Heh, kok loyo banget sih?" Clarissa mendorong bahu Nami dan duduk di kursi Zelan. "Tadi mukanya lega, sekali ditanyain kok berubah jadi tertindas gitu."
"Lo seharusnya paham dong, kalo rasanya gak enak sama sekali," jawab Nami akhirnya.
"Eh, itu," Clarissa menunjuk sesuatu dari jendela di sebelah Nami, "si Zelan bukan sih?"
Nami mengikuti arah pandang sahabatnya. Di bangku kayu melingkar di bawah sebuah pohon mahoni besar, dua anak manusia tengah duduk santai di sana, si pemuda terlihat tengah membelai-belai pipi kekasihnya penuh welas asih---berbincang-bincang dan sesekali tersenyum penuh kelembutan dan pengertian.
"Dia benar-benar beda benget ya, kalo lagi sama Vivian?" tanya Clarissa meminta persetujuan.
Nami menopang dagunya dengan tangan kanan melihat dua orang itu, menyorot intens setiap tindakan Zelan. "Gue memang bukan siapa-siapa mereka. Tapi kok nyesek ya dianaktirikan begini."
Clarissa tak menjawab apa-apa, hanya memandangi sahabatnya dengan air muka yang sulit untuk diartikan. Nami menoleh untuk melihat gadis itu yang masih bergeming.
“Kayaknya gue gak sanggup deh ada di kelas ini. Apa gue minta pindah kelas aja, ya?”
“Pindah?” pekik Clarissa tiba-tiba. Tak menyangka Nami menanyakan hal bodoh begitu. “Eh, Nam, lo belajar mati-matian selama semester dua ini, bahkan sampe keluar dari ekskul literatur buat belajar. Tapi karna cowok begeng yang hobi nakut-nakutin orang, lo mau ngelepasin ini gitu aja?”
Nami tersenyum kecut. “Hehe, gak jadi.” Lalu ia kembali melihat ke arah Zelan dan Vivian.
“Jangan diliatin terus! Bahaya tau kalo ketahuan ngintip orang serem pacaran,” peringat Clarissa. “Bisa dimasukin ke dalam blender lo, Nam.” Sontak Nami membuang pandang sejauh-jauhnya dari objek yang ia perhatikan.
***
Revisi
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
wimala
thank you for passing by di novelku yaa ...
🤩
2021-07-17
2
mom fausta
kira2 siapa ya temen sekolahku dulu yg kyk gtu..tukang bikin serem...di inget2 dulu lah...
2021-07-11
2
readers_lluk
next
2020-04-14
2