"Dara, buka pakaianmu."
Inay memegang obat oles di tangan, dia dan Amdara sekarang berada di tempat istirahat yang berada di belakang sekolah setelah Tetua Haki memerintahkan. Mega dan yang lain masih mendapat cambukan dari Tetua Haki sendiri. Balai istirahat ini berbeda dengan asrama.
Amdara duduk bersila dan menutup mata. "Tidak."
Inay tersentak. "Hei, kita ini perempuan. Apa kau perlu malu?"
Amdara membuka mata, menatap Inay dalam. Mereka memang perempuan, tetapi Amdara belum pernah membuka pakaian di depan orang lain. Namun, saat ini Amdara tengah menghisap kekuatan alam untuk menyembuhkan luka dalamnya dan menutup kembali daging yang robek di punggung. Jadi Inay tidak perlu repot-repot membantu mengoleskan obat.
"Aku bisa menyembuhkan dengan kekuatan."
Amdara masih diam tidak bergerak. Sementara Inay berdecak kesal karena Amdara yang keras kepala.
"Setidaknya buka pakaianmu dan aku akan memperban lukamu." Inay mencoba memberi tahu Amdara. Walaupun Amdara bisa menyembuhkan luka dengan kekuatan, tetapi Inay ingin membantu setidaknya memperban luka Amdara.
"Tidak perlu." Amdara menolak mentah-mentah dan mengucapkan terima kasih karena Inay sudah perhatian padanya.
Inay mengembuskan napas, dia sepertinya tidak bisa memperban luka Amdara dengan cara baik. Inay tersenyum licik, membuat Amdara merasa sesuatu yang tidak enak akan terjadi.
Inay tiba-tiba saja menerjang Amdara dan mencoba membuka pakaian Amdara dengan kasar. Tentu Amdara terkejut dengan tindakan Inay.
"Apa yang kau lakukan?!"
Amdara menyingkirkan tangan Inay, tetapi lagi-lagi tangan Inay mencoba menarik pakaiannya.
"Aku hanya mencoba membantumu. Amdara kau diamlah! Jangan banyak bergerak!"
Inay dan Amdara sampai berguling-guling di lantai dan saling mengunci. Amdara tetap tidak akan membuka pakaiannya, itu sangat memalukan menurutnya. Inay sama sekali tidak merasakan sakit di punggung sendiri walaupun lukanya belum sembuh sempurna.
Amdara merasakan sakit di punggung akibat Inay yang berada di atasnya. Darah masih mengalir akibat mereka saling berguling-guling di lantai.
"Tidak!"
Amdara segera menempis tangan Inay yang hampir membuka pakaiannya. Dirinya langsung menjatuhkan Inay dan mengunci tangan Inay tetapi dengan sigap Inay menjambak rambut Amdara lalu menjatuhkan Amdara. Namun sebelum itu terjadi Amdara menggigit telinga Inay sampai merintih.
Pada akhirnya Inay berhasil memperban punggung Amdara dengan susah payah, dia menggunakan rambutnya untuk melilit Amdara agar tidak bisa bergerak. Bahakan Inay mendapat luka cakaran di pipi.
"Huh, padahal aku hanya ingin memperban lukamu."
Inay membaringkan tubuh di lantai sambil menyentuh pipi. Tidak mudah membuka pakaian Amdara dengan cepat. Dia beberapa kali mendapatkan cakaran bahkan gigitan pada telinga. Amdara benar-benar bisa menjadi bocah membahayakan!
Sementara Amdara memalingkan wajah, telinganya nampak memerah. Sekarang dia telah mengganti pakaian sekolah Magic Awan Langit yang baru. Hal barusan benar-benar memalukan untuknya.
Amdara berjalan ke jendela kamar sambil mengembuskan napas. Dia melihat langit penuh bintang dengan suasana damai.
"Ini baru awal."
