Sambil bersantai aku memutar musik kesukaanku. " Kak, awalnya bagaimana, kok bisa sakit seperti ini " Tanyaku, Rasa ingin tahu dari kemarin terus membuatku penasaran. Akhirnya Kak Ranti bercerita dari awal kejadian sakitnya.
Flashback
"Mbak, Mbak, bangun..." Ucap Desi teman kerjaku.
Aku membuka mata, tapi mata sebelah kiriku terasa berat. "Sudah jam belapa Des? " Tanyaku dengan suara cadel.
"Jam li..." baru saja Desi akan menjawab, tapi dia sudah menyadari keadaanku. Lalu dia menoleh kepadaku dan bertanya
"Mbak, kok suaranya cadel?" Tanya Desi dengan raut wajah yang keheranan. Dan dia tidak melanjutkan menjawab pertanyaanku.
"Cadel bagaimana Des? " Tanyaku bingung, aku memicingkan mataku melihat kearahnya . "Aku salah dengar apa Mbak, coba Mbak bilang lari " Desi menyuruhku untuk berbicara yang ada huruf R nya..
"Lali " Ucapku.
deg
Aku tersentak saat apa yang dikatakan Desi barusan benar adanya. "Nah iya, Mbak kok jadi cadel?" Tanyanya penuh keheranan.
"Kenapa ya Des?" aku menjadi khawatir dengan keadaanku. "Tapi pipi Mbak juga pegel, Des" keluhku kepada Desi. Ya, pipiku terasa pegal saat aku berbicara dengan Desi. Tapi obrolan kami terhenti saat aku mendengar suara pintu di ketuk dari luar.
Tok tok tok
"Mbak, Mbak Ranti sudah bangun atau belum?" tanya Bu Fatma, kepada Desi. Mungkin Bu Fatma juga merasa heran karena aku belum memulai pekerjaan pagi ini.
"Iya sudah bu," Jawab Desi. "Mbak mandi saja dulu, biar aku yang buka pintu " Ucap Desi.
"Mbak! Desi !" Majikanku kembali memanggil, mungkin karena kami belum ada yang keluar.
"Iya bu, sebentar, " Desi menjawab dan langsung berdiri untuk keluar. "Mbak Ranti belum bangun?" Tanya Bu Fatma kepada Desi.
"Baru mau mandi Bu" Jawab Desi, samar-samar aku mendengar Desi dan Bu Fatma berbincang. Lalu aku merapikan tempat tidurku. Badanku terasa lemas, dan rahangku sedikit kaku, aku semakin bingung ketika bercermin, mata sebelah kiriku turun, lebih tepatnya kelopak matanya turun dan menutup setengah mataku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku mengambil handuk ku dan pergi ke kamar mandi. Selesai mandi aku langsung shalat subuh yang sudah tertinggal.
Setelah shalat, aku keluar kamar kemudian mengerjakan pekerjaanku sebagai IRT. Terlihat Almira anak sulung Bu Fatma keluar kamarnya sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Disusul Annisa yang masih belum mengenakan kerudungnya.
" Mbak, tolong pakaikan kerudungku!" Seru Annisa.
"Kan sudah Kakak bilang juga, gak usah pakai kerudung ini." ucap Almira.
"Teman temanku pakai kerudung seperti ini Kakak, dia cantik "Jawabnya. Annisa ini karakternya memang berbeda dengan Almira. Almira si simpel dan Annisa si ribet. Anak dua ini berbeda karakter tapi tidak pernah ribut, keduanya akrab bahkan saling men suport satu sama lain.
"Mbak!" Alisya setengah teriak dari arah kamarnya. Si kecil cabe rawit ini sedang cerewet-cerewetnya, apa saja di tanyakan, rasa ingin tahunya sangat besar. Ya, di usianya yang baru menginjak lima tahun, hal yang wajar dengan keingin tahunya dengan berbagai hal yang di jumpainya.
"Jangan berteriak Alisya " Tegur si Kakak Almira.
"Hehe, maaf " Ucapnya nyengir.
