Ini adalah H-2 menuju 17 Agustus. Dan selama seminggu ini, kelas dibebaskan dari proses belajar-mengajar. Tentu saja karena banyaknya lomba dan kegiatan yang diadakan untuk menyambut kemerdekaan.
Selesai memotong-motong buah untuk dijual di bazar, Nami memotong buah pepaya untuk dirinya sendiri.
"Kamu gak ikut lomba apa pun, Amanda?"
"Gak," sahut Nami pada Rachel, gadis keturunan Tionghoa yang duduk di belakang kursinya. Posisi Nami saat ini sedang duduk membelakangi meja guru.
"Kenapa?"
"Gak mood. Gue ngerasa sial akhir-akhir ini. Rasanya gak lucu kalo sialnya kebawa di lomba dan disaksikan sama banyak orang." Nami memasukkan potongan besar pepaya ke dalam mulutnya.
Rachel terkekeh mengerti maksud Nami. "Zelan?"
"Hm."
"Ya ampun, Amanda, kalau kamu merasa sial karena duduk bareng dia, bukan berarti segalanya bakal ikut sial juga 'kan?"
"Chel!" Nami menatap gadis itu serius. Ingin juga ia menggebrak meja untuk menciptakan efek dramatis, tapi tidak, bisa-bisa buah sisa rujak tadi berhamburan entah ke mana. "Bukan cuma itu. Semenjak gue masuk ke kelas ini, gue memang sering sial. Dimulai dari kena cipratan air sampai baju gue kayak orang yang baru diterpa badai. Kemarin pot bunga mawar gue kelindes emak-emak bawa motor sampai bunganya ikut penyet. Padahal sebelumnya, bunga kamboja gue juga udah jadi korban tukang ojek." Nami menarik napas sebentar. "Terus beberapa hari yang lalu gue kena *** burung. Gue dikejar-kejar anjing tetangga. Kaki gue terantuk kaki meja. Gue beli sesuatu dan nunggu kembalian, tapi ternyata uangnya pas. Gue jalan dan kesandung kaki sendiri. Gue pesen mi yang gak pedes, tapi pelayanannya salah ngasi gue pesenan penghujung lain, dan itu pedes banget rasanya. Dan kemarin sore, gue ke warung dengan baju terbalik."
Rachel lagi-lagi terkekeh. "Kok kamu sial banget sih, Man?"
"Memang. Dan kejadian itu terjadi setelah gue masuk ke sini. Sebelumnya gue gak pernah dapat kesialan beruntun gitu." Nami meletakkan potongan besar pepayanya kembali ke piring. Itu potongan kedua yang dia makan, dan sekarang Nami merasa kenyang.
Mereka membereskan alat-alat yang tadi digunakan untuk menyiapkan rujak, kemudian memenuhi meja Rachel dengan barang-barang yang digunakan untuk membuat kerajinan yang bisa ditempel di mading kelas. Di sela-sela kerjaan mereka, Nami kembali menceritakan pengalaman sialnya dengan menggebu. Namun kali ini lebih detail dan hal itu mampu membuat Rachel terus terkekeh dengan ceritanya.
Keadaan kelas agak sepi. Hanya sekitar lima orang yang berada di kelas saat ini. Kebanyakan siswa berada di lapangan. Selain bazar, ada banyak lomba khas tujuh belasan. Nami sudah melihat dari jendela bagaimana keadaan di sana. Benar-benar ramai dan heboh. Suara siswa/i yang menyemangati wakil dari kelas mereka mendominasi setiap pertandingan. Tak jarang pula suara teriakan penonton terdengar ke kelas XI IPA-1, membuat Nami tergelitik untuk ikut meramaikan juga. Mungkin setelah selesai dengan urusan mading ia akan ikut ke luar.
"Bentar ya, aku mau ambil lem dulu," pamit Rechel dan pergi menghampiri dua orang gadis yang juga sibuk membuat daftar piket.
"Iya," balas Nami cepat. Mereka sudah hampir selesai.
Nami menopang dagunya, menunggu Rachel membawa lem untuk mereka berdua. Namun saat Rachel pergi dari kursinya, pandangan Nami bertemu dengan manik hitam seseorang. Laki-laki itu duduk tepat di belakang Rachel. Jadi saat gadis itu pergi, posisi Nami dengannya menjadi berhadapan. Cowok itu juga sedang menopang dagu dengan tatapan lurus ke Nami. Selama beberapa detik mereka terus bertatap-tatapan, sampai Nami malu sendiri dan mengalihkan netranya ke tempat lain.
***
Sejak acara tatap-tatapan tadi, Nami jadi tak tenang setiap melihat cowok yang baru masuk ke kelas saat ini. Cowok itu adalah, Dio, atau lebih tepatnya Edzard Ardio Depari. Bertubuh jangkung dan kulitnya itu lho, bening dan kinclong banget. Matanya agak sipit dan dipermanis dengan dua lesung pipi yang amat sangat memesona. Tak perlu ditanya lagi, fans flower boy satu ini berjibun. Di mana-mana bertebaran cewek-cewek yang histeris setiap bertemu dengannya. Mungkinkah ke depannya Nami akan jadi penggemar Dio juga? Entahlah.
Sebenarnya, ada keinginan kuat untuk ikut ke lapangan setelah selesai dengan mading, tapi saat tahu Dio juga akan ada di sana, entah mengapa Nami jadi mengurungkan niat. Dari curi-curi dengarnya tadi, Dio ikut lomba masukin paku dalam botol. Nami tersenyum, membayangkan cowok ganteng itu setengah jongkok, berusaha memasukkan paku yang terus bergoyang-goyang ke dalam botol.
"Ayo, guys, pulang-pulang!" teriak Ari, salah seorang cowok paling berisik di kelas, yang baru saja masuk.
Mata Nami membeliak saat ia melihat Dio berjalan ke arahnya, dan langsung melengos untuk menutupi kegugupan. Tanpa diduga-duga, pemuda itu mengambil potongan pepaya yang tadi tak habis dimakan Nami. Kebetulan ia tengah menyusun wadah-wadah sisa rujak untuk dibawa pulang. Mata gadis itu semakin melebar. "Buat apa itu?" refleks Nami bertanya.
"Dimakanlah!" jawab cowok itu polos.
"Ha?" Nami heran bukan hanya dengan jawaban Dio, tapi juga karena wajah lempang tak berdosanya.
"Itu udah gue gigit!"
Kembali laki-laki itu menunjukkan tampang innocent yang manis banget di mata Nami. Dio mengambil pisau lalu memotong bagian yang sudah digigit gadis itu. "Udah 'kan?" katanya sambil tersenyum lucu, kemudian pergi begitu saja seraya memakan pepaya-nya.
***
Zelan mengunci dirinya di dalam kamar. Ingatan saat di sekolah tadi benar-benar mengacaukan pemuda itu. Sebuah kilatan balik seorang perempuan yang tertawa riang berkelebat di kepala Zelan, yang kemudian digantikan dengan hal yang selalu menjadi mimpi buruknya.
Pemuda itu duduk di tepi tempat tidur, kaki dan tangannya gemetar hebat, kepalanya pusing, serta ada rasa bergejolak di bagian perutnya. Zelan berteriak sambil menarik rambutnya keras, lalu melempar barang-barang yang terletak di atas nakas samping tempat tidur. Napasnya memendek, terasa sesak. Ia menggila, tak bisa menghentikan potongan-potongan ingatan yang mengganggu. Kepalanya serasa akan meledak menerima semua itu.
Sebuah botol gel rambut menggelinding mendekati kakinya, ia menunduk---mengambil benda itu---lalu melemparnya ke sebuah kaca besar. Pecahan kaca berjatuhan ke lantai bersamaan dengan teriakan Zelan yang kembali menggema. Setelahnya ia duduk di lantai parket di bawah, menyembunyikan wajah di lutut sambil berusaha mengenyahkan semua kilatan balik yang menyerang kepalanya.
Setelah cukup lama, Zelan mengangkat kembali wajahnya. Ia terlihat lelah. Padahal ini baru pukul tujuh pagi. Perutnya semakin berulah, ia ingin muntah. Dengan tubuh masih bergetar, ia berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.
Ia tak akan kalah. Sakit seperti ini sudah biasa ia lalui.
Zelan langsung kembali ke rumah setelah merasa kesal dengan gadis yang menjadi teman semejanya. Ia tahu tak akan ada orang yang mau mengalami gangguan kepribadian. Dan kata-kata sepele gadis itu membuatnya sangat kesal. Kalau saja bukan karena ia melihat wajah seseorang, dapat dipastikan Zelan akan langsung merobek buku sial itu.
***
🥀🥀🥀
Revisi
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Dwi Sari
otor novelnya bau2 kejiwaan mulu y..otor pgn kdi psikiater kah atau dokter jiwa??hmmm
2021-03-13
1
senja
wahhhh kl ketemu sm alumni sekolahnya yg dulu, ngeri bat
2020-05-20
1
senja
komen enteng itu mengerikan
2020-05-20
1