Amdara mengulurkan tangan, sebuah angin kecil muncul di atas tangan Amdara dan kemudian menghilang saat Amdara menutupnya.
Inay melirik Amdara dan kemudian melangkah mendekati bocah berambut putih itu. Suasana damai seperti ini, Inay juga merindukannya saat berada di sekte. Baru setengah bulan dia di sini, tetapi sudah banyak hal terjadi.
"Dara--"
"Luffy."
Amdara memotong perkataan Inay. Dia tentu akan menyebut nama Inay dengan Nana karena Inay pernah memintanya.
Inay mengembuskan napas, dia tidak terbiasa dengan nama itu. Namun, Inay akan mulai membiasakannya sekarang.
"Luffy, bagaimana kondisimu? Apa kau merasakan sesuatu yang tidak enak? Kau baru saja sembuh dan mendapatkan cambukan. Kurasa tubuhmu tidak baik-baik saja."
Inay bertanya khawatir, dia selama ini sangat merindukan Amdara karena dirinya tidak pernah menjenguk dan Inay menjelaskan mengapa dirinya tidak menjenguk Amdara.
"Aku baik-baik saja."
Amdara tersenyum tipis, membuat Inay jauh lebih baik. Inay menanyakan kejadian ketika mereka diserang.
Amdara menceritakan semuanya sampai dia bangun kemarin malam. Hal yang membuat Inay tersentak adalah ketika Roh Hitam yang sama sekali tidak menyentuh Amdara ketika berada di dalam bunga Teratai Penghisap Nyawa.
Ceritanya berlanjut saat Inay bangun setelah tidak sadarkan diri di hutan buatan karena kehabisan kekuatan.
"Kau tahu, aku ditindas di sini."
Inay menarik napas sebelum kembali menceritakan bagaimana kejadian demi kejadian yang telah dilewatinya selama ini. Mendapatkan cambukan setiap malam, rasa sakit itu tentu tidak akan pernah dia lupakan. Tidur tidak pernah nyenyak karena rasa sakit dan memikirkan banyak hal. Inay tidak seperti Amdara yang memiliki regenerasi tubuh yang hebat.
Membersihkan halaman yang begitu luas tanpa diberi makanan pagi. Seseorang yang memiliki kekuatan memang bisa tidak makan selama berhari-hari, Inay juga pernah tidak makan karena tengah menjalankan misi. Namun, bukankah hukuman Inay cukup keterlaluan untuk anak seumurannya?
Mencuci semua pakaian para murid, memasak untuk mereka, dan tidak membiarkan Inay sejenak istirahat. Ditambah Padma, Kenes, dan Daksa selalu mencari masalah pada Inay entah itu mengatakan masakan Inay tidak enak atau menyuruh Inay membuatkan masakan lagi. Membuang sampah sembarangan, dan mengotori pakaian yang tengah dijemur, mengakibatkan Inay harus membersihkan ulang. Awalnya Inay diam tidak melakukan tindakan apa pun, tetapi semakin hari Padma, Daksa dan Kenes semakin membuat ulah menjadi-jadi sampai Inay tidak tahan dan melakukan perlasanan akan tetapi dirinya yang malah mendapatkan hukuman tambahan. Inay tidak berani mengambil makanan walaupun itu hanya sisa. Selalu ada yang mengawasi gerak-gerik Inay, apa pun yang dilakukannya harus berhati-hati.
Malam itu, dua orang dari Negeri Elang Bulan bercerita sambil melihat langit penuh bintang. Suasana yang keduanya rindukan dan suasana damai yang mereka harapkan sampai panjang suatu hari nanti. Amdara dan Inay sepakat tidak tidur untuk membuat rencana menyelesaikan misi sebenarnya. Toh mereka jika tidak akan bisa tidur karena banyak pikiran masing-masing.
