Saat Dira akan kembali membuka suara, ibu mereka muncul lagi dari balik pintu. "Oh iya, Nak." Ibunya Nami---Ningsih---melewati kedua putrinya begitu saja. "Ibu gak hubungi keluarga kamu. Soalnya si Nami gak tau kamu tinggal di mana. Identitas sama hape kamu juga gak ada. Kalau kamu inget nomor keluarga kamu, sini biar Ibu catet. Mereka pasti khawatir."
Zelan tersenyum lemah, melihat betapa baiknya wanita itu memperlakukan dia. "Keluarga saya gak mungkin khawatir, Bu," jawab pemuda itu diiringi tolehan ke tempat lain.
Ningsih hanya tersenyum, lalu mengangguk dan berbalik kembali. "Ayok!" ajak Ningsih pada kedua putrinya. Nami menurut saja, begitu pun dengan kakaknya.
Sudah lebih dari dua menit Nami berdiri di depan pintu kamar kakak laki-lakinya. Tempat itu adalah tempat Zelan berada sejak semalam. Ia disuruh mengantar makanan setelah mereka selesai sarapan. Bisa dibilang sarapan mereka terganggu gara-gara teriakan si bungsu Nara.
Keluarga Nami khawatir sebab selepas dibawa ke rumah kemarin, Zelan langsung pingsan, dan ibunya yang paling heboh---takut anak orang mati. Namun ternyata Zelan hanya tertidur. Jadi untuk memastikan pemuda itu baik-baik saja, mereka semua langsung meninggalkan meja makan---padahal belum selesai sarapan. Omong-omong, ini hari Minggu. Sudah lewat lima hari sejak Zelan menyiksanya di halaman belakang.
Setelah memantapkan hati, Nami membuka pintu dan masuk dengan kepala tertunduk. Saat meletakkan nampan di atas nakas, ia melirik sekilas Zelan yang sudah duduk di ranjang.
"Ini sarapan lo!" katanya lalu hendak berbalik.
"Tunggu, gue butuh hape! Mana hape lo?" tukas Zelan tanpa sedikit pun sopan santun.
Nami melihat pemuda itu agak tak yakin, juga sebal karena seperti diperintah-perintah. "Bentar."
Beberapa saat kemudian Nami kembali dengan membawa ponselnya. "Ini!" Ia mengasongkan benda itu pada Zelan dengan canggung, yang tak membalas apa-apa, hanya mengambil ponsel Nami lalu sibuk mengetik sesuatu.
Walau sudah berkali-kali bertatap muka dengan Zelan, Nami tetap saja gugup. Meski ia tahu Zelan tak mungkin menyakitinya di sini, ia tetap keder bukan main.
Selesai, Zelan menyodorkan kembali ponsel itu pada pemiliknya. Tepat saat Nami menerima ponselnya, pintu terbuka lagi---Dira masuk ke dalam.
Dalam hati Zelan menggerutu. Sedari tadi keluarga ini tak membiarkannya sendirian. Mulai dari anak kecil usil. Segerombolan orang-orang kepo. Gadis pembawa sarapan. Lalu saat ini, si wanita pembawa bayi.
"Kenapa, Kak?"
Wanita itu mendekat. "Ini... empeng Kania jatuh." Ia berjongkok, mengambil dot kosong tanpa botol susu itu. Saat sudah tegak kembali. "Udah makan temennya?"
Nami ingin berteriak mendengar kata "teman" dibawa-bawa. Ia hendak membantah, tapi kakaknya terlebih dahulu menyela, "Suapi dia kalau belum bisa makan sendiri." Lalu tanpa beban melenggang pergi.
"Gue juga pergi ya!"
"Tunggu!"
Astaga... Nami menahan diri untuk berdecak dan berkata, "Apa?" sambil berteriak kencang di depan telinga Zelan. "Kenapa?" cicitnya takzim.
"Suapi!" tegas Zelan, membuat gadis di depannya mendadak merasa punya gangguan pendengaran. "Apa?"
"Suapi gue!" perintahnya lagi. Namun dengan suara yang sedikit malas.
Pikiran Nami berkelakar ke mana-mana. Apa Zelan mau menjailinya di rumah juga?
"Gak mau?"
Nami tersentak. "Eh, iya-iya." Ia langsung mengambil mangkuk berisi bubur yang tadi dibawanya. Tangan gadis itu sedikit bergetar saat menyendok, lalu mengarahkan benda itu ke mulut Zelan.
Pemuda itu tak langsung memakannya, malah memandangi Nami dengan sorot tajam dan menilai. "Kalau tangan lo kayak gitu, bisa-bisa buburnya belepotan nanti di mulut gue."
Tanpa diminta tangan Nami makin gemetar. "Maaf." Ia memasukkan sendok itu kembali ke dalam mangkuk.
"Kok dimasukkin lagi? Gue kapan makannya?" Zelan bersungut-sungut.
Walau ketar-ketir, Nami juga jengkel tak keruan. Jelas-jelas tadi ia bisa mengutak-atik ponselnya. Lantas kenapa sekarang tiba-tiba sekarat sampai tak bisa memegang sendok. Nami mengulangi menyendok bubur dan mengarahkannya ke mulut pemuda cerewet itu.
"Masih gemetar." Zelan menatap tangan Nami di depan wajahnya. "Dasar! Ya udahlah." Ia membuka mulut dan memakan bubur itu dengan gaya makan yang angkuh.
Berkali-kali Nami melakukan hal sama dan Zelan tak lagi mengganggunya---hanya makan dengan tenang. Bahkan melirik gadis itu pun tidak.
***
Revisi
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Syifa Salatin
cuma mau bilang ini novel bagussssssss
2021-02-09
3