Bu Fatma mempunyai empat orang anak, tiga perempuan, yaitu, Almira, Annisa, dan Alisya. Sedangkan yang terakhir si baby boy yang gemas bernama Arrayan. Almira kelas lima SD, Annisa kelas dua SD, sedangkan Alisya masuk TK B tahun ini, dan Baby Boy baru berusia sepuluh bulan. Baby yang tak pernah diketahui hadir dalam rahim Bu Fatma karena ketahuannya saat sudah menginjak umur lima bulan di dalam kandungan, tapi begitu juga baby yang di harapkan karena lahir sebagai baby Boy.
Terlebih dahulu aku memakaikan kerudungnya Annisa, kemudian aku menghampiri Alisya yang cemberut karena aku mendahulukan Kakaknya.
"Ciaa kenapa, sayang?"tku lembut, kemudian aku berjongkok untuk mensejajarkan tubuhku dengannya.
"Aku mau mandi Mbak, tadi aku bangun tempat tidurku basah dan bau " Ucapnya polos. Aku menahan tawa mendengar pengakuan jujurnya. Ada- ada saja, sudah pasti dia mengompol lagi. Alisya ini masih sering mengompol ketika tidur malam, tapi tidak setiap hari, dipakaikan popok juga sudah tidak mau.
"Aku sudah besar Mama, yang masih kecil itu baby Boy." Tolaknya saat Bu Fatma sedikit memaksanya untuk memakaikan popok. Akhirnya sekarang sering mengompol di kasur, untung saja pakai seprei waterproof.
"Ya sudah, Cia mandi dulu ya, Mbak mau siapin bajunya." Ucapku lagi, kemudian aku menuntunnya ke kamar. Selesai membantu Cia bersiap, aku langsung membawanya ke meja makan. Disana sudah terhidang berbagai menu sarapan, ada nasi goreng kesukaan Annisa juga Alisya, dan ada juga nasi beserta sayur sop dan ayam goreng kesukaan Almira dan sang Papa, Pak Syarif.
"Cia kenapa di bantuin Mbak?" Tanya Bu Fatma. Memang Bu Fatma sudah mengajarkan anaknya untuk mandiri sejak kecil, seperti halnya dengan Cia, dari satu tahun lalu, waktu pertama masuk TK A, sudah dibiasakan mandi sendiri juga memakai baju sendiri, semuanya sudah di persiapkan dari kecil.
"Pasti dia ngompol lagi." Celetuk Annisa dalam keheningan. Wajah Cia menjadi merah, kemudian airmatanya menggenang di pelupuk matanya. 'Wahh... pasti sebentar lagi hujan deras' Gumamku.
"Tidak apa apa, sesekali kan Bu? " Aku cepat-cepat menjawab agar hujan derasnya tidak turun. Bu Fatma yang melihat kodeku langsung menjawab, "Iya tidak apa-apa sayang." Jawab Bu Fatma sambil mengelus pucuk kepala Cia.
Almira terlihat menyenggol sikut Annisa. Annisa hanya cengengesan.
Beginilah pekerjaanku sebagai ART, sudah puluhan tahun aku menggantungkan hidupku dengan bekerja sebagai ART. Di mulai dari setelah tamat Sekolah Dasar. Aku sudah merantau ke kota, untuk bekerja. Orangtua ku yang hanya seorang petani juga buruh harian lepas, membuat ekonomi keluargaku tidak stabil di tambah adikku masih ada dua orang yang harus dibiayai hidupnya, lebih tepatnya mereka masih membutuhkan biaya untuk sekolah.
Selesai majikanku sarapan, aku membereskannya kemudian mencuci piringnya.
"Mbak Ranti sama Mbak Desi sarapan saja dulu " Ucap Bu Fatma.
"Iya Bu " Sahutku. Aku menyelesaikan dulu mencuci piring kemudian sarapan bersama Desi.
"Mbak, kenapa makannya seperti susah? " Tanya Desi. Rupanya anak itu memperhatikanku dari tadi.
