"Serius dia gituin lo?"
"Bahasanya jangan 'digituin' dong, ambigu banget!"
Clarissa menoyor kepala Nami. "Otak lo kotor! Jadi dia buat lo bolak-balik sampai lima kali buat nganterin makanan ke rumahnya?" gadis itu mengucapkan kalimat terakhir dalam satu tarikan napas.
"Hm."
"Dan...." Clarissa menatap sahabatnya penuh minat.
"Apa?"
Clarissa berdecak. "Lu kagak baper gitu, Panjul?"
Sebelah alis Nami terangkat tinggi. "Buat apa?" Dan jawaban Nami itu, sukses membuat orang di sampingnya melongo heran.
Setelah aksi Zelan marah-marah di kelas karena insiden kacamata waktu itu, Clarissa gencar menanyai Nami tentang hubungannya dengan Zelan.
"Lo bisa baper karna pujian Dio, tapi gak baper sama Zelan?"
"Clar, be realistic, oke! Orang kayak Zelan itu gak mungkin suka sama gue! Lagi pula dia itu jelas-jelas nyiksa anak polos kayak gue ini. Ya kali gue baper karna disiksa. Lo kira gue masokis?"
"Jadi Dio mungkin aja suka sama anak polos tolol kayak lo?" tanya Clarissa sarkastis.
"Iya," sahut Nami tanpa beban.
"Secara gak langsung lo nge-iya-in kalo lo tolol."
"Bodo amat, Clar."
Clarissa geleng-geleng kepala. Ia memang belum tahu pasti apa motif Zelan melakukan itu pada Nami, tapi entah mengapa ia yakin kalau pemuda itu ada rasa dengan sahabatnya---entah Zelan sadar atau tidak. Jelas sekali alasan Zelan beberapa hari lalu tak masuk akal. Dan Clarissa ingat jelas kejadian di ruang Klub Teater---saat Dio memuji Nami cantik tanpa kacamata. Lalu sekarang si geblek di sebelahnya dengan bodoh merasa dirinya disiksa? Kenapa dia tak berpikir Zelan cemburu? Padahal biasanya sahabatnya itu adalah orang paling handal dalam hal kege-eran.
"Terserah deh. Lo itu pinter, IQ-nya 130, eh ternyata bisa dungu juga kalo bicara cinta."
"Apaan sih? Dungu di bagian mananya?"
"Entah." Clarissa mengangkat tangannya tanda menyerah. "Gue pergi!"
Di kursinya Nami hanya memandangi punggung Clarissa yang balik menuju mejanya. Dia bukannya tidak ge-er, tentu perasaan itu ada, tapi Nami lebih memilih mengabaikannya saja. Lagi pula, dipikirkan bagaimanapun, rasanya tetap tidak mungkin. Walau ia sendiri juga bingung, kenapa untuk kasus Dio terasa mungkin. Hati terkadang bodoh dalam menilai, makanya ia akan menuruti isi pikirannya.
***
Nami menoleh saat ada seseorang yang berdiri di samping mejanya.
"Gue duduk di sini, ya?"
Nami mengangguk singkat. "Oke."
Zelan pergi di jam istirahat dan tak kembali sampai bel masuk. Suasana kelas pun terasa damai. Biasanya Nami kesulitan bergerak, masih ada perasaan takut mengganggu Zelan. Meski perasaan itu sudah tak seperti dulu dan ia juga sudah terbiasa dengan pemuda itu, Nami tetap waspada. Takut terlalu terlena dan malah membuat kesalahan fatal.
Jam bahasa Inggris selalunya jadi waktu yang menyenangkan bagi kebanyakan siswa di kelas XI IPA- 1, guru yang masih muda dan ramah, serta gaya pengajaran yang santai membuat mereka nyaman.
"Kok lo pake kacamata lagi?"
Nami bergeming, malu untuk menjawab jika ia kepikiran kata-kata Zelan.
"Karena Zelan?"
"Gitu deh," aku Nami akhirnya dengan suara lemah.
"Gak usah dengerin kata orang lain." Pemuda itu tersenyum sambil menatap Nami. "Elo gak bisa nyenengin semua orang yang ada di sekeliling lo. Lo udah jadi orang yang baik, ramah, murah senyum, dan hal-hal yang dianggap baik lainnya pun, tetap aja kok bakal ada banyak yang gak suka. Mungkin lo bakal dibilang caper karena ramah, atau ganjen karena lo murah senyum." Dio diam sejenak. "Lakuin apa yang buat lo nyaman. Pake softlens gak melanggar hukum atau norma agama kok. Be yourself!" Senyum pemuda itu semakin merekah di akhir kalimat.
Nami tak tahu apa yang terjadi pada Dio sampai jadi bijaksana begitu. Tapi ia senang dan membalas senyum laki-laki itu tulus.
Selanjutnya, Nami menyalin materi dari layar proyektor sambil menata bunyi debaran jantungnya yang norak banget. Rasanya debaran itu jadi bertambah kuat. Pasti akibat dari petuah sakti Dio tadi. Namun... sepertinya semua fans Dio akan sama dengannya. Ah, kenyataan itu membuatnya tak bersemangat.
"Miss, Jacob makan Silverqueen!" Suara dari belakang menarik atensi seisi kelas. Beberapa orang langsung menengok ke belakang, juga Nami.
"Ini, Miss!" Clarissa menarik tangan Jacob yang masih memegang cokelat.
Miss Ana bangkit dari kubur, eh, dari kursinya, untuk melihat lebih dekat. "Enak, Jac?"
