Ada satu hal yang sejak tadi mengusik Zelan. Nami tak pakai kacamata. Sedikit-sedikit laki-laki itu terus melirik orang yang ada di sebelahnya, tak tenang. Ada perasaan jengkel setiap melihat wajah tanpa kacamata gadis itu.
"Mana kacamata lo?"
Nami menoleh tanpa minat. "Di rumah." Lalu kembali fokus pada bukunya.
"Kok gak dipake? Gak rabun?" Zelan sebenarnya tak tahu Nami rabun atau silindris, atau apa pun penyakit matanya. Ia hanya menebak saja. Paling rabun jauh karena kebanyakan orang begitu.
"Gue pake softlens."
Emosi Zelan memuncak. "Softlens?" pekiknya membuat Nami keheranan. "Ngapain lo pake softlens, ha? Lepas!"
Mulut Nami perlahan terbuka. Apa-apaan orang seram satu ini? Dia kira dia siapa sih? Sebisa mungkin Nami berusaha sabar dalam membalas ucapan Zelan yang terdengar seperti pacar posesif yang tak suka kekasihnya berubah karena laki-laki lain itu (hahaha... Nami hampir tertawa memikirkan Zelan adalah kekasihnya, hahaha... benar-benar lucu). "Gue gak bisa lepas."
"Kenapa?" bentak pemuda itu, tak sadar suaranya didengar oleh seisi kelas. Nami yang sadar akan hal itu hendak memberi tahu. Namun Zelan lebih dulu melanjutkan cemburu butanya, "Ah, gue tau! Biar lo bisa bebas kecentilan 'kan?"
Ha? What the...
Nami semakin terperangah, begitu pun yang lain.
"Pokoknya lepas softlens lo! Gue gak suka liatnya. Besok lo harus pake kacamata lagi."
What? What? What? What? What?
Clarissa yang duduk di kursi paling belakang sudah tak tenang di tempatnya. Kursinya berderit-derit, pertanda sang empunya sudah tak sabar ingin meluncur ke meja depan minta penjelasan. Berita Zelan putus dengan Vivian juga sudah berembus beberapa hari lalu. Jadilah Clarissa semakin tak tenang karena berpikir Nami menjadi orang ketiga di hubungan mereka.
"Astogeh, masa sih temen gue yang polos itu punya jiwa pelakor. Ah, jam istirahatnya kapan sih? kok lama banget," gumam gadis itu dengan pandangan penuh minat ke meja paling depan. Padahal baru masuk dan ini masih jam setengah tujuh pagi.
Namun ia juga tak sabar ingin dengar lanjutan amarah dadakan Zelan yang lebih mirip dengan, ekhem, cemburu.
"Tapi kenapa?" cicit gadis itu rikuh.
"Ya, lo ngapain sih pake softlens?" sentak Zelan masih dengan intonasi meninggi. Ia sendiri tak punya jawaban layak pakai untuk pertanyaan Nami.
"Ya, 'kan lebih enak pake softlens."
"Nggak. Nggak bisa." Zelan tampak seperti mencari alasan yang tepat untuk kalimat yang akan diucapkannya. "Lo... lebih manis pake kacamata."
Ya Tuhan, Zelan ingin menggorok leher sendiri mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya barusan.
Seisi kelas ingin berciye-ciye ria, tapi menahan diri, masih ingat jelas siapa orang yang sudah membuat mereka geli. Clarissa juga begitu, malahan gadis itu sudah mengguncang-guncang tubuh Jacob---teman semejanya---sebab malu sendiri mendengar penuturan Zelan.
Belum sempat Nami menjawab, Zelan menyelanya, "Jangan salah paham! Muka lo jadi tambah aneh kalo gak pake kacamata. Sakit mata gue ngeliatnya. Kalo pake, keanehannya agak berkurang. Jadi gue saranin lo jangan lepas benda itu, karena bisa nutupin keanehan muka lo."
Ya, Nami sudah tahu akan begini jadinya. Tak mungkin laki-laki itu merasa dirinya manis. Mukanya aneh? Astaga seburuk apa sih wajahnya sampai harus ditutupi. Tak bisa dipungkiri, ada kesedihan terselip di dada Nami mendengar ada orang yang mencelanya begitu.
"Iya," balas Nami pelan tak bersemangat. Suaranya terdengar pilu, meski Zelan tak menangkap rasa sedih yang dirasakan orang di sebelahnya.
"Bagus."
Orang-orang berbisik, paham betul bahwa Zelan hanya membuat alasan, karena kenyataannya, Nami tampak lebih cantik tanpa kacamata. Namun siapa orang yang masih sayang nyawa yang berani menyangkal? Mereka lebih memilih diam. Sebagian masih geli dengan tingkah pemuda itu dan sebagian lainnya tak peduli.
***
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
senja
Dio, ayo teriak lantang dan bilang itu tydack benar
2020-05-20
3