Magic Of Akademic
"Amdara, tidak ada cara lain. Tapi jika kau menolak, aku tidak bisa memaksa. Perlu kau ingat, ini misi rahasia yang hanya diketahui oleh kita bertiga. Kau mengerti maksudku?"
Di ruangan gelap yang hanya diterangi oleh bunga bulan, suasana semakin tegang tatkala Tetua Bram berkata dengan wajah serius. Dia mengipas wajahnya dengan kipas perak, tatapan matanya masih tertuju pada bocah perempuan berumur 11 tahun yang masih menunduk.
Sementara di samping Amdara, ada Inay juga sama halnya. Memikirkan perkataan Tetua Bram barusan. Bagaimana mungkin anak-anak ini bisa menangkap para Roh Hitam? Hah, jika dipikirkan oleh Inay, ketuanya telah kehilangan orang kuat hingga menyuruh mereka melakukan misi tidak mudah ini.
"Apa dengan pergi ke kota lain, aku bisa menemukan kedua orangtuaku?"
Amdara mengangkat wajah yang terlihat penuh harap pada Tetua Bram. Mata biru langitnya nampak sedikit ada genangan air yang hampir tumpah. Inay menoleh ke samping tepat ke arah Amdara.
"Apa yang bocah ini pikirkan?" Inay membatin, padahal umurnya tidak jauh berbeda. Dia berumur 13 tahun, memiliki rambut ungu gelap bergelombang panjang. Matanya berwarna hitam tajam, tapi wajahnya nampak ramah.
Tetua Bram menghela napas, dia tersenyum tipis. Wajah tegasnya seketika menghilang beberapa saat ketika dia mengelus-elus lembut kepala Amdara yang memiliki rambut putih. Mata Tetua Bram menampakan kesedihan.
"Kau akan mengetahui kebenarannya ketika waktunya tiba. Amdara, bukan tanpa alasan aku memintamu melakukan misi jauh."
Tetua Bram menjentikkan jari, ketika itu juga sebuah peta muncul membentang di depan mereka. Tetua Bram menjelaskan bahwa dia mempercayakan misi ini pada Amdara sebab bocah ini tidak tertarik pada kekuatan besar. Bisa dikatakan, Amdara murid langka di Organisasi Elang Putih.
Organisasi Elang Putih merupakan organisasi dari aliran putih yang memiliki tugas menjaga Negeri Elang Bulan terlebih desa Elang Bulan dan juga memiliki misi melenyapkan Roh-roh Hitam. Sementara pelenyapan iblis sendiri dilakukan oleh para senior yang telah menempati Tingkat Atas Tahap Tanpa Tanding.
Sementara Amdara baru memasuki Tingkat Ketiga Paruh Merah yang mana hanya bisa melenyapkan Roh Hitam yang lemah. Namun, di kota yang akan Amdara dan Inay masuki memiliki kekuatan alam yang alami dibanding dengan desa Elang Bulan. Sebenarnya Tetua Bram memiliki niat lain, dia mengetahui bahwa kedua orangtua Amdara ada di kota itu.
"Amdara, kau bukan orang yang tertarik pada kekuatan alam. Jadi kupastikan kau akan aman di sana."
Di Negeri Nirwana Bumi, kota Awan Langit memang memiliki kekuatan alam yang alami lebih besar daripada kota lain jadi tidak heran jika orang asli kota Awan Langit sangat kuat. Namun berbeda dengan pendatang, jika mereka memaksa menyerap kekuatan alam, maka tubuh mereka akan meledak dengan cepat. Bisa dikatakan hanya orang pribumi yang dapat menyerap kekuatan alam. Terkecuali orang yang memiliki hati bersih yang dapat menyerap kekuatan alam, mereka dapat sesuka hati menyerapnya dan orang itu disebut jenius.
Mendengarnya, membuat mata Inay berkedut. Bagaimana Tetua Bram begitu percaya pada Amdara termasuk dirinya memasuki kota mengerikan itu?!
"Tetua, bagaimana kau bisa percaya pada kami? Hati manusia dapat berubah. Keserakahan bisa saja muncul pada kami!"
Inay tentu berpikir demikian. Dia bukanlah orang naif, jadi wajar jika dirinya berkata demikian.
"Hmph. Kota itu mungkin akan membantumu menjadi manusia baik. Sementara Amdara, aku yakin dia bukan manusia seperti itu."
Inay tersentak, dia menoleh ke arah Amdara yang hanya diam. "Tetua, bagaimana jika aku menjadi manusia serakah kekuatan di sana? Dan Amdara sendiri tidak bisa mengingatkanku?"
"Itu masalahmu bukan masalahku. Jika kau lenyap, itu takdir baik."
Dengan mudahnya Tetua Bram berkata, jelas membuat Inay melongo. Tidak menyangka jika Tetua Bram berkata demikian. Inay berpikir bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak berarti, itu ... sungguh menyesakkan!
"Te-tetua, kau tega sekali."
Tetua Bram menggeleng melihat raut wajah murid satu ini. Pandangannya teralih pada peta di depan mereka. Sedari tadi Amdara memang diam sambil mengamati peta. Dia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Kapan kami bisa pergi?"
Amdara bersuara, dia menatap Tetua Bram yang ternyata tersenyum ke arahnya. "Aku memang tidak salah memilihmu."
Inay yang mendengarnya menggelembungkan pipi, jika Amdara menjadi pilihan Tetua, lalu mengapa dirinya juga diseret mengikuti misi ini?!
Tetua Bram kemudian menjelaskan letak di mana ada banyak roh-roh tersembunyi yang kemungkinan belum dilenyapkan oleh orang-orang kota itu sendiri. Untuk tempat tinggal Amdara dan Inay, Tetua Bram memberikan sekantong emas. Tetua dari Organisasi Elang Putih ini juga menyarankan agar mereka masuk ke sekolah akademi di sana, dengan begitu mereka akan mendapatkan misi yang bisa ditukar dengan kepingan emas.
Tidak lupa Tetua Bram menjelaskan beberapa tempat berbahaya dan menandainya dengan lingkaran merah. Ada tempat di mana roh-roh bersemayam.
Amdara memerhatikan dengan seksama. Sementara Inay beberapa kali bertanya mengapa ada banyak tempat terlarang dengan wilayah luas. Tetua Bram menjelaskan dengan detail agar Inay tidak bertanya terus.
"Di sinilah kalian akan masuk sekolah akademi magic. Jika kalian ditanya asal kalian, jawab dengan jujur. Terutama pertanyaan kalian memasuki sekolah itu."
Tentu yang dimaksud adalah Amdara yang ingin mencari orangtuanya. Dua bocah itu dilarang menjawab bertujuan melenyapkan roh.
"Haih, kau bilang harus berkata jujur!"
Inay mengepalkan kedua tangannya sambil menatap tajam sang ketua. Inay memang tidak pernah memiliki rasa takut pada siapapun, jadi wajar jika dia bersikap demikian.
Sebuah sentilan keras mendarat di dahi Inay. Jelas bocah itu merintih kesakitan sambil mengusap-usap dahi.
"Bocah Nakal, ada beberapa yang harus bohong--"
"Kami siap pergi sekarang, Tetua."
Perkataan Amdara membuat Tetua Bram tidak melanjutkan perkataannya. Dia menggulung peta dan memberikannya pada Amdara.
"T-tunggu dulu! Aku belum bersiap-siap."
Inay melotot ketika mendengar Amdara. Inay bahkan belum menyiapkan barang-barang. Sebenarnya Inay tidak ingin pergi, Amdara mungkin tidak mempersalahkannya. Namun, jangan salah bahwa hati Inay sangat lembut, mana mungkin dia membiarkan temannya pergi sendiri? Dan lagi, Tetua Bram juga mempercayainya, mungkin?
Tetua Bram memberikan waktu lima belas menit untuk mereka bersiap-siap. Dirinya meminta Amdara mengganti nama, tentu hal ini membuat Amdara bingung. Namun, Tetua Bram sama sekali tidak ingin menjelaskan. Alhasil Amdara mengubah namanya menjadi Luffy.
*
*
*
Sebuah air pelangi muncul membentuk persegi panjang ketika seseorang melakukan gerakan-gerakan tangan. Orang itu menutup mata, memfokuskan kekuatannya pada satu titik. Beberapa keringat muncul di dahi, dirinya mulai membuka mata.
"Kalian masuklah. Jaga diri baik-baik."
Orang yang baru saja membuat portal tidak lain adalah Tetua dari Organisasi Elang Putih. Dia menatap kedua muridnya.
"Hah, semoga di sana aku bertemu laki-laki tampan agar kelak dijadikan suami."
Seorang bocah berambut ungu kehitaman dengan pakaian sederhana mengibas rambut panjangnya. Dia tersenyum, tetapi seketika memudar ketika Tetua Bram melototkan mata.
Bocah berambut ungu kehitaman itu tidak lain dan tidak bukan adalah Inay. Dirinya segera memasuki portal setelah memberi hormat pada Tetua Bram.
"Tetua, kuharap orangtuaku memang ada di sana."
Amdara tersenyum, kemudian memberi hormat. Tetua Bram mengangguk dan tersenyum. 'Kuharap kau tidak kecewa dengan mereka.'
Portal air mulai menghilang perlahan. Perlahan Tetua Bram mengepalkan kedua tangan, dadanya berdetak lebih keras. Matanya berubah dingin seiring tubuhnya yang mulai menghilang. Tiba-tiba saja Tetua Bram merasa kepalanya yang sangat sakit, dia kehabisan kekuatan hanya untuk membuat portal tanpa diketahui oleh pelindung mana pun.
"Demi anak itu."
Tetua Bram merasa matanya mulai memburam, dan perlahan kehilangan kesadaran.
Di sisi lain, Inay baru saja menginjakkan kaki di tanah disusul Amdara, tetapi tiba-tiba saja tanah retak lebar. Membuat dua bocah perempuan itu segera menghindar.
BAAM!
Debaman keras terdengar. Suara gemuruh di langit membuat Amdara dan Inay terkejut bukan main. Keduanya baru saja menginjakkan kaki di kota, tetapi malah disambut oleh sebuah pertarungan.
"Dara, menghindar!"
Inay terlambat menarik Amdara. Sesuatu menabrak Amdara dengan keras hingga bocah itu terpental sejauh lima belas meter.
Blaar!
*
*
*
Di sebelah barat di kota Awan Langit tepat di hutan, dua orang memakai seragam putih biru dengan corak awan tengah bertukar serangan kuat. Salah satu dari dua laki-laki itu terpental lima meter dan memuncratkan darah segar dari mulut. Dia meludah, detik berikutnya terbang dengan kecepatan tinggi lalu tangannya memunculkan api besar yang langsung melesat ke arah lawan.
BAAM!
Laki-laki berumur 14 tahun dengan rambut hitam yang diikat pita putih memejamkan matanya yang meneduhkan, dan kemudian membuat dinding pelindung menggunakan kekuatannya. Alhasil suara debaman keras terdengar.
Api yang dibuat oleh Bena meledak bersamaan dirinya terkena pantulan kekuatan sendiri. Dia kembali terpental, kali ini darah keluar dari hidung dan mulut.
"Akh, s*alan! Cakra memiliki kekuatan lumayan juga."
Bena mengusap darah dari hidung, matanya menatap tajam ke arah kepulan asap di mana lawan yang masih tetap berekspresi tenang melayang di udara. Bahkan di saat Cakrabuana telah menggunakan hampir seluruh kekuatan dan mendapat luka dalam, ekspresinya masih tetap sama, tenang dan datar. Seakan semua serangan bukanlah sesuatu yang buruk.
"Cih. Aku ingin lihat bagaimana ekspresi wajahnya saat mendapat serangan terakhirku."
Bena menyeringai, detik berikutnya mengucapkan kalimat-kalimat mantra yang dia pelajari selama ini. Angin tiba-tiba saja berubah arah, jelas hal ini membuat perasaan Cakrabuana mulai buruk. Bocah laki-laki itu menutup mata, kemudian bersiap dengan segala hal buruk yang akan terjadi.
Sepasang sayap besar berselimut api muncul di punggung Bena. Udara menjadi panas, bahkan angin juga terasa panas.
Cakrabuana memutar-mutar tubuh, seperti tengah melakukan sebuah jurus. Seragamnya nampak dimainkan angin, dia akan menggunakan jurus terbaiknya.
"Matilah kau, Cakrabuana! Phoenix Api Keabadian ...!"
Bena melesat cepat ke arah Cakrabuana dengan api yang menyelimuti nya, detik berikutnya Bena melesatkan api bola besar ke arah Cakrabuana.
Cakrabuana menyerang menggunakan jurusnya, alhasil pertarungan sengit itu meledak dengan dahsyat. Walaupun dalam keadaan siang hari, tetapi sinar matahari sekarang dapat masuk karena sudah banyak pohon tumbang ulah keduanya.
BAAM!
Blaar!
Ledakan antara jurus Bena dan Cakrabuana menghasilkan angin kejut, dan asap besar. Bahkan karena jurus keduanya membuat percikan kembang api di atas.
Bena terpental sejauh lima belas meter akibat ledakan besar jurusnya dan lawan. Begitu pula dengan Cakrabuana yang terpental dengan darah yang keluar dari hidung, telinga, dan mulut.
Blaar!
Amdara yang baru saja menghindari serangan nyasar langsung tertabrak sesuatu. Amdara kemudian menggunakan segel pelindung dari ledakan besar.
Asap hitam masih mengepul di udara menghalangi pandangan siapa saja yang berada di tempat pertarungan.
"Kau tidak apa-apa?"
Amdara menahan punggung seseorang di depannya yang cukup besar. Dia berhasil membuat segel pelindung yang membuat dampak serangan tidak terlalu parah mengenainya dan orang di depannya ini.
Cakrabuana merasa dia akan mendapat serangan mematikan, tetapi dia malah tidak terkena serangan karena ada yang membuat segel pelindung.
"Mn, terima kasih."
Cakrabuana memberi hormat pada orang yang membuat pelindung. Dia memandang orang di depannya yang memiliki rambut putih panjang yang diikat dengan ikat rambut biru dan berpakaian seperti anak laki-laki. Tentu Cakrabuana menganggap orang di depannya adalah laki-laki yang usianya lebih muda dari dia.
Amdara mengangguk sebagai respon. Dia memang selalu memakai pakaian seperti laki-laki sebab menurutnya lebih nyaman untuk bertarung. Walaupun berkali-kali diingatkan Inay karena penampilan perempuan itu tidak boleh seperti laki-laki. Namun, tetap saja Amdara tidak mendengarkan. Sampai membuat Inay dan saudara seperguruan yang lain merasa heran.
"Kau terluka."
Amdara melihat ada darah keluar dari mulut orang di depannya. Perkiraan Amdara orang di depannya berusia kurang lebih 14 tahun. Orang yang dimaksud Amdara adalah Cakrabuana yang menubruknya.
"Bukan masalah besar, Tuan."
"Dara ...!"
Amdara menoleh ke sumber suara, melihat Inay baru saja mendarat dan langsung mengguncang-guncang bahu dengan raut wajah khawatir. Amdara tersentak sebelum menggaruk pipi yang tidak gatal. Menurutnya Inay terlalu berlebihan. Walaupun Inay lebih tua satu tahun, tetapi bukan berarti kekuatan Amdara bisa dipandang remeh.
"Di mana yang terluka? Apa lukanya parah? Sini, biar kuobati."
Amdara menggeleng. "Aku baik-baik saja. Kak Inay tidak perlu khawatir."
"Aku tidak yakin, kau ditabrak sesuatu---"
Inay tersentak ketika melihat wajah tampan seseorang dengan rambut terikat. Apalagi wajah laki-laki itu membuat Inay merasakan ketenangan serta ketegangan.
'Laki-laki itu seperti memiliki aura pahlawan.' Inay menggigit jarinya hingga berdarah tanpa sadar. Wajah putihnya memerah seketika.
Amdara yang melihat wajah Inay menggelengkan kepala. Dia kemudian menepuk bahu Inay untuk menyadarkan, tetapi respon Inay malah membuat Amdara tersentak.
"Pangeran Tampan, aku adalah putri dari khayangan. Bawa aku ke istanamu untuk menjadi istri!"
Inay tersenyum sangat manis, bahkan dia mengedipkan sebelah mata pada Cakrabuana. Sementara Cakrabuana tersentak mendengar penuturan bocah perempuan di depannya.
"Memalukan."
Amdara mengembuskan napas, dia kemudian menarik tangan Inay dengan paksa sambil melangkah pergi meninggalkan Cakrabuana. Inay memberontak, dia berteriak agar Amdara tidak menarik tangannya.
Cakrabuana yang melihat hal itu menaikkan sebelah alisnya. Baru saja dia akan berteriak untuk mengetahui nama orang yang telah membantu, tetapi tiba-tiba saja sebuah lubang hitam muncul di depan dua orang itu yang langsung membuat kedua orang tersebut menghilang.
"Portal?"
Di Negeri Nirwana Bumi, sangat jarang ada orang yang bisa melakukan pembuatan portal waktu. Jika ada orang yang dapat membuatnya maka disebut sebagai jenius berbakat. Cakrabuana baru saja melihat secara langsung ada portal. Jika bukan orang yang telah menolongnya, maka bocah perempuan itu yang membuatnya.
Sementara setelah Amdara dan Inay memasuki portal, Inay langsung membentak keras Amdara.
"Dara, apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan tanganku!"
Inay mulai merasa pergelangan tangannya terasa sakit. Apalagi Amdara menggunakan kekuatan untuk menarik dia. Hampir saja Inay menggigit tangan Amdara jika dia tidak melepaskan tangan. Amdara benar-benar keterlaluan memperlakukan Inay seperti ini! Padahal Inay lebih tua dari Amdara.
"Apa kau ingin menyakitiku, hah?! Dasar."
Inay menghentakkan kaki sambil melotot ke arah Amdara yang menatapnya datar seperti tidak bersalah sama sekali. Wajah datar Amdara membuat Inay bertambah kesal saja.
"Sebaiknya kita cepat cari penginapan."
Inay membuka mulut, saat adik seperguruannya sama sekali tidak merasa menyesal bahkan meminta maaf. Hal ini jelas membuat Inay naik pitam. Dia mengeluarkan kekuatan untuk rambut ungu hitamnya melilit tubuh Amdara. Sayang sekali Amdara melompat gesit sebelum rambut Inay mengenainya.
Tidak ingin Amdara melarikan diri sebelum meminta maaf, Inay kembali menyerang dengan rambutnya ke arah Amdara.
"S*alan, kau! Cepat kemari dan katakan maaf padaku ...!"
Inay melayang sambil menatap tajam Amdara yang masih berusaha menghindar dan beberapa kali menangkis rambut Inay.
Traang!
Bahkan suara rambut Inay yang berbenturan dengan kekuatan Amdara berbunyi seperti layaknya pedang. Kedua orang itu entah terlalu fokus atau memang kurang peka dengan keadaan sekitar hingga tidak menyadari ada orang yang melihat mereka.
BAAM!
Rambut Inay menabrak pohon hingga menjadi abu dalam sekali serangan. Bahkan angin yang dihasilkan membuat sekeliling penuh dengan debu berterbangan.
"Kak Inay, hentikan!"
Amdara melakukan gerakan tangan yang membuat angin sekitar semakin tidak terkendali. Terlebih lagi Amdara malah menggunakan abu dari pepohonan untuk menghalangi pandangan Inay. Bahkan mereka tidak mempedulikan kondisi sekitar yang jika diperhatikan lebih jelas, akan ada gedung-gedung tinggi yang tidak jauh dari tempat mereka bertarung. Sudah banyak pohon yang hangus karena pertarungan mereka, bahkan tanah sampai retak luas.
"Kau ingin aku berhenti? Ck, cepat kemari dan minta maaf!"
Inay menghalangi angin yang semakin kencang dengan rambut panjangnya membentuk tembok besar mengelilingi dirinya. Seketika angin itu seperti terlilit oleh rambut Inay. Kekuatan Inay memang sedikit istimewa, dia dapat mengendalikan rambut sendiri untuk melilit sesuatu bahkan angin, awan, dan api sekalipun.
Di Negeri Elang Bulan, Inay adalah satu-satunya manusia yang dapat melakukan hal seperti itu. Bahkan karena kekuatan istimewa ini, Inay cukup diwaspadai oleh musuh walaupun tingkat kekuatan Inay masih rendah.
Amdara menghentikan pergerakan angin dengan melepaskannya ke luar, dia menghembuskan napas sebelum melayang tenang ke arah Inay. Bagaimana pun Inay lebih tua darinya, jadi tidak ada alasan lain bagi Amdara untuk meminta maaf karena telah bersikap lancang.
Inay mengubah rambutnya kembali seperti semula, dia mendengus kesal melihat Amdara melayang santai ke arahnya.
Tanpa basa-basi, Inay langsung menarik telinga Amdara dan memelintir saking kesalnya. Dia bahkan mengomeli Amdara yang telah berani membuat dia emosi.
"Lepaskan."
Amdara dapat merasakan perih di telinga, walaupun dia berkata demikian tetapi Amdara sama sekali tidak berniat melarikan diri.
Inay menggelembungkan pipi. "Katakan maaf dulu!"
"Baiklah, maaf."
Inay melepaskan tarikan tangan dari telinga Amdara. Namun, Inay merasa masih belum puas. Jadi dia terus mengomeli adik seperguruannya dan tidak henti-hentinya memberi nasehat.
Amdara bukannya merasa baikkan setelah telinganya dilepas malah semakin merasa sakit mendengar omelan Inay. Bahkan telinga Amdara hampir mati rasa karena suara Inay yang lumayan cempreng.
Tanpa mereka sadari, sejak pertarungan singkat terjadi, ada banyak orang yang melihat pertarungan tersebut. Bahkan ada dari orang-orang yang melihat merasa kagum. Namun, ada juga yang merasa kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Maria_dwi90
hai kk, aku dah mampir ya....semangat terus.
2023-10-17
0
Yu
mampir 😁
2022-12-25
0