"Iya kenapa ya, susah banget ini." Sahutku. Setelah beberapa menit, Desi sudah menyelesaikan makannya, sedangkan nasi ku masih ada setengahnya.
"Aku duluan ya Mbak, aku mau ngepel " Desi beranjak dari duduknya, kemudian mencuci piring bekas dia makan.
"Santai saja Mbak, selesaikan dulu makannya " Ucap Desi sebelum ia meninggalkan aku dari meja makan. Aku hanya mengangguk dengan kebingungan yang menghantui pikiranku.
**
Hari terus berlalu, hingga pertengahan bulan september, gejala itu bertambah parah. Semua gejala ada, susah mengunyah, susah menelan, berbicara cadel dan suaraku sengau, kelopak mata sebelah kiri menutup, badanku juga terasa tambah lemas.
Majikanku yang mengetahui keadaaku tidak baik-baik saja langsung membawaku ke UGD Rumah Sakit U, di daerah tempat tinggal majikanku.
Setelah pemeriksaan, Dokter mendiagnosa sakit radang tenggorokan dan di rekomendasikan untuk ke dokter THT di Rumah Sakit SA, masih dekat dengan Rumah Sakit U, dan sekalian ke Dokter mata, karena kelopak mata yang turun.
Setelah daftar ke Poli THT di Rumah Sakit SA, diberi tindakan Endoskopi. Endoskopi adalah prosedur medis yang dilakukan dengan memasukan alat khusus ke dalam organ tubuh internal tanpa pembedahan besar.
Setelah di Endoskopi, Dokter menyatakan ada Tumor Nasofaring, dan harus di biopsi secepatnya.
Tumor Nasofaring adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh di daerah Nasofaring. Secara umum adalah jenis kanker yang tumbuh antara rongga hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.
Aku yang mendengar penjelasan dokternya sangat syok, bagaimana bisa aku terkena penyakit ganas tersebut. Tapi Bu Fatma terus memberiku semangat untuk sembuh, bahkan Bu Fatma sendiri yang turun langsung mengantarku bolak balik ke rumah sakit.
"Harus semangat ya Mbak, terus berjuang, kita periksain sampai tau penyakit yang sebenarnya " Ucap Bu Fatma saat itu, aku hanya mengangguk lemah dengan pikiran yang campur aduk.
Bahkan anak anak Bu Fatma semuanya mendukung, tiap hari selalu memberiku semangat untuk berjuang. Bahkan Cia juga sudah tidak lagi memintaku untuk menemaninya tidur siang, atau mandi.
" Mbak, cepat sembuh ya, aku janji kalau aku mengompol lagi aku tidak akan merepotkan Mbak. " Ucapnya ketika melihatku yang terbaring di kasur. Aku sangat terharu dengan perlakuan keluarga Bu Fatma dan keluarganya. Bahkan teman arisan Bu Fatma pun mengetahuinya, mereka memberikan semangat untuk aku sembuh.
Beberapa hari ini, tidak ada perkembangan sama sekali, justru keadaanku semakin parah. Aku terkulai lemah di kasur tempat ku tidur, aku tetap berusaha untuk makan juga minum walaupun harus tersedak juga kembali keluar lagi lewat hidung.
Akhirnya aku menghubungi keluargaku, dan yang pertama aku hubungi adalah Kak Fitri yang berada di kampung. Kemudian aku menghubungi Bagas adik laki-lakiku dan satu lagi, Hana yang sedang bekerja di Kota B. Karena kemungkinan kalau nanti harus di rawat Hana lah yang bisa menemaniku. Aku pun langsung menghubunginya.
Tut... Tut... Tut...
"Iya Hallo, Assalamu'alaikum..." jawab adikku di sebrang sana.
"Wa'alaikumsalam, Dek, ini Kakak lagi sakit." Ucapku dengan suara sengau dan cadel. Aku langsung memberitahu keadaanku saat ini, karena sebenarnya aku sudah sangat merasa sakit.
"Apa Kak?" tanya Hana, sepertinya Hana tidak mendengar jelas apa yang aku ucapkan tadi. "Iya, Hallo, ada apa Kak?" suara Hana kembali terdengar saat aku menjelaskan keadaanku. Namun lagi-lagi suaraku menjadi tidak jelas saat berada ditelepon.
"Hallo, hallo, Kak ,ada apa kak?" Lagi-lagi Hana tidak mendengarnya. Dan tidak lama kemudian sambungannya terputus.
Akhirnya aku menjelaskannya lewat pesan, [ Dek, Kakak lagi sakit ] lumayan lama adikku tidak membalas. Mungkin dia lagi sibuk.
[Sakit apa Kak?] Setelah beberapa menit Hana ada membalasnya.
Lalu aku menjelaskan tentang sakitku. Adikku kembali membala, "[ Semoga cepat sembuh ya Kak, semangat ]". Ada perasaan plong di hati setelah keluargaku tahu. Setidaknya mereka mengetahui keadaanku di sini sekarang.
Belum ada satu minggu, keadaanku semakin parah. Karena tidak ada perubahan, akhirnya aku di bawa ke Rumah Sakit R masih daerah Kota T juga. Aku di bawa langsung ke poli THT untuk di Endoskopi ulang.
Ternyata dokter di sana menyatakan tidak ada tumor Nasofaring setelah melakukan Endoskopi ulang. Akhirnya, Dokter menyarankan untuk di suntik antibiotik tiga hari berturut turut. Hari itu juga suntikan antibiotik pertamaku dan dokter menyarankan untuk dirawat, karena keadaanku sudah gawat.
"Mbak, coba hubungi adiknya, soalnya kalau Mbak harus dirawat harus ada yang menemani." Ucap Bu Fatma saat itu juga.
Aku pun langsung menghubungi adik perempuanku yang di Kota B, disana dia bekerja di Warung Makan. Awalnya dia tidak mau karena dia tidak tahu harus ketempatku bersama siapa. Tapi, aku sedikit memohon, karena kalau bukan dia siapa lagi.
Bu Fatma yang mendengar adikku tidak mau, "Ya sudah, tidak usah hari ini Mbak, lagian ini sudah sore, kasihan di jalannya." Ucapnya. Akhirnya aku bilang tidak jadi hari ini dirawatnya.
Keesokan harinya, aku kembali lagi ke rumah sakit untuk di suntik antibiotik. Disana juga aku di haruskan untuk foto rontgen hari ini juga karena keadaanku semakin gawat. Selesai foto rontgen, aku kembali pulang dan menunggu besok untuk hasilnya.
Keesokan harinya, aku semakin lemas, mau bangun pun, aku sangat kesulitan.Tapi aku tidak ingin terus menyusahkan orang lain, apalagi ini di rumah orang lain. Sudah cukup mereka mengantarku bolak balik ke rumah sakit, itupun sudah menyita waktunya. Apalagi mereka bekerja juga.
Selama seminggu ini, adiknya Bu Fatma, yaitu Risa terpaksa harus berada di rumah untuk menemani Baby Boy. Karena Bu Fatma dan Pak Syarif tiap hari harus mengantarku, mengantri di tempat Poli, mengantri di tempat pengambilan obat. Bahkan untuk pemeriksaan foto rontgen.
"Mbak Ranti, bagaimana kabarnya? " Tanya Bu Fatma yang tiba tiba datang ke kamarku.
"Lemas Bu."Jawabku pelan.
"Mbak, dirawat saja ya hari ini, coba hubungi lagi adiknya." ucapnya.
"Iya Bu." Jawabku lemah.
"Ya sudah, sekarang minum susu saja dulu pelan -pelan, yang penting ada yang masuk ke perut, Klo sudah, nanti kita berangkat lagi ke rumah sakit " Ucap Bu Fatma yang sudah seperti Kakakku sendiri.
Akupun bangun dengan pelan dan mengambil gelas yang berada di meja televisi. Susu ini di buatkan Desi, aku meminumnya menggunakan sedotan dengan perlahan. Walaupun tersedak dan keluar lagi dari hidung, aku terus memaksanya untuk habis.
Setelah foto rontgen keluar, dokternya menjelaskan kalau ada Massa Mediastinum di sekitar dada. Dan harus melakukan beberapa tahap pemeriksaan lagi supaya penyakitnya lebih jelas karena keadaanku yang semakin drop dan tidak bisa masuk makanan dan minuman juga.
Massa Mediastinum adalah Kumpulan jaringan abnormal atau bisa di sebut dengan tumor, yang tumbuh di bagian mediastinum, yaitu, rongga di tengah dada yang terletak antara tulang dada (sternum) dan tulang belakang.
Setelah itu, aku akan di pasang selang NGT. Tapi, setelah beberapa kali di coba, selangnya tidak bisa masuk ke lambung dan dokter menyarankan untuk dirawat saja. Dan dokter THTnya menyarankan aku untuk di rujuk ke rumah sakit besar yamg berada di kota J, karena di sana perlengkapannya lebih lengkap. Kebetulan juga Dokter THTnya bertugas di rumah sakit tersebut. Setelah mengambil surat rujukan, aku kembali menghubungi adikku mumpung masih jam sebelas siang.
Dan adikku menangis karena tidak mau, alasannya karena dia tidak tau harus naik apa. Akhirnya aku menghubungi Kak Fitri agar membujuknya, karena siapa lagi yang akan menemaniku di sana kalau Hana tidak mau.
Setelah berunding, Bu Fatma menyarankan agar di jemput saja dari sini, karena aku tahu memang adikku pasti takut naik angkutan umum sendirian, apalagi dia tidak pernah pergi kemana-mana spalagi kalau sendirian.
Aku kembali menghubunginya dan aku berharap dia mau. Benar saja, saat aku menghubunginya dia sudah pulang dari tempat kerjanya dan bersiap-siap untuk berangkat.
"Hallo, Hana, bagaimana, Kakak mohon ya " Ucapku memelas.
"Iya Kak, aku sedang di jalan mau bersiap dulu " Jawabnya. Ada rasa lega, akhirnya dia mau juga.
"Sama siapa? Apa sendirian? Nanti kita jemput dari sini." Ucapku lagi.
"Tidak usah Kak, aku akan di antar Mas Ali" jawabnya.
"Mas Ali?"
"Iya" Jawabnya lagi, tidak lama kemudian sambungan teleponnya terputus.
'Mas Ali, Mas Ali yang dulu di kenalkan ke aku bukan?' Aku bertanya kepada diriku sendiri.
Kalaupun iya, aku tidak masalah karena yang aku dengar adikku ini menjalin hubungan dengan Mas Ali, setelah Mas Alinya aku cuekin.
Sekarang, yang aku pikirkan adalah kesembuhanku agar aku tidak membuat khawatir semua orang di sekitarku, terutama majikanku yang setiap hari tidak tenang bekerja karena memikirkan kondisiku.
Selesai berkonsultasi, akhirnya aku pulang, tapi di perjalanan pulang, jalanan sangat macet dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke rumah.
Ting.
Notif pesanku berbunyi, ternyata dari adikku.
"[Kak, aku sudah sampai]" Aku sangat senang sekali, akhirnya adikku sudah sampai di rumah.
"Bu, adikku sudah sampai ke rumah."Ucapku, kepada Bu Fatma.
" Alhamdulillah, ya sudah suruh tunggu saja dulu." jawabnya.
' [Tunggu dulu ya Dek, Kakak lagi di jalan, sebentar lagi sampai, soalnya macet] Aku kembali mengirim pesan kepada adikku.
' [Iya] ' Jawabnya lagi. Hatiku sedikit berbunga. Ada semangat dalah jiwaku, entah kenapa mungkin karena aku akan bertemu dengan salah satu keluargaku.
Setelah sampai ke rumah, aku langsung tergesa-gesa untuk masuk dan menemui adikku.
Flashback Off..
**
Aku hanya tergugu mendengarkan Kak Ranti bercerita, ternyata Kak Ranti sangat menderita dengan sakitnya, tapi dia tetap bisa tersenyum.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments