Aku beranjak dari dudukku dan mengikuti Kak Ranti dari belakang. Di perjalanan ada pesan masuk tapi aku abaikan dan aku fokus ke jalan.
Sesampainya di ruangan, aku menunaikan shalat magrib dan di lanjutkan membaca Al Qur'an sampai isya. Ponselku dari tadi aku silent begitu juga dengan ponsel Kak Ranti.
Kak Ranti begitu rajin dalam beribadahnya, dzikir dan do'a tidak pernah putus, dia terus meminta kemudahan juga keselamatan kepada Sang Pencipta.
Selesai shalat isya, aku memakan cemilan sambil lihat ponsel ku. Aku kaget sudah banyak panggilan dan pesan masuk.
"Kak, coba lihat hp Kak Ranti deh, Kak Fitri dari tadi memanggil." Kataku. Kak Ranti mengambil ponselnya dari atas lemari kecil di samping ranjangnya. "Oh iya, ini ada empat panggilan " Kata Kak Ranti setelah di cek.
"Ini ada lima panggilan" Kataku. Panggilan tak terjawab ada sepuluh di ponselku. Yang lima lagi dari dr. Ganteng.
Pesan masuk ada delapan, dari Kak Fitri dan bang Bagas aku balas dulu satu per satu. Dari Dr. Ganteng, itu buat tabungan wkwkwk. Aku balasnya nanti saja sambil nyantai. Tidak lama kemudian, ponsel Kak Ranti kembali berdering dan Kak Ranti langsung mengangkatnya.
"Hallo Assalamu'alaikum.." Ucap Kak Ranti.
"Wa'alaikumsalam..." Dari seberang, Kak Fitri menjawab. Suara panggilan di loudspeaker supaya aku mendengarnya tapi volumenya tetap di kecilin agar tidak mengganggu pasien lain.
"Bagaimana kabarnya Ranti?" Suara parau juga isak tangis Ibuku mengagetkan ku, begitupun Kak Ranti. Kak Ranti tidak kuat menahan tangis, tangisnya pecah tapi aku ambil ponselnya. Aku tidak mau Ibuku tambah sedih mendengar Kak Ranti menangis.
"Hallo, Ranti!" Ibuku kembali memanggil.
"Iya Mak, Kak Ranti masih menjalani pengobatan " Ucapku, aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Apalagi kalau Ibuku tau kalau Kak Ranti akan di operasi pasti sangat syok.
"Katanya mau di operasi, kenapa tidak bilang sama Emak?"
Deg! aku tersentak, "Apa? Emak sudah tahu dari mana, kalau Kak Ranti akan di operasi? Apa Kak Fitri yang memberitahu?" Aku bertanya-tanya di dalam hati.
" Ya Mak " Ucapku lemah. Aku takut Ibuku kenapa napa, karena beliau suka jadi kepikiran. Nantinya tidak mau makan dan ujung ujungnya sakit lambungnya kambuh.
" Emak taunya dari Bi Rosi" Bi Rosi adalah tetangga kami. " Katanya, Ranti mau di operasi, kemarin di pengajian di mintain do'a " Lanjut Emak. Berarti itu Kak Fitri yang meminta do'a di pengajian.
Bukan apa, kami tidak memberitahu Emak langsung, ya, itu, Emak selalu kepikiran, jadi tidak boleh ada berita yang bikin kaget, tensi darahnya suka naik ditambah nafsu makannya hilang.
"Iya, maaf Mak, kan, mungkin Kak fitri tidak mau kalau Emak ikutan sakit. Minta do'anya saja, semoga Kak Ranti cepat sehat, cepat pulang. Nanti kalau selesai pengobatannya langsung pulang ke kampung " Aku mencoba memberi pengertian sama Ibuku.
" Iya, Emak selalu do'ain biar cepat sembuh, cepat sehat seperti sedia kala, nanti langsung pulang " Ucapnya menahan tangis.
Aku menoleh kearah Kak Ranti, " Kak, mau bicara sama Emak? " Aku bertanya sama Kak Ranti, sepertinya sudah sedikit tenang walau sisakan kecil masih terdengar.
Kak Ranti mengangguk, kemudian aku memberikan ponselnya."Hallo Mak?" Ucap Kak Ranti to the point.