*
*
*
Kicauan burung terdengar merdu di pohon buatan. Suasana pagi hari di sekolah Akademi Magic Awan Langit sangai damai. Ditambah cuaca yang akan cerah menambah kesan bagi Amdara yang kini duduk di batang pohon depan sekolah sambil memakan apel perak. Mengetahui selama ini Inay tidak sarapan di sekolah ini membuat Amdara sedikit kesal. Dia memberikan Inay sekantong apel perak dari cincin ruang pagi tadi dan sekarang bocah berambut ungu itu tengah membersihkan halaman depan asrama, sementara Amdara membersihkan bagian Balai Hukuman, Gedung Pengambilan Misi, Balai Istirahat dan sekolah besar ini.
Amdara mengangkat tangan kiri, detik itu juga angin mulai berhembus dengan cepat. Dedaunan yang jatuh dan sampah lain segera terkumpul di satu titik dan langsung menjadi abu ketika Amdara menggenggam tangan. Amdara telah membersihkan bagian Balai Hukuman, Gedung Pengambilan Misi, Balai Istirahat dengan cepat tanpa diketahui siapa pun. Sekarang hanya tinggal sekolah ini saja.
"Mn, mudah."
Amdara membuat angin lebih besar dari sebelumnya, membuat murid-murid yang melihatnya tersentak. Angin itu memutari sekolah, debu-debu dan kotoran yang menempel pada dinding dan kaca berkumpul jadi satu menjadikan angin itu sedikit berwarna cokelat.
Amdara kemudian membuat angin tersebut menghilang begitu pula dengan debu-debu itu. Beberapa murid tidak menyadari keberadaan Amdara yang masih duduk santai di pohon sambil menikmati apel perak.
Seseorang berseragam khas sekolah ini berjalan santai memasuki pintu sekolah. Wajah giok putihnya memancarkan aura berbeda dari yang lain. Amdara seperti pernah melihat anak laki-laki barusan, tetapi tidak ingat.
"Luffy, kau sudah selesai?"
Inay mendarat di sebelah Amdara, dia tahu Amdara di sini sebelumnya. Amdara bergumam sebagai jawaban.
"Baiklah, mari mengikuti kelas pertama kita!"
Inay berseru dengan semangat, lukanya sudah membaik sebab Amdara menyembuhkannya semalam.
Amdara dan Inay mendarat, berjalan santai ke pintu sekolah yang besar dan tinggi dengan ukiran awan warna putih. Pintu tersebut terbuka sendiri ketika seseorang menginjak pola awan di bawahnya.
Hal pertama yang dilihat Amdara adalah giok hijau yang menjadi dinding ruangan. Ruangan itu luas bahkan terdapat bangku yang melayang dan tangga menuju ruangan berikutnya. Mereka menunjukkan tanda pengenal pada murid yang menjaga dan setelahnya pergi ke ruang kelas.
Kelas pertama berada di ruang bawah tanah memiliki tingkat kelas tiga, yang pertama adalah kelas A berisikan murid-murid unggul dan kelas B yang murid-muridnya cukup baik dalam penguasaan kekuatan dan kelas C merupakan kelas yang disebut sebagai kelas dengan murid-muridnya payah. Di kelas dua juga terdapat tingkat kelas. Sementara di kelas tiga memiliki tingkat jauh lebih tinggi dan berbeda.
Sebelumnya Inay telah diberitahu oleh Guru Kawi mengenai kelasnya. Beberapa murid berlalu lalang menuju kelas masing-masing.
Untuk menuju ruang kelas bawah tanah, maka harus melewati tangga tanpa terbang. Di sepanjang tangga terdapat bunga bulan yang memancarkan cahaya. Bunga bulan biasanya sulit ditemukan, tetapi di sini malah ada banyak sebagai penerang jalan.
Amdara cukup kagum pada bunga bulan ini. Ruang kelas C berada paling belakang dan harus melewati kelas A dan B terlebih dahulu. Ya, Amdara dan Inay mendapat kelas C.
"Mn, kurasa tidak buruk."
Kelas A dan kelas B memang memiliki ciri khasnya tersendiri dan lebih luas dan bagus. Sementara kelas C tidak terlalu luas dan ruangannya malah gelap tidak ada penerangan sedikitpun membuat Amdara cukup tersentak.
"Gelap. Berbeda dari yang lain."
Setelah melewati kelas B, bunga bulan sama sekali tidak ditemukan. Amdara memunculkan api biru untuk menerangi jalan.
"Yah, kelas C kudengar memang kelas buruk."
Inay mengembuskan napas, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memilih kelas.
Pintu kelas terbuka saat Inay mendorong pelan. Sunyi, gelap, tidak ada suasana kehidupan. Inay sampai menahan napas dibuatnya.
Api biru Amdara masuk ke dalam kelas, terlihat ada bangku yang melayang di depan mereka. Suasana seketika membuat bulu kuduk Inay merinding.
"H-hantu!"
Inay sontak memeluk Amdara saking terkejutnya melihat sesosok berwajah menyeramkan tengah menatap mereka tajam dari balik bangku. Matanya merah menyala, siap melenyapkan siapapun yang melihatnya.
Amdara memunculkan satu api birunya lagi membuat penerangan lebih dari sebelumnya. Sesosok itu masih diam, Amdara memerhatikan lebih teliti dan seketika mengembuskan napas.
"Itu bukan hantu."
Amdara melihat sesosok itu bukanlah hantu seperti yang dikatakan Inay melainkan orang yang dengan sengaja merubah wajahnya menggunakan kekuatan untuk menakuti mereka.
Inay tetap tidak percaya, dan dia lebih memilih menyembunyikan wajahnya pada Amdara.
"Hei, bocah baru. Kau pengecut sekali."
Inay memberanikan diri ketika ada yang mengatakan 'pengecut'. Seketika Inay tersentak saat dia tidak melihat wajah mengerikan sebelumnya. Hanya ada wajah bocah laki-laki berumur 14 tahun yang tengah menahan tawa, sontak Inay mengepalkan tangan ketika menyadari sesuatu.
"Kalian, cepat duduk di bangku masing-masing ...!"
Seseorang berseru dari bangku depan, saat itu juga yang awalnya bangku di depan Amdara melayang kini mendarat dan beberapa murid muncul dari balik dinding dan duduk tenang di bangku. Mereka diam dengan ekspresi sulit diartikan menatap Amdara dan Inay yang kebingungan lebih tepatnya merasa mereka tengah ditatap layaknya penyusup. Yah, jika Amdara pikirkan lagi mereka memang penyusup.
Amdara cukup terkejut melihatnya, dia dan Inay diperintahkan oleh bocah yang baru saja mengerjai untuk masuk ke kelas dan duduk di bangku kosong.
Bangku yang kosong berada di barisan paling depan, dan di sana Amdara dan Inay akan duduk.
"Hei, bisa hilangkan apimu? Menyebalkan sekali ada cahaya di sini."
Seseorang dari belakang bangku Amdara menatap tidak suka Amdara. Dia memiliki rambut hitam pendek, dan tatapan tajam, jelas dia adalah laki-laki yang benci cahaya.
"Bagaimana akan belajar jika gelap?" Amdara menaikkan sebelah alisnya.
Inay juga merasa aneh dengan bocah laki-laki di belakangnya.
Bukannya mendengar jawaban, yang ada malah suara tawa yang semakin lama semakin membuat Amdara merinding beberapa saat. Bukan hanya bocah di belakang Amdara yang tertawa melainkan semua murid yang berada di kelas ini.
"Hei, apa yang kalian tertawakan?!"
Inay menggeprak meja merasa dia dan Amdara tengah menjadi bahan tertawaan tanpa alasan. Amdara hanya diam, dia masih mencoba menyesuaikan keadaan sekitar yang cukup aneh.
"Dasar bocah manja. Di sini kau harus mengikuti peraturan kelas!"
Perkataan seseorang membuat Amdara dan Inay kembali tersentak. Peraturan macam apa yang ada di kelas ini sampai menyalakan api pun dilarang?! Tanpa kembali bertanya, Amdara menghilangkan api birunya.
Inay langsung memegang tangan Amdara, karena dia cukup tidak menyukai gelap. Ada kenangan pahit saat dia bertemu kegelapan. Amdara merasakan tangan Inay yang gemetar. "Tidak apa-apa. Aku di sini."
Amdara menepuk pelan punggung Inay untuk menenangkan. Sebenarnya Amdara juga kesal karena peraturan tidak jelas di kelas ini.
Sebuah cahaya merah muncul di depan, asap putih memutar dan seketika memunculkan seseorang berjubah hitam dan memakai topeng rubah merah. Suhu di kelas berubah menjadi dingin, aura mengerikan dapat dirasakan Amdara. Karena cahaya itu, Amdara bisa melihat orang itu yang memakai topeng. Dia mewaspadai orang tersebut sebelum seseorang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Amdara menaikkan sebelah alis.
"Hormat pada guru!"
Seseorang berseru, dan membuat murid-murid lamgsung memberi hormat kecuali Amdara dan Inay yang masih kebingungan.
Orang yang baru saja muncul menatap Amdara lama, dia sama sekali tidak menghilangkan cahaya merah di sekelilingnya. Dia berkata sambil menyeringai, "Sepertinya kita kedatangan murid baru."
Amdara segera memberi hormat mengetahui bahwa orang itu adalah guru di kelas ini. Mendengar suara itu Amdara tahu gurunya adalah laki-laki. Inay mengikuti apa yang dilakukan Amdara.
"Hormat pada guru. Namaku Luffy."
Tanpa perintah, Amdara memperkenalkan diri dan diikuti oleh Inay. Orang yang disebut guru itu mengangguk dan menyuruh Amdara dan Inay duduk kembali. Tidak ada murid yang bertanya dari mana asal atau hal lain mengenai Amdara dan Inay. Amdara mengembuskan napas lega karena tidak akan ada keributan.
"Kurasa kita menggunakan cahaya untuk pembelajaran kali ini."
Guru itu tidak memperkenalkan diri, dia membuat cahaya merah di atas. Sekarang baru terlihat ada sekitar 25 murid dan ditambah Amdara dan Inay menjadi 27 murid. Memang sedikit dibandingkan kelas A dan kelas B yang biasanya mendapat minimal 150 murid.
Murid yang duduk di belakang Amdara nampak tidak senang, tetapi dia hanya diam.
Amdara bisa merasakan aura suram di kelas ini, dia menoleh ke samping saat mendengar seseorang menangis lirih. Awalnya Amdara mengira anak itu sedang menangis, tetapi ketika anak itu menoleh ke arah Amdara baru terlihat mata anak itu sepenuhnya putih, sama sekali tidak ada pupil mata. Anak itu seketika menghentikan tangisnya dan menatap kosong Amdara.
Amdara baru aja akan bertanya, tetapi cahaya putih di depannya menarik perhatiannya.
Amdara menaikkan sebelah alisnya saat guru baru itu memunculkan sebuah alat aneh. Berbentuk segi panjang, dengan setiap sisi memiliki bentuk telinga rubah, dan memiliki benjolan pada tengah-tengah berwarna biru.
"Kita akan kembali mengetes kemampuan kalian."
Guru itu memberi penjelasan mengenai alat tersebut. Di mana alat itu berfungsi sebagai pendeteksi tingkat kekuatan seseorang hanya dengan menekan benjolan pada tengah-tengah alat tersebut. Memang alat canggih yang baru dilihat Amdara.
Amdara sedikit bingung pada guru itu, karena biasanya orang yang memiliki kekuatan bisa melihat tingkat kekuatan orang lain dengan sekali melihat. Berbeda dengan kekuatan lebih lemah maka orang itu tidak dapat melihat tingkatan orang lain.
Tingkatan kekuatan di Organisasi Elang putih Negeri Elang Bulan terbagi menjadi sebelas, yaitu ;
Tingkat Dasar, Tingkat Pertama, Tingkat Kedua Cakar Kuning, Tingkat Ketiga Paruh Merah, Tingkat Menengah Putih, Tingkat Menengah Tahap Bumi, Tingkat Atas Tahap Bumi, Tingkat Atas Tahap Langit, Tingkat Atas Tahap Tanpa Tanding, Tingkat Akhir, dan Tingkat Akhir Keabadian. Namun, biasanya seseorang hanya mampu berada di tingkat Tingkat Atas Tahap Bumi. Tingkat Atas Tahap Langit dan Tingkat Atas Tahap Tanpa Tanding bisa di hitung dengan jari jika di Negeri Elang Bulan. Untuk Tingkat Akhir dan Tingkat Akhir Keabadian berada di dunia berbeda, jauh dari dunia ini yang penuh tipu muslihat dan pertumpahan darah. Banyak orang-orang yang mengklaim dua tingkat tersebut tidaklah ada. Jadi ada yang tidak menganggap kedua tingkatan tersebut.
"Guru, bukankah kau tahu di mana kemampuan kami? Sama sekali tidak berubah sedikitpun."
Laki-laki di belakang Amdara berbicara ketus, dia memperlihatkan wajah muak melihat alat yang diciptakan guru. Bukan hanya dia, seluruh murid di kelas tersebut juga sama.
"Kau membuat kami kembali terluka. Lebih baik ajari sesuatu yang baru."
Seseorang yang duduk rapi di barisan pojok turut angkat bicara. Dia mengenakan pakaian yang rapi. Amdara baru saja menyadari bahwa pakaian yang murid-murid ini kenakan berbeda dengannya. Pakaian murid-murid itu terlihat lusuh dan berwarna gelap, tidak ada motif sedikit pun. Sama sekali bukan pakaian khas sekolah Magic Awan Langit. Namun, bagaimana bisa? Bukankah mereka juga berada di sekolah ini?
"Khahakhaa, betapa menyedihkannya kita yang lemah ini."
Kali ini yang berbicara perempuan yang menguncir kedua rambut dan memegang boneka menyeramkan sambil tertawa aneh. Amdara menahan napas sesaat.
"Kalian selalu berkembang setiap saat. Berhenti mengeluh. Dirgan, maju ke depan."
Guru itu memanggil seseorang yang duduk di bagian pojok sendirian. Orang bernama Dirgan itu maju dengan gagah. Amdara bisa tahu Dirgan itu berumur 15 tahun, Amdara menaikkan sebelah alisnya. Umur Dirgan sudah memasuki dewasa, tetapi mengapa masih berada di kelas Satu C pula.
Dirgan adalah Ketua Kelas C, dia segera menekan benjolan pada alat tersebut yang seketika tidak ada perubahan warna.
"Kau harus giat belajar."
Dirgan mengembuskan napas, dan memalingkan wajah lalu segera duduk kembali.
Guru itu menjelaskan bahwa jika seseorang menekan benjolan itu maka akan ketahuan berada di tingkat mana orang tersebut berada dengan warna berbeda.
"Anak baru, giliranmu." Guru Aneh itu menunjuk Amdara.
Amdara mencoba menenangkan diri, dia mengangguk. Inay menelan ludah susah payah, dia sampai sekarang belum mengeluarkan sepatah katapun. Rasanya sedikit takut dengan orang-orang yang berada di sini.
Perlahan Amdara menekan benjolan itu, warna yang muncul adalah coklat. Amdara tidak tahu betapa tersentaknya murid-murid di kelas C dan juga guru aneh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments