Selepas memberikan pel ke Clarissa---lagi-lagi---Nami menghilang dengan gaibnya, membuat Clarissa capek sendiri mencarinya.
Nami senewen berat, kalau ia berada di kelas sekarang, Zelan kemungkinan besar akan berada di sana. Ia masih sayang nyawa dan belum balas budi pada orang tua dan kakak pertamanya. Keponakan kedua Nami dari kakak perempuannya juga belum lahir. Ia belum pernah pacaran. Ia belum menikah, punya anak, dan bahagia bersama suami dan anak-anak imutnya.
Okelah, mungkin Nami terlalu berlebihan mengira ia akan mati---Zelan akan: melemparnya ke jurang; menodongkan senapan ke kepalanya; melindas Nami pakai truk; atau diikat di rel kereta, mungkin hanya bayangan mengerikannya saja, tapi tetap saja ini tidak bagus. Bagaimana jika kejahatan setengah-setengahnya Zelan membuat ia cacat?
Tiba-tiba, bayangan seorang gadis kurus, lemah, tak berdaya yang berjalan terseok-seok karena kakinya lumpuh sebelah tebersit di pikiran Nami. Wajahnya buruk rupa dengan sebelah kelopak mata menutup---matanya dicongkel.
"AHHHHHHHHHH," Nami berteriak tanpa suara. Tangan kanannya mengepal dan dimasukkan ke dalam mulut, dimaksudkan meredam suara yang ditimbulkan teriakannya.
Nami menggeleng kuat. Ini tak seperti dirinya. Ia tak mudah parnoan begini. Cepat-cepat ia keluar dari bilik toilet yang sudah menjadi markas besarnya sejak dua jam yang lalu. Mungkin cuci muka bisa mewaraskan otaknya yang sedikit bergeser akibat tabrakan tadi. Bahkan sikunya yang terluka ia biarkan begitu saja karena terlalu takut pergi ke UKS---Nami hanya membasuh darah yang keluar saja.
Bersamaan dengan suara pintu bilik yang ditutup, seorang gadis berseru lantang, "Oh, ini dia si tukang kabur! Udah mau kayak Zelan lo, Nam?" Clarissa mendekat dan langsung menjitak dahi Nami tanpa belas kasih, membuatnya terlonjak karena tak siap dengan aksi barbar tersebut. “Sakit, Clar!”
Clarissa sedang mencuci tangan saat melihat seseorang yang sedari tadi dicarinya muncul. "Bodo amat. Lo udah kayak buronan. Hampir aja gue buat selebaran dengan tulisan 'Help Wanted' dan make foto culun lo di rapor sebagai gambarnya."
Nami menahan tawa mendengar ide gila sahabatnya. Ia juga ingat jelas betapa buruk wajahnya di rapor sekolah. Hal yang paling menarik dari rapor Nami bukan nilainya, tapi foto orangnya. Ia terus menjadi bulan-bulanan Clarissa dan Nara---adik Nami---selama seminggu setelah pembagian rapor. Entah bagaimana bisa mata Nami seperti siwer sebelah dan wajahnya dekil plus loyo banget, seolah hanya dengan embusan napas, Nami bisa jatuh terguling-guling. Intinya, foto itu adalah aib bagi dunia. Apalagi di zaman modern yang sudah mengenal istilah filter seperti saat ini.
"Ngapain lo ketawa? Seneng udah buat gue kebingungan nyari-nyari kerak nasi kayak lo?" omel Clarissa lagi sambil melotot. Bukannya takut, Nami malah senyam-senyum tak jelas, merasa lucu jika sahabatnya sudah marah-marah.
"Abis ide lo aneh banget, gue tad...." Belum sempat Nami membuat pembelaan, gadis itu menyela, "Udahlah," Clarissa mengangkat kedua tangannya, "gue gak mau denger apa yang lo lakuin di dalam sana. Ayok keluar!" Tangan Nami diseret sesuka hati.
Nami berdiri ketar-ketir di lapangan. Tempat ini terlalu terbuka. Walau ada banyak orang, tetap saja gadis itu tak bisa tenang. Bagaimana jika Zelan muncul, dan malah mempermalukannya di depan umum begini.
Untuk yang ke sekian kalinya, Nami minta izin untuk pergi pada Clarissa, “Gue pergi aja, ya, Clar!”
Namun lagi-lagi gadis itu menolak dan terus memegangi tangannya. "Lo gimana sih? Tadi di kelas ngilang. Sekarang disuruh ngasi semangat juga mau ngilang lagi. Lo diare?" tuduh Clarissa dengan suara yang tak santai. Selain karena mangkel, juga karena tempat itu yang bisingnya kebangetan.