"Ranti...! Emangnya kenapa awalnya? Sakit apa kamu? Kenapa harus sampai di operasi segala? " Emak memberikan banyak pertanyaan kepada Kak Ranti. Emak benar-benar terdengar khawatir kepada Kak Ranti. Ibu mana yang tidak akan khawatir ketika mendengar anaknya yang sedang berada di rantauan sakit.
Apalagi harus sampai menjalani operasi. Operasi bagi kami orang awam, lebih tepatnya orang yang tinggal di pelosok adalah hal yang tidak pernah ada di bayangan sama sekali. Karena kalau di kampung, yang sakit hanya meriang dan batuk pilek, itupun cukup obat warung. Jarang sekali orang sakit di bawa ke rumah sakit, paling juga ke bidan desa karena puskesmas juga lumayan jauh, letaknya ada di kecamatan, yang jaraknya sekitar sepuluh menit untuk menempuh jarak ke sana memakai motor dari kampungku.
"Tidak tau, tiba tiba saja " Jawab Kak Ranti.
"Jangan jadi pikiran Mak, do'ain saja Ranti cepat sembuh, nanti kita pulang." lanjut Kak Ranti.
"Iya, Emak selalu mendoakan. Cepat sembuh jangan lama lama." jawab Emak.
Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan, kami mengakhiri panggilan. Dan aku langsung mengcek ponselku. Tujuh pesan masuk dari dr. Ganteng, aku membukanya cepat. Kemudian membacanya dan apa itu, di pesan terakhir. "[ Dek, Keluar ruangan sebentar ]" Itulah isi pesannya. 'Apa tidak salah nih' Ucapku dalam hati.
Aku ragu mau keluar, takutnya itu bohong. "[ Dek, ayolah ]" Pesan itu kembali masuk. Aku beranjak dan melihat ke luar, tengok kanan kiri dari pintu dan aku kaget saat melihat seseorang yang tak jauh dari sana. Dengan gaya coolnya dia berdiri menyender di tembok dengan ponsel di tangannya. Ya Allah... Gak kuat aku melihatnya, kenapa Ganteng sekali. Hhaaa..
"Dek!" Panggilnya pelan. Aku terlonjak, ternyata dia sudah ada didepanku. "Hayo! Ngapain tuh, bengong?" tanyanya, ia tersenyum manis."Bagaimana, keren, kan?" Tanyanya lagi terkekeh. Ia kembali menunjukan gaya cowoknya tepat di depanku.
Aku keluar ruangan menjauh dari pintu, takutnya ada orang yang lewat. Dr.Afandi mengikutinya dari belakang. "Dek, kenapa pesanku gak di balas?" tanyanya Aku menoleh dan berhenti berjalan, hampir saja kami bertabrakan. "Astagfirullah." Aku mengusap dadaku.
"Dek!" Panggilnya lagi.
"Kenapa dokter kesini?" Aku bertanya balik sambil celingukan takut ada yang lihat, apalagi kalau ada yang kenal sama dokter ini.
"Tenang, aman, tidak usah khawatir.." Ucapnya. Ia seperti mengetahui apa yang membuatku khawatir.
"Kenapa pesan ku tidak di balas, Sayang!" Rengeknya. Apa tidak salah dengar, dia sampai merengek kaya anak kecil begini. aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Terus, kenapa dokter kembali ke sini? " Aku kembali bertanya balik.
"Kamu Dek, pesanku gak di balas, di panggil juga gak diangkat, terus panggilannya sibuk terus." Jelasnya.
"Ohh, iya maaf, tadi aku habis shalat, keluargaku dari kampung menelpon aku juga." Jawabku. Padahal, baru mau aku balas lho, pesannya." sambungku.
"Tapi kamu lama tahu, Dek. Aku masih kepikiran yang tadi pagi." Ucapnya.
"Apa?" Aku menatapnya sebentar, tapi kemudian aku menundukan pandanganku.
"Mmm... Yang tadi pagi, waktu sarapan. " jawabnya.
" Ohh... Gak papa dokter, aku cuma malu saja sih, sama teman-temannya dokter. "
"Nih... Ini tanda permintaan maaf dari aku." Dia menyerahkan goodie bag berwarna biru bergambar hati.
"Apa ini, Dok? Kenapa harus repot-repot, lagian juga aku gak papa." Ucapku.
"Sudah terima saja, semoga kamu suka." Jawabnya, tidak ingin dibantah.
Aku ragu untuk menerimanya, entahlah aku juga bingung. Karena aku tidak pernah menerima hadiah dari oranglain yang belum kenal lama.
"Ya sudah, kalau begitu aku gak akan pulang." Ucapnya seperti sebuah penekanan. Mana ada tidak akan pulang, mau tidur dimana dia? hhhaaa...
Karena aku takut dia tidur dilantai, akhirnya aku menerimanya. Tidak baik lho, menolak apa yang orang lain beri, karena itu termasuk rezeki. Akhirnya, aku mengambil goodie bag itu dan menentengnya.
Kulihat sekeliling luar ruangan sangat sepi, padahal jam delapan malam juga belum, hanya ada satu dua keluarga pasien yang di luar ruangan, mereka mengisi daya ponselnya sambil di mainkan, 'apa gak takut meledak' pikirku.
"Dek!" Panggilnya.
"Hmmm..." Aku menjawab dengan deheman.
"Sebenarnya aku ingin berbicara berdua lho. "
Aku menatapnya, "Lah... Bukannya ini lagi bicara, dokter?" tanyaku heran.
"Dari tadi kamu bengong aja, apa belum puas melihat kegantenganku". Celetuknya, dengan percaya diri menyatakan bahwa dirinya ganteng. Aku reflek menepuk lengannya. Tapi emang ganteng sih he..
"Aw sakit Dek..." Dia pura-pura meringis, padahal aku hanya menepuknya pelan.
"Dokter, kan, dokter, tinggal obatin sendiri." Ucapku. Aku menutup mulutku, kenapa aku jadi tidak canggung lagi berbicara dengannya.
"Sudah santai saja, aku lebih suka kamu seperti ini, Dek. Dari pada diam dan bengong." Ucapnya lembut.
Aku menatapnya, aku bener bener malu. " Sudah ya, jangan malu malu terus, kasihan mukanya nanti mateng." Ledeknya. Aku refleks memegang pipiku yang terasa panas dari tadi.
"Sudah, yuk, jangan bahas lagi." Aku membalas dengan anggukan. "Oh, ya, tadi yang menelepon kamu siapa?" Aku tahu, kalau dia mengalihkan agar aku tidak malu lagi.
"Mmm itu, Ibuku." jawabku tanpa melihat ke arahnya.
"Oh, Apa kabar Ibunya di kampung? " Tanyanya.
"Alhamdulillah baik." Jawabku pelan.
"Eh duduk yuk, Dek!" Ajaknya. Ah... Rupanya dia juga punya rasa pegal, aku kira mau berdiri terus.
Aku dan dr. Afandi duduk lesehan di lantai, ada beberapa keluarga pasien juga suster yang berlalu lalang setelah kami duduk. 'Kenapa jadi rame?' pikirku. Padahal sebelum kami duduk tempat ini sepi banget.
"Dokter... Apa tidak apa-apa duduk di lantai?" Tanyaku. Aku merasa tidak enak hati, karena dirinya seorang dokter dan harus duduk di lantai.
"Sudah... Apa-apa jangan dibikin tidak enak, santai saja, enjoy, biar tidak canggung. Aku juga sudah terbiasa." jawabnya. 'Apa iya terbiasa duduk di lantai?' Pikirku.
Drrtt.. ddrttt... Tidak lama kemudian, ponsel dr. Afandi bergetar dan dia mengambilnya dari kantong celananya. Lalu melihat siapa yang menghubunginya, setelah itu ia menerima panggilan itu.
..."Haloo..." Ucapnya....
...".............
..."Ya Mommy..." Jawabnya....
"......."
"Aku lagi main, sebentar ya Mom,"
"......"
"Oke, oke Mommy," Jawabnya lagi. aku hanya bisa mendengar suara dokter Afandi saja karena dia tidak meloudspeaker panggilannya.
Setelah merasa cukup, dr. Afandi menyudahi panggilannya. kemudian ia menaruh kembali ponselnya ke kantong celananya. "Biasa, anak Mami, anaknya keluar sebentar saja di cariin." Ucapnya.
"Hah...!" aku yang dari tadi diam mendengarkan merasa kaget.
"Tidak lah, aku bukan anak Mami juga. Aku bisa mandiri, masa sudah besar begini masih anak Mami." Dia menjawab apa yang tadi diucapkannya.
"Masa, sih?" Aku seperti tidak percaya. Dari ucapannya seperti ada yang janggal.
"Enggak, Mami itu selalu khawatir kalau aku tidak ada di rumah, apalagi sudah malam." jelasnya.
