NovelToon NovelToon

Magic Of Akademic

1 Misi Rahasia

"Amdara, tidak ada cara lain. Tapi jika kau menolak, aku tidak bisa memaksa. Perlu kau ingat, ini misi rahasia yang hanya diketahui oleh kita bertiga. Kau mengerti maksudku?"

Di ruangan gelap yang hanya diterangi oleh bunga bulan, suasana semakin tegang tatkala Tetua Bram berkata dengan wajah serius. Dia mengipas wajahnya dengan kipas perak, tatapan matanya masih tertuju pada bocah perempuan berumur 11 tahun yang masih menunduk.

Sementara di samping Amdara, ada Inay juga sama halnya. Memikirkan perkataan Tetua Bram barusan. Bagaimana mungkin anak-anak ini bisa menangkap para Roh Hitam? Hah, jika dipikirkan oleh Inay, ketuanya telah kehilangan orang kuat hingga menyuruh mereka melakukan misi tidak mudah ini.

"Apa dengan pergi ke kota lain, aku bisa menemukan kedua orangtuaku?"

Amdara mengangkat wajah yang terlihat penuh harap pada Tetua Bram. Mata biru langitnya nampak sedikit ada genangan air yang hampir tumpah. Inay menoleh ke samping tepat ke arah Amdara.

"Apa yang bocah ini pikirkan?" Inay membatin, padahal umurnya tidak jauh berbeda. Dia berumur 13 tahun, memiliki rambut ungu gelap bergelombang panjang. Matanya berwarna hitam tajam, tapi wajahnya nampak ramah.

Tetua Bram menghela napas, dia tersenyum tipis. Wajah tegasnya seketika menghilang beberapa saat ketika dia mengelus-elus lembut kepala Amdara yang memiliki rambut putih. Mata Tetua Bram menampakan kesedihan.

"Kau akan mengetahui kebenarannya ketika waktunya tiba. Amdara, bukan tanpa alasan aku memintamu melakukan misi jauh."

Tetua Bram menjentikkan jari, ketika itu juga sebuah peta muncul membentang di depan mereka. Tetua Bram menjelaskan bahwa dia mempercayakan misi ini pada Amdara sebab bocah ini tidak tertarik pada kekuatan besar. Bisa dikatakan, Amdara murid langka di Organisasi Elang Putih.

Organisasi Elang Putih merupakan organisasi dari aliran putih yang memiliki tugas menjaga Negeri Elang Bulan terlebih desa Elang Bulan dan juga memiliki misi melenyapkan Roh-roh Hitam. Sementara pelenyapan iblis sendiri dilakukan oleh para senior yang telah menempati Tingkat Atas Tahap Tanpa Tanding.

Sementara Amdara baru memasuki Tingkat Ketiga Paruh Merah yang mana hanya bisa melenyapkan Roh Hitam yang lemah. Namun, di kota yang akan Amdara dan Inay masuki memiliki kekuatan alam yang alami dibanding dengan desa Elang Bulan. Sebenarnya Tetua Bram memiliki niat lain, dia mengetahui bahwa kedua orangtua Amdara ada di kota itu.

"Amdara, kau bukan orang yang tertarik pada kekuatan alam. Jadi kupastikan kau akan aman di sana."

Di Negeri Nirwana Bumi, kota Awan Langit memang memiliki kekuatan alam yang alami lebih besar daripada kota lain jadi tidak heran jika orang asli kota Awan Langit sangat kuat. Namun berbeda dengan pendatang, jika mereka memaksa menyerap kekuatan alam, maka tubuh mereka akan meledak dengan cepat. Bisa dikatakan hanya orang pribumi yang dapat menyerap kekuatan alam. Terkecuali orang yang memiliki hati bersih yang dapat menyerap kekuatan alam, mereka dapat sesuka hati menyerapnya dan orang itu disebut jenius.

Mendengarnya, membuat mata Inay berkedut. Bagaimana Tetua Bram begitu percaya pada Amdara termasuk dirinya memasuki kota mengerikan itu?!

"Tetua, bagaimana kau bisa percaya pada kami? Hati manusia dapat berubah. Keserakahan bisa saja muncul pada kami!"

Inay tentu berpikir demikian. Dia bukanlah orang naif, jadi wajar jika dirinya berkata demikian.

"Hmph. Kota itu mungkin akan membantumu menjadi manusia baik. Sementara Amdara, aku yakin dia bukan manusia seperti itu."

Inay tersentak, dia menoleh ke arah Amdara yang hanya diam. "Tetua, bagaimana jika aku menjadi manusia serakah kekuatan di sana? Dan Amdara sendiri tidak bisa mengingatkanku?"

"Itu masalahmu bukan masalahku. Jika kau lenyap, itu takdir baik."

Dengan mudahnya Tetua Bram berkata, jelas membuat Inay melongo. Tidak menyangka jika Tetua Bram berkata demikian. Inay berpikir bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak berarti, itu ... sungguh menyesakkan!

"Te-tetua, kau tega sekali."

Tetua Bram menggeleng melihat raut wajah murid satu ini. Pandangannya teralih pada peta di depan mereka. Sedari tadi Amdara memang diam sambil mengamati peta. Dia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Kapan kami bisa pergi?"

Amdara bersuara, dia menatap Tetua Bram yang ternyata tersenyum ke arahnya. "Aku memang tidak salah memilihmu."

Inay yang mendengarnya menggelembungkan pipi, jika Amdara menjadi pilihan Tetua, lalu mengapa dirinya juga diseret mengikuti misi ini?!

Tetua Bram kemudian menjelaskan letak di mana ada banyak roh-roh tersembunyi yang kemungkinan belum dilenyapkan oleh orang-orang kota itu sendiri. Untuk tempat tinggal Amdara dan Inay, Tetua Bram memberikan sekantong emas. Tetua dari Organisasi Elang Putih ini juga menyarankan agar mereka masuk ke sekolah akademi di sana, dengan begitu mereka akan mendapatkan misi yang bisa ditukar dengan kepingan emas.

Tidak lupa Tetua Bram menjelaskan beberapa tempat berbahaya dan menandainya dengan lingkaran merah. Ada tempat di mana roh-roh bersemayam.

Amdara memerhatikan dengan seksama. Sementara Inay beberapa kali bertanya mengapa ada banyak tempat terlarang dengan wilayah luas. Tetua Bram menjelaskan dengan detail agar Inay tidak bertanya terus.

"Di sinilah kalian akan masuk sekolah akademi magic. Jika kalian ditanya asal kalian, jawab dengan jujur. Terutama pertanyaan kalian memasuki sekolah itu."

Tentu yang dimaksud adalah Amdara yang ingin mencari orangtuanya. Dua bocah itu dilarang menjawab bertujuan melenyapkan roh.

"Haih, kau bilang harus berkata jujur!"

Inay mengepalkan kedua tangannya sambil menatap tajam sang ketua. Inay memang tidak pernah memiliki rasa takut pada siapapun, jadi wajar jika dia bersikap demikian.

Sebuah sentilan keras mendarat di dahi Inay. Jelas bocah itu merintih kesakitan sambil mengusap-usap dahi.

"Bocah Nakal, ada beberapa yang harus bohong--"

"Kami siap pergi sekarang, Tetua."

Perkataan Amdara membuat Tetua Bram tidak melanjutkan perkataannya. Dia menggulung peta dan memberikannya pada Amdara.

"T-tunggu dulu! Aku belum bersiap-siap."

Inay melotot ketika mendengar Amdara. Inay bahkan belum menyiapkan barang-barang. Sebenarnya Inay tidak ingin pergi, Amdara mungkin tidak mempersalahkannya. Namun, jangan salah bahwa hati Inay sangat lembut, mana mungkin dia membiarkan temannya pergi sendiri? Dan lagi, Tetua Bram juga mempercayainya, mungkin?

Tetua Bram memberikan waktu lima belas menit untuk mereka bersiap-siap. Dirinya meminta Amdara mengganti nama, tentu hal ini membuat Amdara bingung. Namun, Tetua Bram sama sekali tidak ingin menjelaskan. Alhasil Amdara mengubah namanya menjadi Luffy.

*

*

*

Sebuah air pelangi muncul membentuk persegi panjang ketika seseorang melakukan gerakan-gerakan tangan. Orang itu menutup mata, memfokuskan kekuatannya pada satu titik. Beberapa keringat muncul di dahi, dirinya mulai membuka mata.

"Kalian masuklah. Jaga diri baik-baik."

Orang yang baru saja membuat portal tidak lain adalah Tetua dari Organisasi Elang Putih. Dia menatap kedua muridnya.

"Hah, semoga di sana aku bertemu laki-laki tampan agar kelak dijadikan suami."

Seorang bocah berambut ungu kehitaman dengan pakaian sederhana mengibas rambut panjangnya. Dia tersenyum, tetapi seketika memudar ketika Tetua Bram melototkan mata.

Bocah berambut ungu kehitaman itu tidak lain dan tidak bukan adalah Inay. Dirinya segera memasuki portal setelah memberi hormat pada Tetua Bram.

"Tetua, kuharap orangtuaku memang ada di sana."

Amdara tersenyum, kemudian memberi hormat. Tetua Bram mengangguk dan tersenyum. 'Kuharap kau tidak kecewa dengan mereka.'

Portal air mulai menghilang perlahan. Perlahan Tetua Bram mengepalkan kedua tangan, dadanya berdetak lebih keras. Matanya berubah dingin seiring tubuhnya yang mulai menghilang. Tiba-tiba saja Tetua Bram merasa kepalanya yang sangat sakit, dia kehabisan kekuatan hanya untuk membuat portal tanpa diketahui oleh pelindung mana pun.

"Demi anak itu."

Tetua Bram merasa matanya mulai memburam, dan perlahan kehilangan kesadaran.

Di sisi lain, Inay baru saja menginjakkan kaki di tanah disusul Amdara, tetapi tiba-tiba saja tanah retak lebar. Membuat dua bocah perempuan itu segera menghindar.

BAAM!

Debaman keras terdengar. Suara gemuruh di langit membuat Amdara dan Inay terkejut bukan main. Keduanya baru saja menginjakkan kaki di kota, tetapi malah disambut oleh sebuah pertarungan.

"Dara, menghindar!"

Inay terlambat menarik Amdara. Sesuatu menabrak Amdara dengan keras hingga bocah itu terpental sejauh lima belas meter.

Blaar!

*

*

*

Di sebelah barat di kota Awan Langit tepat di hutan, dua orang memakai seragam putih biru dengan corak awan tengah bertukar serangan kuat. Salah satu dari dua laki-laki itu terpental lima meter dan memuncratkan darah segar dari mulut. Dia meludah, detik berikutnya terbang dengan kecepatan tinggi lalu tangannya memunculkan api besar yang langsung melesat ke arah lawan.

BAAM!

Laki-laki berumur 14 tahun dengan rambut hitam yang diikat pita putih memejamkan matanya yang meneduhkan, dan kemudian membuat dinding pelindung menggunakan kekuatannya. Alhasil suara debaman keras terdengar.

Api yang dibuat oleh Bena meledak bersamaan dirinya terkena pantulan kekuatan sendiri. Dia kembali terpental, kali ini darah keluar dari hidung dan mulut.

"Akh, s*alan! Cakra memiliki kekuatan lumayan juga."

Bena mengusap darah dari hidung, matanya menatap tajam ke arah kepulan asap di mana lawan yang masih tetap berekspresi tenang melayang di udara. Bahkan di saat Cakrabuana telah menggunakan hampir seluruh kekuatan dan mendapat luka dalam, ekspresinya masih tetap sama, tenang dan datar. Seakan semua serangan bukanlah sesuatu yang buruk.

"Cih. Aku ingin lihat bagaimana ekspresi wajahnya saat mendapat serangan terakhirku."

Bena menyeringai, detik berikutnya mengucapkan kalimat-kalimat mantra yang dia pelajari selama ini. Angin tiba-tiba saja berubah arah, jelas hal ini membuat perasaan Cakrabuana mulai buruk. Bocah laki-laki itu menutup mata, kemudian bersiap dengan segala hal buruk yang akan terjadi.

Sepasang sayap besar berselimut api muncul di punggung Bena. Udara menjadi panas, bahkan angin juga terasa panas.

Cakrabuana memutar-mutar tubuh, seperti tengah melakukan sebuah jurus. Seragamnya nampak dimainkan angin, dia akan menggunakan jurus terbaiknya.

"Matilah kau, Cakrabuana! Phoenix Api Keabadian ...!"

Bena melesat cepat ke arah Cakrabuana dengan api yang menyelimuti nya, detik berikutnya Bena melesatkan api bola besar ke arah Cakrabuana.

Cakrabuana menyerang menggunakan jurusnya, alhasil pertarungan sengit itu meledak dengan dahsyat. Walaupun dalam keadaan siang hari, tetapi sinar matahari sekarang dapat masuk karena sudah banyak pohon tumbang ulah keduanya.

BAAM!

Blaar!

Ledakan antara jurus Bena dan Cakrabuana menghasilkan angin kejut, dan asap besar. Bahkan karena jurus keduanya membuat percikan kembang api di atas.

Bena terpental sejauh lima belas meter akibat ledakan besar jurusnya dan lawan. Begitu pula dengan Cakrabuana yang terpental dengan darah yang keluar dari hidung, telinga, dan mulut.

Blaar!

Amdara yang baru saja menghindari serangan nyasar langsung tertabrak sesuatu. Amdara kemudian menggunakan segel pelindung dari ledakan besar.

Asap hitam masih mengepul di udara menghalangi pandangan siapa saja yang berada di tempat pertarungan.

"Kau tidak apa-apa?"

Amdara menahan punggung seseorang di depannya yang cukup besar. Dia berhasil membuat segel pelindung yang membuat dampak serangan tidak terlalu parah mengenainya dan orang di depannya ini.

Cakrabuana merasa dia akan mendapat serangan mematikan, tetapi dia malah tidak terkena serangan karena ada yang membuat segel pelindung.

"Mn, terima kasih."

Cakrabuana memberi hormat pada orang yang membuat pelindung. Dia memandang orang di depannya yang memiliki rambut putih panjang yang diikat dengan ikat rambut biru dan berpakaian seperti anak laki-laki. Tentu Cakrabuana menganggap orang di depannya adalah laki-laki yang usianya lebih muda dari dia.

Amdara mengangguk sebagai respon. Dia memang selalu memakai pakaian seperti laki-laki sebab menurutnya lebih nyaman untuk bertarung. Walaupun berkali-kali diingatkan Inay karena penampilan perempuan itu tidak boleh seperti laki-laki. Namun, tetap saja Amdara tidak mendengarkan. Sampai membuat Inay dan saudara seperguruan yang lain merasa heran.

"Kau terluka."

Amdara melihat ada darah keluar dari mulut orang di depannya. Perkiraan Amdara orang di depannya berusia kurang lebih 14 tahun. Orang yang dimaksud Amdara adalah Cakrabuana yang menubruknya.

"Bukan masalah besar, Tuan."

"Dara ...!"

Amdara menoleh ke sumber suara, melihat Inay baru saja mendarat dan langsung mengguncang-guncang bahu dengan raut wajah khawatir. Amdara tersentak sebelum menggaruk pipi yang tidak gatal. Menurutnya Inay terlalu berlebihan. Walaupun Inay lebih tua satu tahun, tetapi bukan berarti kekuatan Amdara bisa dipandang remeh.

"Di mana yang terluka? Apa lukanya parah? Sini, biar kuobati."

Amdara menggeleng. "Aku baik-baik saja. Kak Inay tidak perlu khawatir."

"Aku tidak yakin, kau ditabrak sesuatu---"

Inay tersentak ketika melihat wajah tampan seseorang dengan rambut terikat. Apalagi wajah laki-laki itu membuat Inay merasakan ketenangan serta ketegangan.

'Laki-laki itu seperti memiliki aura pahlawan.' Inay menggigit jarinya hingga berdarah tanpa sadar. Wajah putihnya memerah seketika.

Amdara yang melihat wajah Inay menggelengkan kepala. Dia kemudian menepuk bahu Inay untuk menyadarkan, tetapi respon Inay malah membuat Amdara tersentak.

"Pangeran Tampan, aku adalah putri dari khayangan. Bawa aku ke istanamu untuk menjadi istri!"

Inay tersenyum sangat manis, bahkan dia mengedipkan sebelah mata pada Cakrabuana. Sementara Cakrabuana tersentak mendengar penuturan bocah perempuan di depannya.

"Memalukan."

Amdara mengembuskan napas, dia kemudian menarik tangan Inay dengan paksa sambil melangkah pergi meninggalkan Cakrabuana. Inay memberontak, dia berteriak agar Amdara tidak menarik tangannya.

Cakrabuana yang melihat hal itu menaikkan sebelah alisnya. Baru saja dia akan berteriak untuk mengetahui nama orang yang telah membantu, tetapi tiba-tiba saja sebuah lubang hitam muncul di depan dua orang itu yang langsung membuat kedua orang tersebut menghilang.

"Portal?"

Di Negeri Nirwana Bumi, sangat jarang ada orang yang bisa melakukan pembuatan portal waktu. Jika ada orang yang dapat membuatnya maka disebut sebagai jenius berbakat. Cakrabuana baru saja melihat secara langsung ada portal. Jika bukan orang yang telah menolongnya, maka bocah perempuan itu yang membuatnya.

Sementara setelah Amdara dan Inay memasuki portal, Inay langsung membentak keras Amdara.

"Dara, apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan tanganku!"

Inay mulai merasa pergelangan tangannya terasa sakit. Apalagi Amdara menggunakan kekuatan untuk menarik dia. Hampir saja Inay menggigit tangan Amdara jika dia tidak melepaskan tangan. Amdara benar-benar keterlaluan memperlakukan Inay seperti ini! Padahal Inay lebih tua dari Amdara.

"Apa kau ingin menyakitiku, hah?! Dasar."

Inay menghentakkan kaki sambil melotot ke arah Amdara yang menatapnya datar seperti tidak bersalah sama sekali. Wajah datar Amdara membuat Inay bertambah kesal saja.

"Sebaiknya kita cepat cari penginapan."

Inay membuka mulut, saat adik seperguruannya sama sekali tidak merasa menyesal bahkan meminta maaf. Hal ini jelas membuat Inay naik pitam. Dia mengeluarkan kekuatan untuk rambut ungu hitamnya melilit tubuh Amdara. Sayang sekali Amdara melompat gesit sebelum rambut Inay mengenainya.

Tidak ingin Amdara melarikan diri sebelum meminta maaf, Inay kembali menyerang dengan rambutnya ke arah Amdara.

"S*alan, kau! Cepat kemari dan katakan maaf padaku ...!"

Inay melayang sambil menatap tajam Amdara yang masih berusaha menghindar dan beberapa kali menangkis rambut Inay.

Traang!

Bahkan suara rambut Inay yang berbenturan dengan kekuatan Amdara berbunyi seperti layaknya pedang. Kedua orang itu entah terlalu fokus atau memang kurang peka dengan keadaan sekitar hingga tidak menyadari ada orang yang melihat mereka.

BAAM!

Rambut Inay menabrak pohon hingga menjadi abu dalam sekali serangan. Bahkan angin yang dihasilkan membuat sekeliling penuh dengan debu berterbangan.

"Kak Inay, hentikan!"

Amdara melakukan gerakan tangan yang membuat angin sekitar semakin tidak terkendali. Terlebih lagi Amdara malah menggunakan abu dari pepohonan untuk menghalangi pandangan Inay. Bahkan mereka tidak mempedulikan kondisi sekitar yang jika diperhatikan lebih jelas, akan ada gedung-gedung tinggi yang tidak jauh dari tempat mereka bertarung. Sudah banyak pohon yang hangus karena pertarungan mereka, bahkan tanah sampai retak luas.

"Kau ingin aku berhenti? Ck, cepat kemari dan minta maaf!"

Inay menghalangi angin yang semakin kencang dengan rambut panjangnya membentuk tembok besar mengelilingi dirinya. Seketika angin itu seperti terlilit oleh rambut Inay. Kekuatan Inay memang sedikit istimewa, dia dapat mengendalikan rambut sendiri untuk melilit sesuatu bahkan angin, awan, dan api sekalipun.

Di Negeri Elang Bulan, Inay adalah satu-satunya manusia yang dapat melakukan hal seperti itu. Bahkan karena kekuatan istimewa ini, Inay cukup diwaspadai oleh musuh walaupun tingkat kekuatan Inay masih rendah.

Amdara menghentikan pergerakan angin dengan melepaskannya ke luar, dia menghembuskan napas sebelum melayang tenang ke arah Inay. Bagaimana pun Inay lebih tua darinya, jadi tidak ada alasan lain bagi Amdara untuk meminta maaf karena telah bersikap lancang.

Inay mengubah rambutnya kembali seperti semula, dia mendengus kesal melihat Amdara melayang santai ke arahnya.

Tanpa basa-basi, Inay langsung menarik telinga Amdara dan memelintir saking kesalnya. Dia bahkan mengomeli Amdara yang telah berani membuat dia emosi.

"Lepaskan."

Amdara dapat merasakan perih di telinga, walaupun dia berkata demikian tetapi Amdara sama sekali tidak berniat melarikan diri.

Inay menggelembungkan pipi. "Katakan maaf dulu!"

"Baiklah, maaf."

Inay melepaskan tarikan tangan dari telinga Amdara. Namun, Inay merasa masih belum puas. Jadi dia terus mengomeli adik seperguruannya dan tidak henti-hentinya memberi nasehat.

Amdara bukannya merasa baikkan setelah telinganya dilepas malah semakin merasa sakit mendengar omelan Inay. Bahkan telinga Amdara hampir mati rasa karena suara Inay yang lumayan cempreng.

Tanpa mereka sadari, sejak pertarungan singkat terjadi, ada banyak orang yang melihat pertarungan tersebut. Bahkan ada dari orang-orang yang melihat merasa kagum. Namun, ada juga yang merasa kesal.

2 - Masalah Besar

Negeri Nirwana Bumi terletak di tengah-tengah Negeri Elang Bulan dan Negeri Rubah Merah. Setiap Negeri memiliki segel pelindung sendiri untuk keamanan dan memiliki ciri khas masing-masing. Bukan hanya itu, bahkan di masing-masing Negara memiliki organisasi Aliran Putih dan Hitam. Namun, kebanyakan organisasi hitam berada di Negeri Rubah Merah. Tidak heran jika Negeri Rubah Merah mendapat julukan Negeri Manusia Darah Merah. Sementara kedua Negeri lainnya kebanyakan dari Aliran Putih. Ketiga Negeri tidak jarang berselisih dan melakukan perang, tetapi akhir-akhir ini mereka cukup tenang, tidak ada perang. Bukan tanpa alasan mereka tidak melakukannya, sebab ada suatu peristiwa di mana ketiga Negeri harus bekerja sama untuk melenyapkan makhluk dari dunia lain.

Negeri Nirwana Bumi, Negeri yang terkenal dengan kekuatan alam murni. Jika dibandingkan kekuatan menyerap kekuatan dari alam, maka orang-orang Negeri Nirwana Bumi lah yang dengan mudah melakukan. Jadi orang-orang dari Negeri tersebut cukup diwaspadai.

Untuk mendidik para pemuda, setiap negeri memiliki tempat belajar kekuatan. Termasuk di kota Awan Langit di Negeri Nirwana Bumi, ada satu sekolah paling besar di antara sekolah kota lainnya. Bukan hanya sekolahnya yang besar, tetapi para murid-muridnya juga berbakat.

Para Tetua dan Guru Sekolah Akademik Magic Awan Langit sangat telaten mendidik para murid. Walaupun begitu, tetap saja masih ada murid yang memberontak dan nakal.

Di gedung paling tinggi sekolah Akademi Magic Awan Langit, seorang murid berseragam khas sekolah tersebut

baru saja mendarat dengan napas tersenggal-senggal di depan ruangan para guru. Murid laki-laki itu ditanya oleh Murid Penjaga.

"Hei, kau kenapa?"

Murid dengan napas ngos-ngosan itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan sebelum mengatakan masalahnya.

"S-senior, di lapangan latihan ada dua orang yang bertarung."

Murid Penjaga menaikkan sebelah alisnya. Tempat lapangan latihan memang diperuntukkan untuk melakukan latihan pertarungan. Lalu mengapa juniornya ini malah melaporkan hal biasa?

Melihat raut wajah seniornya, murid itu mengatakan bahwa yang bertarung bukanlah salah satu murid dari sekolah Akademi Magic Awan Langit. Mendengarnya membuat murid penjaga tersentak. Bagaimana bisa ada orang yang tidak tahu malu nya bertarung di sekolah ini?!

"Kau pergilah, aku akan mengatakan hal ini pada guru."

Murid yang mengantarkan informasi langsung memberi hormat, kemudian pergi keluar untuk kembali melihat pertarungan dua orang asing.

BAAM!

Suara debaman keras terdengar, bahkan sampai membuat tanah retak besar. Satu perempuan berumur sekitar 14 tahun yang menggunakan rambutnya baru saja menghantam tanah dengan tatapan yang kesal karena lawan terus menghindar.

Para murid sekolah Magic Awan Langit tidak bisa melakukan apa pun karena mereka merasa tidak mampu mengimbangi kekuatan kedua orang asing itu. Para senior di sini tengah melakukan misi, sementara yang sekarang melihat pertarungan sengit itu hanyalah junior yang baru memasuki Tingkat Dasar. Mereka melihat dari jarak cukup jauh, walaupun begitu efek serangan masih mengenai mereka.

"Hei, apa kau sudah melaporkan ini pada guru?!"

Murid perempuan yang melihat murid melaporkan hal ini baru saja sampai. Dia mengangguk sebagai jawaban. Tatapannya tertuju pada angin yang semula kecil malah semakin membesar, apalagi dengan abu dari pepohonan turut menjadi penghalang pandangan mereka.

"Menghindar ...!"

Angin beserta abu dari pepohonan semakin membesar, berdampak pada pepohonan yang tertancap kuat di tanah malah turut terbang terbawa angin yang seperti mengelilingi bocah perempuan yang sekarang tengah melindungi diri dengan rambut panjang mengelilingi dirinya bagai tembok penghalang angin.

Blaar!

Angin tersebut tiba-tiba saja menyebar ke segala arah, membuat para murid yang tidak kuat membuat segel pelindung langsung terpental sejauh lima belas meter. Bahkan salah satu gedung bergetar hebat membuat penghuninya tersentak dan segera keluar mecari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tetua Haki, dan Guru Kawi yang baru saja melihat kekuatan besar tersebut terkejut bukan main. Mereka segera membuat segel pelindung ketika angin dahsyat hampir mengenai mereka. Abu dari pepohonan yang berterbangan membuat sekeliling tidak terlihat dengan jelas.

Tetua Haki dapat merasakan kekuatan dahsyat ini. Dia penasaran dengan orang yang menggunakan angin sebagai jurus hebat. Mungkinkah ada murid berbakat yang tersembunyi di antara murid berbakat lainnya?

"Siapakah gerangan yang membuat pandangan kabur~?

Langit tak mungkin membuat angin abu~

Dahsyat sekali~

Sampai membuat hati merasa tersentuh~"

Perkataan Guru Kawi yang menggunakan nada barusan membuat Tetua Haki mengedutkan bibir atas. Entah ini sebuah keahlian Guru Kawi atau memang dia suka menadakan kalimat yang kadang sama sekali tidak dimengerti.

Lingkungan sekitar nampak berantakan. Banyak pepohonan hangus, keretakkan luas pada tanah, di tambah lagi satu gedung retak, tetapi untunglah tidak sampai fatal.

Keadaan sekitar mulai normal, tetapi suara omelan bocah perempuan membuat orang-orang yang melihatnya tersentak melihat seorang gadis kecil yang menarik telinga bocah laki-laki. Bukankah mereka musuh?! Melakukan pertarungan sengit barusan, dan hampir melenyapkan satu sama lain. Lalu mengapa dua orang itu malah seperti saling kenal dan akrab?!

Guru Kawi seketika menutup mulut dengan kipas bulu yang dipegang, dia nampak mengedip-edipkan mata hampir tidak percaya. Sementara Tetua Haki menggelengkan kepala pelan melihat dua orang itu yang tidak jauh darinya.

Bukan hanya Tetua Haki dan Guru Kawi, bahkan murid-murid yang melihatnya juga nampak tidak percaya.

"Mereka bukannya musuh?!"

"Yah, padahal kekuatan Kakak Tampan itu sangat hebat."

"Huh, menyebalkan sekali. Siapa mereka berani membuat lapangan kita jadi hancur?!"

Beberapa murid mulai angkat bicara. Tetua Haki bersama Guru Kawi melayang mendekati dua orang yang baru saja bertarung.

Setelah dekat dengan dua bocah yang berumur kisaran 13 tahun, Tetua Haki berdehem agar kedua bocah ini menyadari keberadaannya.

"Kepekaan mereka sangat buruk."

Baru setelah Tetua Haki berdehem, bocah perempuan berambut ungu kehitaman dengan wajah polosnya menatap dengan kebingungan. Apalagi melihat penampilan pria yang berumur sekitar 40an, yang memegang kipas bulu. Berambut ungu tua pendek yang dipangkas sedemikian rupa. Bukan hanya itu, bahkan pria ini memiliki bulu mata panjang dan lentik. Inay sampai menahan napas sejenak melihat penampilan orang ini.

Sementara bocah yang terlihat seperti laki-laki dengan rambut putih diikat nampak terkejut karena dia tidak menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya.

Kedua bocah ini tidak lain dan tidak bukan adalah Inay dan Amdara yang baru saja merusak lapangan latihan Akademi Magic Awan Langit.

Amdara langsung memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, merasa dua pria ini jauh lebih kuat dan yang jelas lebih dewasa.

"Siapa kalian?"

Pertanyaan pertama muncul dari Guru Kawi. Melihat pakaian dua orang di depannya, dia merasa mereka bukan dari Negeri Nirwana Bumi. Ada kemungkinan dua orang ini dari negeri lain. Namun, jika dipikirkan lagi bagaimana bisa dua bocah ini mudah melewati pembatas Negeri Nirwana Bumi? Dan ditambah lagi kota Awan Langit juga memiliki segel. Apa mungkin ada model pakaian baru yang meniru dari negeri lain?

Inay menoleh ke arah Amdara, meminta adik seperguruan yang menjawab. Namun, Amdara malah menoleh ke arahnya dan menaikkan sebelah alis melihat raut wajah Inay. Jelas sekali Amdara tidak mengerti arti tatapan Inay, membuat Inay ingin sekali menarik telinga Amdara.

"Guru Kawi, sebaiknya kita bicarakan masalah ini di ruang Tetua."

Tetua Haki dapat merasakan aura misterius pada tubuh bocah laki-laki di hadapannya walaupun auranya tipis. Sebagai Tetua yang dijuluki Tetua Spiritual, tentu bukan hal aneh ketika dia dapat merasakan kekuatan misterius. Tentu dia tidak ingin gegabah dalam menyimpulkan sesuatu, jadi lebih baik dibicarakan di ruang tertutup.

Guru Kawi mengangguk setuju.

"Mn? Sejak kapan mereka berada di sini?"

Inay mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ternyata cukup kacau, dan lagi ada banyak orang berpakaian sama dengan berbagai usia.

Amdara juga sama halnya, mereka seperti memandang ke arahnya dengan tatapan tidak suka. Amdara juga baru menyadari bahwa pertarungan barusan membuat kacau sekitar. Perasaan Amdara mengatakan, dia dan Inay akan segera mendapat masalah besar.

"Nak, mari ikut kami."

Inay dan Amdara tersentak mendengar pria yang menggunakan jubah putih dengan corak awan, dan di bahu jubahnya memiliki bulu putih yang sangat halus.

Inay mengeluarkan suara 'pfft' sambil melirik Amdara yang hanya bisa mengembuskan napas. Melihat tingkah kedua bocah ini, membuat Guru Kawi menaikkan sebelah alisnya.

"Hujan akan terganti dengan angin

Sementara bumantara cerah ini akan lunglai

Jika melihat dua makhluk berbaswara ini

Memandang sekitar penuh buntara~"

Inay tersedak napasnya sendiri mendengar ucapan aneh pria yang dia kagumi barusan. Rasanya perut Inay seperti tergelitik sesuatu. Hampir saja Inay tertawa jika dia tidak melihat raut wajah pria yang memiliki bulu di jubahnya itu yang menatap dingin seperti ingin menelannya hidup-hidup.

Amdara menaikkan sebelah alisnya. Dia berpikir pria ini memiliki ciri khas sendiri, jadi ada kemungkinan jika Amdara berkata normal, maka pria ini tidak akan mengerti. Alhasil Amdara melakukan hal yang sama.

"Baskara nampak memunculkan diri

Membuat buana yang bercahaya

Andai kau bisa mengucapkan ucapan biasa

Tak mungkin bibir mungil ini melakukan hal yang sama."

Inay kembali tersentak, dia melihat Amdara yang berucap seperti pria itu. Kali ini Inay tidak bisa menahan tawanya, bahkan dia menepuk-nepuk bahu Amdara dengan keras.

"Pffttt, hahaha. Kau bisa berbicara seperti ini? Kupikir kau manusia batu. Haha ...!"

Bukan hanya Inay yang tersentak, bahkan Tetua Haki hampir tersedak napasnya sendiri. Tetua Haki tidak menyangka ada orang yang bisa membalas ucapan aneh Guru Kawi. Sementara Guru Kawi sendiri tersenyum bangga, selama ini dia tidak melakukan kesalahan dengan menadakan kalimat. Benar-benar belahan jiwa Guru Kawi yang selama ini pergi!

"Haha, kau bisa berbicara sepertiku ternyata. Tapi kalimatmu masih kurang."

Amdara terkejut, ternyata pria itu bisa berbicara normal. Hah, jika Amdara tahu sebelumnya dia tidak akan berbicara memalukan seperti barusan! Ya ampun, rasanya Amdara ingin segera pergi mencari lubang untuk bersembunyi.

"Nak, sebaiknya ikut kami ke ruang Tetua."

Tetua Haki berucap sopan, membuat Amdara dan Inay kembali berpandangan.

"Maaf, Tuan. Karena kami telah membuat kekacauan di tempat kalian."

Amdara membungkukkan tubuh yang langsung diikuti Inay yang diam seketika. Perasaan Inay mengatakan akan ada masalah jika mereka ikut dengan dua pria ini.

"Kami sungguh tidak bermaksud membuat kekacauan. Tolong maafkan kami." Inay menambah perkataan Amdara.

Tetua Haki mengangguk. "Tapi mau bagaimana pun, kalian harus bertanggung jawab atas kerusakan lapangan latihan ini."

Amdara dan Inay tentu mengerti. Tidak akan mudah keluar dari tempat ini, jika mereka memutuskan melarikan diri, maka bukan tidak mungkin dua pria di depan mereka akan langsung melenyapkan Amdara dan Inay dengan mudah.

"Maaf, Tuan. Tapi kami tidak memiliki banyak emas untuk mengganti kerusakan. Kami juga sudah meminta maaf, bisakah kalian membiarkan kami pergi?"

Inay menyodorkan sekantung emas pada Tetua Haki, tetapi malah mendapatkan tatapan dingin yang menusuk.

Amdara mengangguk menyetujui perkataan Inay, tetapi bukannya dua pria ini senang mendapat emas malah menatap dingin. Aiya, rasa-rasanya Amdara akan ditelah hidup-hidup oleh orang ini.

Guru Kawi hampir saja tertawa mendengar dua bocah polos ini berbicara. Benar-benar bocah yang menarik.

"Dengar, Nak. Memangnya sekantong emas itu akan cukup memperbaiki kerusakan ini? Kami tidak akan mengambil emas kalian."

Tetua Haki menghela napas sebelum kembali berbicara. Dia harus mengatakan kalimat-kalimat yang jelas agar dapat dipahami oleh dua bocah ini.

"Sekolah ini memiliki segel pelindung, jika ada orang yang bukan bagian dari murid sekolah bisa masuk tanpa diketahui oleh para Tetua, maka hal ini harus dipertanyakan."

Guru Kawi mengangguk-angguk. Di Akademi Magic Awan Langit memang memiliki segel pelindung khusus. Jika ada orang yang bukan dari bagian murid dan Tetua sekolah, maka dapat dideksi dengan cepat. Segel pelindung ini jelas digunakan sebagai keamanan sekolah dari bahaya besar yang kemungkinan akan terjadi. Jika ada orang yang bisa masuk ke wilayah Akademi Magic Awan Langit tanpa diketahui siapapun, maka ada kemungkinan orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar atau yang paling memiliki kemungkinan lainnya adalah orang tersebut dapat membuat portal dengan kekuatan besar.

Guru Kawi juga mengatakan bahwa dua bocah ini mau tidak mau harus ikut bersama mereka ke ruang Tetua.

Amdara dan Inay akhirnya menyerah. Mereka mengikuti dua pria itu berjalan menuju ruang yang disebut, sebab memang tidak ada pilihan lain.

"Dara, apa menurutmu kita akan dihukum?"

Inay berbisik pada Amdara. Mereka berjalan di belakang. Sedangkan para murid akademi masih memerhatikan mereka dari kejauhan, tidak berani mendekat karena ada Tetua Haki dan Guru Kawi.

"Mungkin."

Amdara menjawab seadanya. Dia baru saja menyadari bahwa portal yang dibuatnya asal malah sampai di Akademi Magic di negeri yang amat asing bagi mereka.

Seseorang bisa membuat portal sesuka hati, tetapi masih tergantung kekuatan dan keterampilan membuatnya. Biasanya portal dibuat dengan membayangkan tempat yang akan dituju dengan kefokusan tinggi. Jika ada orang yang dapat membuat portal tanpa membayangkan tempatnya, maka orang tersebut bisa disebut jenius.

"Hah, ini semua salahmu! Jika kau tidak menggunakan kekuatan itu, kita tidak akan terjebak di tempat ini."

Inay menggelembungkan pipi, dia sangat kesal pada Amdara. Haih, andai saja Amdara tidak mengeluarkan portalnya, maka Inay sudah berkenalan dengan anak laki-laki tampan itu.

"Kita tidak terjebak."

Inay mengedutkan alis. Dia ingin sekali memakan hidup-hidup adik seperguruannya yang sama sekali tidak merasa bersalah.

"Aiya, kau membuatku kesal."

Sepanjang jalan, baik Tetua Haki maupun Guru Kawi masih diam dengan pikiran masing-masing. Mereka mulai berpikir bahwa dua bocah di belakang mereka adalah mata-mata dari sekolah lain. Namun, segel pelindung di sekolah inilah yang terkuat. Jadi bagaimana mungkin bisa ditembus begitu saja tanpa terdeteksi?!

Tetua Haki menoleh ke belakang, melihat dua bocah itu masih berbicara tanpa memedulikan sekitar.

"Kita akan sekolah di sini."

Amdara berucap dengan santai. Dia memang sudah memikirkan hal ini sejak mengetahui bahwa tempat ini merupakan Akademi Magic. Inay yang mendengar perkataan Amdara tersentak dan seketika menghentikan langkah.

"Hei, yang benar saja! Aku tidak mau. Kita akan mencari sekolah lain. Mau bagaimana pun, sepertinya kita tidak akan hidup lagi setelah mendapat hukuman dari dua pria itu, dan lagi kau lihat para murid itu? Mereka sangat disiplin. Aku tidak akan betah berada di lingkungan sekolah seperti ini!"

Amdara juga menghentikan langkah dan menatap Inay datar. Bukankah lingkungan seperti ini sangat bagus untuk pendidikan? Apalagi orang seperti Inay yang jarang menaati aturan!

"Kak Inay, kau ...."

*

*

*

Mau bagaimana pun juga, Amdara dan Inay harus mendapatkan sekolah. Walaupun Inay menolak mentah-mentah, tetapi Amdara berhasil membujuk dengan mengatakan bahwa akademi ini cukup bagus dan jika pun Inay kekeuh tidak mau, maka Amdara menyuruh Inay untuk pulang ke Negeri Elang Bulan sendiri tanpa bantuan darinya. Bukan hanya itu, bahkan Amdara mengancam akan melaporkan kelakuan Inay pada Tetua Bram agar mendapat hukuman pengasingan. Jelas Inay kalah telak dari ancaman Amdara yang kelewat kejam menurutnya.

Ruangan penuh dengan aura agung menyeruak. Dinding yang menjulang tinggi yang terbuat dari giok warna putih dan emas membuat ruangan ini sungguh membuat kagum. Di tambah sepuluh singgasana yang mengelilingi ruangan tersebut, dan juga ukiran bangau putih di tengah-tengah ruangan sangat mendominasi bahwa ruangan tersebut sangatlah agung.

Dua orang pria yang salah satunya mengipas-ipas wajah dengan kipas bulu tengah menatap ke arah depan di mana dua orang yang berdiri dengan wajah gugup sekaligus gelisah.

"Sebenarnya siapa kalian dan apa tujuan kalian kemari?"

Pertanyaan dingin itu keluar dari mulut orang yang bermata tajam dan memiliki bulu di jubah. Orang tersebut tidak lain adalah Tetua Haki. Sementara orang di samping tempat singgasana adalah Guru Kawi.

"Kami dari Negeri Elang Bulan."

Seorang bocah berambut putih membungkuk sebagai tanda sopan. Sementara teman satunya malah terlihat tidak suka dengan pertanyaan barusan.

"Tujuan? Tujuanku hanya menemani bocah ini mencari orangtuanya. Huh, jika aku bukan orang baik hati, mana mungkin aku mau pergi jauh dari rumah!"

Bocah perempuan dengan rambut keunguan itu melibaskan rambut dan melirik sinis ke arah temannya. Dia memang tidak memiliki tujuan lain selain ini.

"Kau tidak sedang membual 'kan?"

Guru Kawi bertanya yang diangguki yakin oleh bocah perempuan itu yang tidak bukan adalah Inay dan orang di sebelahnya berambut putih adalah Amdara.

"Untuk apa aku membual? Cih, jika kalian sudah mengetahui tujuan kami, maka biarkan kami pergi."

Inay sudah tidak tahan dengan atmosfer yang mulai terasa panas. Walaupun dia nampak tidak sopan, sejujurnya dia sangat gugup. Untuk menghilangkan kegugupannya itu dia bersikap demikian.

Tetua Haki menaikkan sebelah alisnya. Dia bahkan belum bertanya mengenai bagaimana bisa mereka masuk ke sekolah ini tanpa terdeteksi, tetapi malah bocah itu ingin segera pergi, yang benar saja!

Awalnya Tetua Haki dan Guru Kawi berniat memb*nuh mereka karena menganggap mereka sebuah ancaman tetapi melihat tingkah kedua bocah itu mengurungkan niat mereka.

"Kakek Baba mengatakan bahwa orangtuaku berada di Negeri ini."

Hampir saja Inay kehilangan napasnya ketika mendengar ucapan Amdara. Apa sungguh pendengaran Inay ini rusak? Atau memang Amdara yang mengatakan bahwa Tetua Bram adalah 'Kakek Baba'?! Ya ampun, rasanya Inay ingin tertawa dan mengatai Amdara sangat menggemaskan.

Sekilas Amdara melirik Inay yang terdengar bunyi 'pfft' walaupun samar. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin Amdara menggunakan kata 'Tetua' pada orang asing. Identitas mereka yang murid dari sebuah organisasi putih tidak boleh terungkap.

Tetua Haki dan Guru Kawi saling pandang. Sebenarnya mereka cukup tidak begitu yakin bahwa dua anak ini adalah murid dari salah satu sekolah jika dilihat dari kemampuan kekuatan mereka.

"Siapa namamu?"

Guru Kawi bertanya sambil menatap Amdara. Amdara nampak tersentak, dia ingat dengan perkataan Tetua Bram.

"Namaku ... Luffy"

Lagi-lagi Inay tersentak, dia menyipitkan mata sambil melirik Amdara. "Hei, sejak kapan kau mengganti nama?"

"Itu nama kecilku."

Amdara mendengus kesal. Dia mengepalkan tangan, Inay benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.

Tetua Haki dan Guru Kawi nampak saling memandang, mau bagaimana pun dua anak ini harus mendapat hukuman karena telah menerobos masuk akademi mereka. Ini akan menjadi masalah besar jika para Tetua lain mengetahui kejadian ini.

Perasaan Amdara mendadak tidak enak melihat raut wajah kedua pria di depan mereka. Ini memang bukan masalah sepele hingga mereka dapat keluar dengan keadaan baik.

3 Tetua Haki

Setiap sekolah Akademik Magic memiliki aturan yang berbeda. Tentu ada penyusup yang berhasil menerobos pelindung adalah hal yang mencemaskan. Jika orang yang dapat menembus pelindung ini, maka kemungkinan ada orang kuat di belakang. Bisa saja itu adalah musuh.

Sementara dua bocah yang masih berada di depan Tetua Haki dan Guru Kawi nampak seperti bocah polos. Setelah membaca informasi mengenai persetujuan Negeri Nirwana Bumi, maka tidak ada alasan lain mereka melenyapkan kedua bocah itu. Namun, tetap saja mereka akan mendapat hukuman karena telah merusak dinding pelindung sekolah, dan juga akan mendapat pengawasan langsung dari Tetua Haki.

Guru Kawi menanyakan apakah dua bocah itu datang sendiri atau bersama orang dewasa. Amdara dengan cepat mengatan datang bersama pamannya yang sekarang tengah mencari penginapan. Mendengar hal itu membuat Tetua Haki membuat keputusan, bahwa Amdara dan Inay harus tinggal di Asrama Sekolah Magic di sini untuk pengawasan dan mendapat hukuman yang sepadan.

Awalnya Inay menolak mentah-mentah, tetapi Amdara malah menyetujui keputusan Tetua Haki sebagai permintaan maaf karena telah merusak dinding pelindung dan lapangan pelatihan. Inay hanya bisa pasrah ketika adik seperguruannya menandatangani perjanjian tidak melarikan diri sebelum hukuman selesai. Tanpa meminta pendapatnya. Hukuman ini cukup ringan bagi seorang bocah menurut Tetua Haki dan Guru Kawi sendiri.

"Setelah ini, seseorang akan mengantarkan kalian ke asrama."

Tetua Haki berucap kembali dan mengatakan bahwa Amdara dan Inay boleh mengundurkan diri dari tempat. Tetua Haki juga memberikan surat yang akan mereka berikan pada penjaga ruang penerimaan murid baru.

"Mn. Maaf, aku belum mengetahui namamu, Tetua."

Amdara membungkuk, membuat Inay lagi dan lagi hanya bisa mengembuskan napas. Untuk apa mengetahui nama pria itu yang akan mengurung mereka?

"Aku Tetua Haki, dan ini adalah Guru Kawi."

Setelah mengetahui nama dari Tetua tersebut, Amdara memberi hormat dan segera pergi setelah ada murid yang menjemput untuk pergi ke asrama.

"Tetua Haki, apa ini tidak akan menjadi masalah Tetua yang lain? Kau bahkan tidak meminta persetujuan yang lainnya."

Guru Kawi berujar setelah Amdara dan Inay pergi. Yang dikatakan Guru Kawi memang ada benarnya, tetapi Tetua Haki telah memikirkan ini sebelumnya dan apa yang akan dirinya lakukan setelahnya.

"Ini akan kuurus. Guru Kawi, apa kau bisa menyelidiki latar belakang kedua bocah itu?"

Tetua Haki dapat merasakan aura aneh, untuk itu dia meminta bantuan Guru Kawi. Latar belakang mereka benar-benar harus diselidiki.

Guru Kawi mengembuskan napas. Dia mengipas wajahnya menggunakan kipas bulu sebelum akhirnya mengangguk.

*

*

*

Persiapan yang dilakukan oleh Tetua Bram benar-benar matang. Selain mendapatkan bekal emas, Tetua Bram telah menyiapkan surat izin memasuki negara. Bukan hanya itu, Tetua Bram juga telah mengirim seseorang menjadi paman Amdara untuk mengawasi pergerakan dua bocah itu.

Sebelum pergi ke asrama, mereka diajak ke ruangan penerimaan murid baru yang terletak di samping sekolah. Ruangan itu cukup tenang membuat pikiran jadi rileks.

Mendengar bahwa Amdara dan Inay akan menjadi murid di sekolah Magic ini, beberapa penjaga nampak tidak senang. Amdara memberikan kertas dari Tetua Haki, setelah menbacanya penjaga itu hanya bisa mengembuskan napas.

Awalnya penjaga tidak yakin Amdara dan Inay malah diizinkan Tetua sekolah di sini setelah membuat kekacauan. Namun, dia mendapat surat langsung dari Tetua Haki bahwa Amdara dan Inay akan menjadi murid sekolah Akademi Magic Awan Langit.

"Ini tanda pengenalmu."

Murid Penjaga itu berujar ketus. Dia memberikan lencana pada Amdara dan Inay. Tentu Amdara mengubah nama menjadi Luffy. Sementara Inay juga ikut-ikutan dan mengubah nama menjadi Nana, katanya Inay juga ingin memiliki nama kecil. Jelas sekali Inay tidak mengetahui bahwa Amdara mengubah namanya sesuai permintaan Tetua Bram.

Amdara dan Inay kemudian dibawa oleh murid bernama Kawa, dia murid berumur sama dengan Inay. Memiliki rambut pendek berwarna cokelat dan memiliki gigi gingsul yang manis dengan kulit sawo matang. Kawa membawa dua anak yang akan menjadi saudara seperguruannya ini ke asrama perempuan terlebih dahulu.

Ketiganya telah saling memperkenalkan diri. Kawa cukup baik menjelaskan beberapa hal mengenai sekolah Akademi Magic Awan Langit. Nampaknya Kawa tipe orang bisa diajak bicara baik-baik dan tidak memiliki rasa tidak suka terhadap keduanya walaupun mereka bisa dikatakan penyusup.

Mereka harus melewati pepohonan yang cukup tinggi yang berdaun warna biru dan putih. Ada rerumputan hijau tetapi tidak ada semak belukar, seakan telah dirapihkan sedemikian rupa. Nampak sangat indah, bahkan Inay sampai berlarian tidak jelas saking senangnya. Setelah keluar dari ruang Guru, Inay merasa dapat hidup kembali.

Amdara dan Kawa yang melihat tingkah Inay hanya menggelengkan kepala.

Letak asrama berada di belakang pekarangan hutan buatan yang cukup luas. Setelahnya ada aliran sungai yang amat tenang mengelilingi asrama dan menjadi pembatas antara asrama putra dan putri.

Mendengar ada aliran sungai, membuat Luffy tambah bersemangat. Dia ingin mencuci muka dengan air segar. Wajahnya terasa lengket karena keringat.

"Ini tempat luar biasa! Bahkan di Negeri Elang Bulan tidak seindah ini!"

Inay memetik bunga yang mekar di samping pohon kemudian menghirupnya.

"Kak Nana tidak ingin sekolah di sini."

Perkataan Amdara tepat sekali menusuk jantung Inay, sampai membuat bocah berambut ungu itu tersedak bunga aroma bunga wangi itu.

"Hei-hei! Kau ini bermulut pedas juga, yah!"

Inay menggelembungkan pipi. Dia menatap kesal adik seperguruannya. Inay juga cukup malu karena sebelumnya dia memang tidak ingin sekolah di sini tetapi sekarang malah berbeda setelah melihat pemandangan di sini.

"Itu nyata."

Amdara memang suka hemat bicara, tetapi dia suka berkata jujur walaupun itu menyebalkan. Kawa yang melihat kedua teman barunya tertawa, jarang sekali bisa melihat hubungan erat di antara saudara seperguruan.

"Berhenti di sana!"

Seseorang berseru dari seberang sungai, tepat sekali di jembatan yang menghubungkan jarak antara hutan dan wilayah asrama.

Terlihat ada sekitar 50 anak yang menghadang, barisan paling depan dipimpin oleh seorang bocah laki-laki berumur 14 tahun dengan wajah yang nampak garang bernama Daksa si Berandal Sekolah. Di sampingnya ada bocah perempuan berumur 13 tahun yang mengepang rambutnya dan memiliki poni, dia Padma si jenius dan memiliki kecantikan yang unggul dari yang lain.

"Ingin masuk ke asrama setelah apa yang kalian lakukan? Cih, Tetua benar-benar baik."

Padma berdecih, dia menatap tajam Inay yang masih diam setelah melihat banyak orang menghadang.

"Hei, bukankah seharusnya mereka dihukum berat karena berani masuk ke sini tanpa izin?"

Seseorang terbang menggunakan tongkat perak, dia bocah laki-laki berumur 12 tahun dengan rambut perak yang panjang tanpa diikat, terlihat manis tetapi tidak dengan ucapannya.

"Kau benar, Saudara Ken. Dan kita yang akan memberikan hukuman itu."

Daksa terbang berjejer dengan Kenes sambil menyeringai. Daksa baru saja tahu bahwa ada orang yang masuk sekolah ini tanpa izin. Dia mendengarnya dari adik seperguruan bersama Padma dan Kenes yang baru saja menyelesaikan misi, mereka tentu tidak terima dengan hal tersebut terlebih penyusup itu tidak mendapat hukuman apa pun.

Kawa yang melihat tingkah Daksa dan teman-teman menggelengkan kepala. Jika Daksa dan kedua temannya telah bersatu, maka keributan tidak dapat terelakan. Dan lagi, walaupun Amdara dan Inay adalah penyusup, tetap saja hukuman berat maupun ringan pastinya telah ditentukan oleh para Tetua.

"Hei, yang berhak memberikan hukuman pada mereka adalah Tetua!"

Kawa berseru dan maju ke depan tetapi langsung

mendapat tatapan menusuk dari Daksa, Padma, Kenes dan rombongan yang tidak menyukai Amdara dan Inay.

"Kawa, kau terlalu polos. Tetua memberikan hukuman ringan pada penyusup, apa menurutmu kami akan diam saja?"

Perkataan Daksa diangguki dan dibenari oleh rombongan. Bahkan seruan-seruan dari saudara seperguruan Daksa meneriaki agar Amdara dan Inay sebagai penyusup harus dihukum mati. Entah dari mana mereka tahu hukuman yang didapat Amdara dan Inay.

Amdara dan Inay masih tetap diam, kedua bocah itu tahu situasinya sekarang. Mau bagaimana pun, mereka memang dianggap penyusup karena masuk tanpa izin. Inay yang biasanya cerewet, mendadak dia tidak berkata apa-apa.

Suasana semakin memanas ketika Daksa mulai memberi aba-aba pada rombongan untuk segera menyerang. Kawa yang mencoba melerai malah terpukul mundur oleh kekuatan Kenes.

"Saudara Kawa ...!"

Inay terlambat menyelamatkan Kawa, alhasil bocah laki-laki itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Inay segera terbang dan membantu Kawa.

Amdara mengepalkan tangan, dia menatap dingin ke arah Daksa, Padma, Kenes dan yang lain. Amdara tidak boleh bertindak gegabah, apalagi dia sekarang dicap sebagai penyusup di negeri asing ini. Jika mengambil tindakan salah, bukan tidak mungkin kematian akan segera menjemput. Lalu bagaimana Amdara akan bertemu dengan orang tuanya? Tidak! Amdara tidak akan mati sebelum bertemu dengan orang tuanya.

"Saudaraku semuanya, mari kita beri hukuman untuk penyusup itu ...!"

Daksa memprovokasi, dia telah bersiap dengan segala kemungkinan. Melihat tidak ada pergerakan dari lawan, membuatnya semakin percaya diri.

Padma menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia nampak merendahkan kemampuan lawan walaupun dia mendengar kekuatan lawan yang besar, tetapi kekuatannya jauh lebih besar dan ditambah oleh kekuatan saudara seperguruannya. Sementara itu Kenes menyilangkan kedua kakinya, terlihat sekali bocah laki-laki itu angkuh.

"Cih, berani sekali penyusup ini."

Tatapan Kenes bertemu dengan Amdara yang masih diam. Entah mengapa Amdara merasa dia harus melakukan sesuatu sekarang sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

Amdara tiba-tiba memberi hormat dan kemudian membungkuk. "Tuan-tuan Muda dan Nona Muda, maafkan kami yang telah masuk tanpa izin."

Daksa, Padma, dan Kenes yang melihatnya nampak tak acuh. Mereka malah berkata bahwa penyusup memang seharusnya meminta maaf dan setelahnya lenyap di tangan mereka.

Amdara masih mencoba berbicara baik-baik. "Kami tidak memiliki maksud tersembunyi masuk tanpa izin ke sini. Tolong maafkan kami."

Inay yang melihat Amdara terus-menerus meminta maaf terlihat mengepalkan tangan. Mereka sama sekali bukan pemyusup, tetapi mengapa Amdara harus meminta maaf?! Bahkan Inay yang umurnya lebih tua dari Amdara tidak akan melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya.

"Walaupun kau bersujud dan mencium kaki kami, kau tidak akan mendapatkan maaf. Lebih baik kau segera pergi ke neraka. Penyusup berbahaya seperti kalian sangat membahayakan keamanan sekolah."

Setelah Kenes berucap, senyumannya bertambah. Membuat Inay yang melihatnya langsung mengepalkan kedua tangan. Apa-apaan perkataan bocah laki-laki itu?!

Amdara tetap tenang menghadapi situasi, dia telah berbicara baik-baik tetapi memang tidak bisa. Yang jelas dia tidak akan bersujud dan mencium kaki mereka.

"Kau pikir kami takut dengan jumlah kalian?! Ck, sekalipun harus mati, akan kutarik kalian semua ke neraka!"

Inay berdiri dan menatap tajam Daksa, Kenes, Padma dan yang lain. Mendengar seruan Inay, membuat Amdara merasakan firasat tidak enak.

"Jangan gegabah."

Amdara memberi tanda dengan menatap Inay yang juga menatapnya agar tidak bertindak sembarangan.

Kawa menarik lengan Inay. "Jangan cari masalah dengan mereka." Kawa kembali terbatuk darah.

Namun, Inay malah menangkis tangan Kawa. Untuk apa dia menahan diri lagi? Jika keadaannya sudah seperti ini, tidak ada pilihan lain selain bertarung. Jangan gegabah, ya? Inay tidak akan memedulikan perkataan Amdara sekarang.

"Bukannya mereka yang mencari masalah duluan, yah?"

Inay tersenyum sinis, membuat Daksa, Padma, dan Kenes tertawa lantang dan kemudian langsung menyerang dengan aba-aba dari Daksa.

"Sepertinya kau tidak sabar bertemu iblis neraka. Serang ...!"

BAAM!

Anak-anak dengan usia paling tinggi 15 tahun itu terbang seperti sekelompok burung. Mereka mulai menggunakan kekuatan untuk menyerang Amdara, Inay, dan Kawa karena dianggap memihak pada penyusup.

Inay segera menggunakan rambutnya membuat dinding pelindung. Amdara sendiri membuat pelindung lagi untuk dijadikan tameng dari banyaknya serangan. Jika terus seperti ini, maka pelindung yang dibuatnya dan Inay akan segera hancur.

"Kak Nana, bawa Tuan Kawa pergi berlindung ...!"

Amdara berteriak ketika pelindung dari rambut Inay mulai retak akibat serangan beruntun. Inay mengetahui situasinya, dia segera memperkuat pelindung dan membawa Kawa dengan rambutnya ke tempat aman.

Namun, Padma menghadang dengan menggunakan kekuatannya, dia mengeluarkan jurus air yang membuat rambut Inay lembek.

"Cih, lemah sekali."

Amdara yang melihatnya segera melesat cepat tanpa mengurangi kekuatan pelindung. Bahkan Kenes sampai berdecak karena pelindung yang dibuat Amdara cukup kuat.

Jelas sekali mereka menganggap Amdara adalah seorang bocah laki-laki melihat dari penampilan pakaian.

Amdara membuat gelombang angin, dedaunan dari pohon turut mengelilingi pusaran angin tersebut membuat lawan kesulitan melihat. Kesempatan bagus itu kemudian digunakan Inay untuk menyerang lawan dengan kekuatan besarnya. Daksa, Kenes dan rombongan terpental sejauh lima meter.

BAAM!

"Kuserahkan ini padamu."

Inay melesat pergi membawa Kawa, sementara Amdara mengangguk dan langsung menerjang Padma yang sama sekali tidak goyah dari serangan Inay.

Padma melibaskan tangannya dan seketika angin yang dibuat Amdara menghilang begitu saja.

"Heh, kau pikir anginmu itu bisa menggoyahkanku?"

Padma menyeringai, bocah perempuan itu kemudian membuat tangannya membentuk sebuah pola bunga teratai raksaksa warna biru muncul dari bawahnya.

Amdara masih menggunakan pelindung. Dia tersentak melihat bunga teratai yang begitu besar. Bukan hanya dia, tetapi para junior Padma yang melihatnya nampak terkagum-kagum. Ini adalah jurus terbaik Padma.

Daksa menyeringai, dia tahu bunga raksasa itu adalah teratai hisap, Padma dapat mengendalikannya untuk menghisap musuh. Kesempatan ini dia gunakan menggunakan kekuatannya untuk menyerang Amdara dari jarak jauh. Kenes juga berpikir demikian, dia dan seluruh rombongan menyatukan kekuatan.

"Satukan kekuatan kalian ...!"

Daksa terbang bersama yang lain tanpa mendekat, karena tahu bahaya dari bunga Teratai Hisap itu.

Amdara dapat merasakan ada yang aneh dengan bunga raksasa tersebut. Perasaan familiar ketika dia masih berada di sekte. Amdara menaikkan sebelah tangannya, dia menghembuskan napas pelan.

Angin beliung mulai muncul dari berbagai arah yang kemudian menjadi satu berada di bawah Amdara. Seakan Amdara adalah pengendali angin beliung itu. Amdara memejamkan mata, dia memfokuskan pikiran pada satu titik. Dia tidak boleh bertindak gegabah tetapi juga tidak akan membiarkan seseorang menindasnya.

"Pengendali angin?"

Daksa cukup tersentak, dia terlihat sedikit cemas. Dirinya tahu klan pengendali angin. Mungkinkah bocah laki-laki itu adalah salah satu anggota pengendali angin? Jika benar, maka ini hal berbahaya.

"Hanya pengendali angin biasa. Kenapa kau terlihat khawatir?"

Kenes memicingkan mata melihat raut wajah Daksa. Daksa menggeleng, tidak berniat menjawab kecemasannya.

Sebuah sinar warna biru muncul dari bunga Teratai Penghisap Nyawa. Nampak Padma masih menutup mata.

Sementara kekuatan yang terkumpul pada satu titik di belakang bunga raksasa tersebut terlihat bersinar terang warna-warni.

Semakin tangan Padma naik, semakin bersinar pula bunga Teratai Penghisap Nyawa dan mulai mekar. Amdara mulai merasakan kekuatannya perlahan terhisap oleh bunga itu, dengan konsentrasi penuh, Amdara akan melesatkan anginnya ke arah bunga Teratai Penghisap Nyawa itu karena merasa bunga itu berbahaya.

"Kilatan Angin Aliran Pertama ...!"

"Bunga Tertai Penghisap Nyawa ...!"

Bersamaan Amdara melesatkan kekuatan, Padma juga melesatkan kekuatannya pada bunga itu hingga ledakan dahsyat terjadi. Serangan itu begitu cepat, sampai Amdara tidak menyadari dirinya terlilit sesuatu.

BAAM!

Padma terpental jauh ke arah bangunan asrama hingga setengah hancur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sementara kekuatan yang dikumpulkan Daksa, Kenes dan rombongan melesat ke arah bunga raksasa tersebut setelah bunga itu berhasil melilit tubuh Amdara dan menelannya.

"Akh--"

Amdara merasakan kekuatannya terhisap habis. Ditambah dirinya baru saja mengeluarkan kekuatan besar, tetapi malah tidak berguna sama sekali.

"A-apa ini?"

Blaaar!

Ledakan besar kembali terdengar, bahkan kali ini mengakibatkan sungai berguncang hebat dan pepohonan hangus seketika akibat pantulan serangan. Rombongan Kenes juga terpental jauh akibat dahsyatnya kekuatan mereka yang bertabrakkan dengan angin Amdara. Bahkan bangunan asrama yang letaknya cukup jauh itu ambruk seketika karena tertabrak bocah-bocah yang terpental akibat pantulan serangan barusan.

Tanah retak besar sejauh dua puluh lima meter. Langit menggelap setelah tubrukan serangan dahsyat barusan.

Akibat serangan dahsyat tersebut kepulan asap mengepul di udara berwarna gelap. Inay yang baru saja sampai ke tempat kejadian setelah dirinya membawa Kawa ke tempat aman terkejut bukan main.

"Amdara ...!"

Inay berteriak, berharap adik seperguruannya itu menjawab. Karena adanya kepulan asap yang begitu banyak membuat Inay tidak dapat melihat apa pun.

Inay menggunakan kekuatannya untuk membuat asap tersebut menghilang tetapi anehnya asap itu tidak bisa menghilang.

"Asap apa ini?!"

Sebuah aliran kekuatan murni tiba-tiba saja memusat pada satu titik di atas membuat perlahan asap itu menghilang memperlihatkan seseorang berjubah putih tengah terbang.

"Tetua Haki?"

Inay merasakan kekuatan besar yang membuat pundaknya seperti ditekan. Tatapannya masih tertuju pada Tetua Haki yang terlihat seperti malaikat kematian dengan mata tajam mengarah ke bawah tepat ke bunga raksaksa biru.

Sebuah pelindung baru saja retak begitu tiba-tiba. Inay yang melihat bunga Teratai Raksasa itu tersentak karena bunga tersebut berubah berwarna hitam pekat. Ditambah bunga Teratai Penghisap Nyawa memancarkan aura membunuh dan aura gelap.

Tetua Haki mendarat. Tetua itu baru saja sampai untuk melihat asrama, tetapi dia terlambat mengehentikan pertarungan ini.

"Teratai Penghisap Nyawa, siapa yang menggunakan jurus berbahaya ini?"

Tetua Haki tentu terkejut karena ada jurus berbahaya ini digunakan di sekolah. Jika digunakan untuk menyerang musuh kuat, itu tidak akan menjadi masalah tetapi mengapa jurus ini dikeluarkan di sekolah? Apa ada musuh?

Terlebih lagi teratai ini telah berwarna hitam yang menandakan bahwa telah menelan korban. Tetua Haki terlambat mencegah korban yang dimakan oleh bunga Teratai Penghisap Nyawa.

Tetua dari sekolah Magic Awan Langit itu kemudian mulai menyerawang, memastikan siapa yang menjadi korban.

Bau anyir menyeruak begitu saja ketika Tetua Haki mencoba membuka bunga Teratai Penghisap Nyawa. Namun yang pasti ada seseorang di dalam bunga itu.

"Bocah berambut putih?"

Mendengar perkataan Tetua Haki, membuat Inay teringat pada Amdara. Dia tidak melihat Amdara di sekeliling. Perasaan Inay mendadak tidak enak.

"Tetua, apa yang sebenarnya terjadi?!"

Tetua Haki mencoba menenangkan diri setelah menyerawang. Dia nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Seorang bocah berpakaian laki-laki tercabik-cabik dengan darah segar mengalir deras. Di dalam bunga Teratai Penghisap Nyawa terdapat seperti taring yang menusuk tubuh bocah kecil itu. Di tambah lagi Tetua Haki hampir tidak merasakan kekuatan spiritual bocah berambut putih tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!