"Nggak, gue...." Satu hal yang menjadi entah berkah atau musibah untuk Nami. Gadis itu tak bisa berbohong. Kalaupun ia berbohong, akan langsung ketahuan. Makanya ia kesulitan mencari alasan untuk kabur dari sana.
"Udahlah, gak usah cari-cari alasan! Kelas kita masuk final tarik tambang, sebentar lagi giliran kelas kita. Dan lo harus teriak kenceng buat semangatin anak-anak!" perintah Clarissa sesuka hati.
Nami berdecak kesal. Namun kekesalannya tak berlangsung lama saat mata Nami menangkap sosok laki-laki yang mengganggu pikirannya sejak kemarin.
"Ya ampun. Itu ngapain Dio gak pake baju gitu, Tuhan...," batin Nami berkomentar.
Bersamaan dengan keterkejutan Nami, murid-murid perempuan langsung menjerit histeris begitu melihat Dio. Situasi benar-benar tak terkendali. Nami tak tahu hal itu karena Dio-nya, atau karena shirtless-nya. Yah, mau bagaimana lagi, cewek Indonesia 'kan memang senorak itu kalau lihat cowok ganteng. Dan Nami sama noraknya dengan mereka semua.
"Semangat, guys," suara teriakan Clarissa sudah tak lagi terdengar di telinga Nami.
Katakanlah dia mesum karena terus memandangi laki-laki shirtless di tengah lapangan sana. Namun bukan itu saja yang menjadi fokus utama, tapi perasaan aneh yang berpacu di dadanya. Sambil terus berdebar, Nami memerhatikan Dio yang sudah memegang tali tambang bersama teman-temannya yang kasat mata---di mata Nami mereka seperti tembus pandang, sama sekali tak terlihat.
Saat aba-aba untuk memulai pertandingan sudah diberikan, suasana semakin heboh. Mungkin 98 persen orang-orang di lapangan menjerit-jerit norak, terutama gadis-gadis penggila Dio. Suasana pecah dan bising sekali, tak jarang ada yang meneriakkan nama Dio dengan alay-nya. Padahal jelas sekali gadis-gadis yang heboh itu tidak sekelas dengannya. Entah pun, mungkin saja, gadis-gadis itu berasal dari kelas lawan mereka.
Sama seperti yang lain, Clarissa juga heboh sambil sesekali menyenggol lengan Nami, ajakan untuk gadis itu ikut memberi semangat. Namun Nami bergeming. Wajahnya serius menatap seseorang di depan sana. Meski wajahnya tampak serius, tapi hatinya menghangat. Mukanya begitu sebagai bentuk penolakan terhadap apa yang ia rasakan sekarang.
Nami tak sebodoh itu untuk tidak sadar akan perasaannya sendiri. Ia tahu benar ia sudah terpesona pada Dio.
"Sial," umpat Nami pelan sekali. Ia benar-benar tak mengerti dengan dirinya yang mudah terlena pada seseorang. Padahal tadi pagi gadis itu dapat dengan lantang menyangkal ia menyukai Dio, hanya terganggu dengan sifat anehnya saja, tak lebih. Sekarang? Hmm. Ditambah lagi dengan sikap Dio kemarin, dapat dipastikan ini bencana.
Tapi tunggu sebentar, kejadian dua tahun lalu jadi runyam karena dia yang terlalu percaya dengan orang lain. Mungkin jika ia hanya menyukai Dio dalam diam, tak akan jadi masalah. Tentu saja ia juga harus mengontrol kebaperannya.
Akhirnya sorak-sorai penonton bertambah pecah saat kelas XI IPA-1, tidak, lebih tepatnya kelas Dio, mengalahkan kelas lawan---XII IPA-5.
Perlahan sudut bibir Nami melengkung ke atas, melihat seorang laki-laki melompat-lompat kegirangan di depan sana. Namun seperti sebelumnya, ia tak berteriak gaduh seperti yang lain. Suara sorakan yang begitu ramai untuk Dio, sedikit banyaknya, membuat gadis itu sadar diri. Ia hanyalah salah satu dari gadis-gadis yang menyukai Dio. Di luar sana, ada berpuluh-puluh---sepertinya lebih---perempuan yang tanpa perlu diminta ikhlas lahir batin jadi pacarnya. Kalaupun ia baper dengan tingkah Dio, mungkin di luar sana banyak cewek yang baper juga. Iya, Nami tak boleh terlalu meninggi kalau tak ingin jatuh terlalu dalam. Apalagi di bawah tak ada yang akan menangkapnya.
🥀🥀🥀
Revisi
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
senja
tenang, dibawah ada lantai yg rela menangkapmu
2020-05-20
2