"Ze, aku mau kita putus!"
Zelan bergeming di tempatnya. "Apa?" tanyanya, merasa apa yang baru ia dengar tadi hanyalah halusinasi semata.
"Kita putus, Ze!" seru gadis itu lantang.
Zelan tergagap. Tak mampu mengeluarkan kata-kata. Rasanya ini tak nyata, hanya bagian dari mimpi buruk yang sering ia alami. "Nggak, nggak." Pemuda itu tertawa kencang yang malah terdengar pilu. "Gimana bisa sekarang gue mimpiin hal gak guna kayak gini." Zelan menggelengkan kepalanya seraya memutar badan. Ia berjalan menjauh dari gadis itu. Namun Vivian menarik tangannya.
"Ini bukan mimpi, Zelan! Kamu harus berhenti hidup kayak gini. Aku udah capek. Aku gak bisa sama kamu lagi."
Zelan kembali berbalik, melihat tak percaya gadis yang sangat dicintainya. Bagi Zelan, Vivian adalah salah satu alasan terkuatnya masih bertahan di dunia ini. Dengan gemuruh hebat di dada, Zelan menampar kencang pipi kiri-kanannya bolak-balik.
"Stooop!" Vivian berteriak frustrasi, muak dengan tingkah orang di depannya.
Zelan pun menghentikan aksinya. Menatap gadis di hadapannya depan sinar mata meredup dan sedih.
"Kamu yang kayak gitu yang buat aku gak tahan. Sedikit-sedikit kamu meledak-ledak. Beberapa hari lalu juga gitu 'kan? Kamu bahkan ninggalin aku di sekolah dan pulang tanpa alasan yang jelas. Dan setelahnya gak ada kabar selama berhari-hari. Aku gak kuat lagi. Kamu itu aneh! Lemah!" Gadis itu memalingkan muka.
Dengan gundah Zelan menangkup tangan Vivian di dadanya. Ia tak peduli dengan perkataan gadis itu yang menyebutnya aneh atau apa. "Vi, kamu gak serius 'kan? Kamu pasti tahu aku sayang banget sama kamu." Wajah pemuda itu pias, penuh ketakutan, layaknya seorang pecundang yang hendak dibuang. Ia terus memohon, "Vi, aku gak bisa hidup tanpa kamu."
Zelan serius. Ia bahkan sangat serius. Keinginan bunuh dirinya bukan sekali dua kali muncul di benaknya. Hanya dua alasan yang membuatnya bertahan. Jika salah satu hilang, pasti fondasinya akan goyah. Mungkin Zelan akan memilih untuk ikut menghilang pula, pergi jauh bersama rasa sakitnya. Itu terasa lebih baik. Ya, lebih baik.
Vivian menghempaskan tangannya. Tanpa pernah dilihat Zelan sebelumnya, Vivian menunjukkan raut jijik memandang pemuda itu. "Lo itu sakit jiwa! Sadar gak sih? Disuruh konsultasi gak mau. Lo kira gue bisa terus hidup sama orang gila kayak lo? Mikir Zelan, gue gak mau hidup gue ancur karna ngurusin orang sakit. Gue muak sama lo. Terserah lo mau gimana, gue gak peduli. Dan jangan pernah ganggu gue lagi. Kita udah selesai!" Gadis itu pergi begitu saja.
Zelan terduduk. Ia hancur. Benar-benar hancur. Seperti itulah gadis yang ia cintai memandang dirinya. Aneh. Sakit jiwa. Muak?
Entah kapan terakhir kali ia menangis---secara sadar. Rasanya sudah lama sekali. Sesakit dan semengerikan apa pun kilatan balik atau mimpi buruknya, Zelan selalu menahan itu semua. Atau membiarkan dirinya lepas kendali dengan melempar barang-barang serta melukai diri sendiri lebih dulu, baru setelahnya, ia akan berusaha mengontrol semua emosi agar kembali normal---sendiri.
Akhirnya setelah sekian lama, ia menangis. Ini sangat menyakitkan baginya. Dadanya sesak akan segala hal yang terjadi. Pengendalian dirinya yang begitu tipis... hilang. Akal sehatnya benar-benar lumpuh. Tenaganya seperti sudah disedot keluar, ia seperti jiwa di dalam sebuah tubuh yang mati. Namun dengan rasa sakit yang masih menjalari.
Mati. Kata-kata itu terdengar indah di saat-saat seperti ini. Sebuah ajakan untuk melepaskan semua beban dan meraih hidup bahagia.
Semua pikiran negatifnya terganggu oleh panggilan seorang pelayan kafe. Laki-laki tambun dan pendek itu menyuruh Zelan untuk pergi dari sana. Tentu keberadaannya yang terduduk di depan kafe mengganggu orang-orang.
Perlahan ia seperti kembali diberi sedikit tenaga. Pemuda itu pergi tanpa banyak protes. Matanya kosong menatap jalanan; kakinya menapak bumi tak pasti, sesekali ia hampir terjatuh sempoyongan. Entah sudah berapa jauh ia berjalan dengan arah tak pasti. Hanya saja, sekarang ia ingin pergi sejauh-jauhnya.
Tak jauh di depan, tiga orang pria yang tengah meneguk minuman keras melihat kedatangan Zelan ke arah mereka. Saat pemuda itu mendekat, mereka mulai berdiri---menghalangi.
Zelan tak melihat ke arah orang-orang yang jelas tak memiliki maksud baik tersebut. Matanya masih menatap kosong jalanan.
Ketiga pria itu meminta uang. Namun Zelan tak mendengar sama sekali. Ia malah berceloteh aneh seperti orang bodoh, "Gue memang sakit. Apa orang sakit kayak gue memang gak pantes hidup?"
Seorang pria, dengan tindik di hidungnya, mengernyit. "Lo ngomong apa ***?"
"Gue mau mati aja," ucap Zelan dengan wajah putus asa. Ia meremas kuat dadanya, tempat rasa sakit itu berakar kuat.
Ketiga orang di depannya tertawa. Salah seorang dari mereka---yang paling pendek---berkata, "Tenang, bro, kita-kita bisa bantu lo mati."
Detik berikutnya, sebuah pukulan mendarat di pipi kanan pemuda itu, ia limbung ke kiri dan langsung terjatuh. Otaknya masih tak bekerja. Jika dalam kondisi normal, ia pasti membalas. Tak ada tanda-tanda ia akan bangkit. Tanpa diduga laki-laki itu malah menangis di tanah.
Seseorang berdecak kasar. "Dasar lemah! Mati aja lo!" Selanjutnya, pukulan bertubi-tubi menghantam Zelan---mereka bertiga bersamaan mendaratkan pukulan ke seluruh tubuh anak malang tersebut. Ia tak melawan, tak bergerak pula.
Puas dengan aksi mereka, ketiga pria itu berhenti. Mereka juga tak dalam kondisi seratus persen sadar. Salah seorang, bertubuh paling besar, maju dan memeriksa seluruh saku di pakaian pemuda itu. "Mana duit lo, sialan?"
Si pendek ikut meraba seluruh pakaian Zelan, mencari benda-benda yang mereka incar. "Jangan bilang lo cuma bocah kere." Tak berapa lama ia terkekeh---diikuti dengan yang lain---saat tangannya menemukan sebuah dompet kulit berwarna cokelat. Kemudian disusul dengan ditemukannya sebuah ponsel.
"Gila, nih bocah anak sultan kayaknya," celetuk si pendek begitu melihat isi dompet Zelan.
Ketiga pria itu kembali tertawa, lalu pergi, meninggalkan Zelan tanpa peduli anak itu masih bernyawa atau tidak.
🥀🥀🥀
Revisi
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
hanna
hidup dia lebih terbully dari orang2 yg biasa dia bully
2021-02-16
2
Linda Eriri
sangking mantulnya hati gua berasa d remes
2020-07-06
2
Linda Eriri
mantuull thor
2020-07-06
1