Jacob tersenyum. "Enak, Miss."
"Kalo enak bagi-bagi dong sama teman-teman yang lain."
Suasana menjadi bising, beberapa menambah panas dengan menyudut-nyudutkan laki-laki bermata segaris itu---tentu hanya bermaksud usil.
"Traktir, traktir, traktir," sorak beberapa murid.
"Kayaknya kita bakal makan cokelat gratis nih."
Nami menelan ludah---Dio basa-basi lagi dengannya. Berapa kali pun Dio melakukannya, sepertinya ia tak akan pernah terbiasa.
"Iya, ada untungnya juga mulut Clarissa bocor."
Pemuda di sampingnya terkekeh. "Temen baikmu itu 'kan!"
Nami memerhatikan wajah penuh senyum cerah itu dengan perasaan senang, juga sambil memikirkan kata "mu" yang semakin meningkatkan kadar kebaperan Nami.
Apa maksudnya ya?
Setelah kesadarannya kembali dari awang-awang, gadis itu baru sadar, kalau Jacob sudah tak berada di kelas.
"Jacob udah pergi ke shop. Sebentar lagi kita dapat makanan gratis," jelas Dio diiringi, lagi-lagi, senyum yang membuat wajah Nami ingin meleleh---luber ke mana-mana.
Gadis itu hanya ber-oh asal. Sepertinya ada yang menempelkan balsem di pipinya. Panas.
Shop adalah tempat yang sudah mirip minimarket di sekolah mereka. Ada banyak makanan ringan yang dijual di sana karena kantin hanya menjual makanan berat.
Soal Jacob yang membelikan teman-temannya makanan bukanlah hal yang aneh. Di mata pelajaran Miss Ana, ada sebuah hukuman untuk orang-orang yang ketahuan makan di kelas. Yaps, hukumannya adalah mentraktir seisi kelas dengan makanan yang mereka makan.
Jacob kembali setelah beberapa menit. "Gue cuma dapet tujuh belas, jadi satu meja kongsi ya!"
Kongsi?
Laki-laki bermata segaris itu membagikan cokelatnya. Nami yakin persediaan cokelat Silverqueen di shop sudah ludes, dan mungkin setelah ini ia akan mendengar banyak yang mengeluh karena cokelat itu habis. Entah bagaimana ceritanya, tapi beberapa minggu ini cokelat itu sangat laris. Seolah menjadi primadona di shop---incaran anak-anak cewek. Padahal sebelumnya tak begitu.
Jacob tiba di meja mereka. "Nih, wajib dimakan suap-suapan," ucapnya disertai kedip-kedip manja.
"Ciye...."
Ya Tuhan. Nami senang digosipkan dengan Dio, tapi kalau diingat-ingat, beberapa hari ini sepertinya ia sering jadi pusat perhatian. Rasanya Nami jadi risi.
"Buat lo aja."
"Ciye...."
Nami melirik Miss Ana, bermaksud meminta pertolongan. Namun wanita itu hanya tersenyum, walau setelahnya ia mengamankan kelasnya agar kembali kondusif.
"Ini!" Dio kembali menyodorkan cokelat itu kepadanya.
"Lo?"
"Gue udah tadi."
Yah, kok gak "aku" sih.
"Oh, oke." Cepat Nami menyambar cokelat dari tangan Dio, membuat pemilik tangan tercenung heran. Alasan ia begitu adalah pikiran menjijikan yang sempat terlintas di kepalanya. Yah, kok gak "aku" sih. Nami mencubit-cubit pipinya.
Jangan norak! Jangan kayak cewek katrok kurang belaian gitu! Jangan ngarep yang enggak-enggak! Mana harga diri lo sebagai cewek?
Sejak kapan lo punya harga diri, Nam?
Suara lain dari benaknya menjawab. Nami langsung menelungkupkan wajahnya di kedua tangan. Merasa dungu sendiri.
***
Suara langkah kaki mengganggu kegiatan Zelan. Matanya sudah membuka dan menatap tajam pada pengganggu tersebut.
"Apa?"
"Lo harus dateng nanti malam kalo gak mau dapet masalah," kata orang itu masih setia berdiri di tempatnya.
Zelan yang sedang bersandar dan duduk di bawah sebuah pohon ketapang hanya berdecak malas. "Gak usah sok peduli."
Orang itu hanya menggeleng malas tanpa pusing-pusing ambil suara lagi. Ia sudah duga reaksi Zelan akan begitu, tapi ada bagian dari hatinya yang memiliki kepedulian lebih pada pemuda bengal satu itu. Meski ia tahu, Zelan sangat membencinya.
Zelan sudah kembali menutup matanya, diiringi dengan langkah kaki yang menjauh dan perlahan menghilang.
Tempat ini adalah tempat ia ingin memberi pelajaran pada Nami dulu. Karena berada di belakang gedung kelas yang sudah tak terpakai, tak akan ada guru yang datang kemari. Murid-murid pun tak ada yang mau mendatangi tempat itu. Ada penunggunya. Bukan hantu, tapi Zelan-lah penunggunya.
***
Sincerely,
Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
senja
wahhh artinya Dio perhatian, meski bukan sll arti 'suka' ya, karna bisa tau Nami deket bat sm Risa artinya suka merhatiin
2020-05-20
1
senja
wkwk suka dialog dia sm Risa: cinta buta gt kali ya, gak mau kl bukan disukai sm yg disuka
2020-05-20
1