"Ini, juga, kan, sudah malam." Ucapku.
"Iya, makanya tadi menghubungi. Karena baru hari ini lagi aku keluar malam, setelah lima tahun lalu." Aku semakin mengerutkan dahulu, di dalam benakku sebuah pertanyaan menunggu namun tidak bisa aku ucapkan.
Aku mencoba berbaik sangka dan tidak ingin banyak bertanya tentang dia, karena aku juga tidak berhak akan hal itu. "Lama banget, masa tidak pernah keluar malam?" pertanyaanku akhirnya terlontar begitu saja ketika melihat dia seperti memikirkan sesuatu.
Dia menatapku, "Memang tidak pernah, aku di dalam rumah saja, kecuali ada kumpul keluarga." Jawabnya tanpa ekspresi.
"Ohh..." Aku ber oh ria.
"Kalau kamu, di tempat kerja bagaimana, Dek?" Tanyanya mengalihkan.
"Jangan pengen tahu, Dok. Pekerjaan aku berat." jawabku.
"Semua pekerjaan itu berat, tapi kalau kita ikhlas menjalaninya pasti akan menjadi terasa mudah." Dia tersenyum manis membuat aku tersipu.
"Iya, maksudnya, kerjaan aku kaya kuli, tidak kenal waktu juga." Aku memberitahu.
"Memangnya kerja apa? "
"Aku kerja di warung makan, tapi pembelinya ratusan sekali makan." aku meringis.
"Apa?" Katanya membulat sempurna, apa dia baru dengar? Tapi lucu juga kalau lagi begitu hihihi...
"Tidak usah kaget begitu, Dokter." aku mengibarkan tangan di depan matanya.
"Ratusan bagaimana sih? memangnya di tempat apa?" sepertinya dia baru dengar.
"Di proyek, ada lebih dari sepuluh mandor yang makan, belum Karyawan Kantor nya, dikali makan tiga kali sehari, belum kalau ada pesanan es nya siang sama sore." jawabku. Pekerjaanku memang sangat berat apalagi kadangkala kami juga harus mengangkat-angkat galon saat ada orang yang beli. Di tambah kalau kita bergantian masak nasi, karena satu hari bisa menghabiskan lebih dari lima puluh liter beras dan itu kita angkat berkali-kali setiap mau di masak, karena tempat penyimpanan beras dan dapur berjauhan. Sungguh melelahkan memang, tapi apalah daya mungkin itu sudah tempat aku untuk bekerja.
Dr. Afandi tambah melongo mendengar jawabanku. "Dokter! Nanti ada lalat masuk, loh." Aku kembali menepuk lengannya.
"Oh iya." Dia sedikit tersentak.
"Kamu gak cape, Dek?" Tanyanya. Gurat khawatir terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Kan, kata dokter harus ikhlas." jawabku.
"Lah iya... Tapi, kan, aku yang baru dengar saja sudah capek duluan." Jawab.nya.
"Ya, mau bagaimana lagi dokter, aku tidak ada pilihan lain. Kerja menjadi ART aku tidak betah, betahnya di tempat ku sekarang." jawabku. Aku menghela napas berat. Aku memang tidak betah bekerja menjadi ART, selain itu tidak ada lagi yang mengajak kerja di tempat lain. Apalagi aku hanya lulus SMP, sulit untuk mencari kerja di tempat yang benar-benar bagus. Tidak seperti Kak Ranti, pekerjaannya menjadi ART seperti sudah menjadi jiwanya. Berbagai kota sudah dia jelajahi. Kalau aku, orangnya tidak betahan, tapi, di warung ini aku sudah beberapa keluar masuk.
"Ya sudah, aku yang kerja saja ya? Aku tidak mau kamu capek loh, Dek. "
"Dokter tidak berhak kerja untuk aku, aku kan bukan siapa-siapa Dokter." Jawabku. Entah dari mana aku mendapatkan kata-kata seperti itu. Kok aku jadi takut menyinggung perasaannya, tapi aku memang bukan siapa-siapanya.
Baru saja dokter Afandi akan membuka mulutnya, sebuah panggilan dengan suara lembut terdengar dari arah Nurse Station "Dokter!" Seketika aku dan dr. Afandi menoleh, melihat siapa yang memanggil.
Bersambung
Kira kira siapa ya, yang memanggil Dokter..!! Ikutin terus dan jangan lupa Like, Komen, dan Votenya yaa...!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments