Malam bulan purnama kembali dengan cahaya indahnya. Suasana lapangan latihan di sekolah Akademi Magic Awan Langit cukup ramai, ada dua orang yang tengah bertarung sengit. Satu di antara petarung menggunakan kemampuan elemen tanah untuk menyerang balik lawan. Lawan menghindar dengan kekuatan hujan api yang turun membakar lapangan latihan.
Suara riuh terdengar, para penonton segera menghindar dan membuat dinding pelindung. Pertarungan semakin sengit, jurus-jurus jitu terus dilancarkan kedua petarung.
Salah satu penonton berdiri tenang di dahan pohon depan sekolah. Rambut putihnya melambai-lambai karena angin, tatapannya dingin terarah pada pertarungan itu.
"Memang kuat."
Dia mengepalkan tangan, kemudian segera meninggalkan tempat dan pergi ke danau buatan untuk kembali latihan.
Anak perempuan itu tidak lain adalah Amdara yang baru saja menemui Inay di asrama putri yang tengah menyembuhkan diri. Sejak pulang kelas, Inay menjadi tidak banyak bicara, dia tengah merenungkan apa yang diceritakan Amdara. Hukuman cambuk sudah diselesaikan, sekarang Inay bisa menghirup udara segar dengan tenang tidak seperti malam-malam lalu.
Inay memilih kamar asrama karena menurutnya lebih tenang untuk menyembuhkan diri. Dia tidak bisa menyerap kekuatan alam seperti yang dilakukan Amdara. Alhasil Inay hanya bisa mengandalkan kekuatan dalam dirinya.
Sementara itu, Amdara baru saja mendarat di daun pohon. Matanya tertuju pada seseorang yang terlihat tengah latihan.
"Mn?"
Cahaya bulan membuat sekitar nampak lumayan jelas. Di dekat danau, seseorang berpakaian hitam mengambil ranting kemudian dalam sekejam hangus sampai beberapa kali. Nampaknya dia tengah berlatih dengan kekuatannya. Amdara masih diam memerhatikan anak yang satu kelas dengannya, tepat duduk di belakang bangkunya. Ya, dia adalah Aray.
"Sial, selalu saja begini." Laki-laki itu menendang kerikil, tetapi karena dirinya terlalu dekat dengan danau ditambah tanah licin, alhasil dia kejebur ke danau.
Amdara yang melihatnya hampir tertawa, dia menggelengkan kepala.
Aray menggerutu, dirinya mencoba berdiri dan naik ke darat, tetapi kakinya kembali terpeleset.
Kali ini tawa Amdara pecah, walaupun tidak keras tetapi Aray bisa mendengarnya. Aray mencari sumber suara dengan mata, tepat di dahan pohon seseorang masih dengan berani menertawakan Aray.
Aray tersentak ternyata ada bocah yang pagi ini pamer kekuatan di kelas. Aray menunjuk Amdara marah. "Kau! Kenapa kau di sana?! Sejak kapan?!"
Amdara seketika menghentikan tawa, dia kembali pada ekspresi awal, datar. Bocah berambut putih itu mendarat dan melangkah menuju Aray.
"Baru saja."
Aray mengepalkan tangan, dia tidak menyadari ada orang yang memerhatikannya yang tangah latihan. Perasaan malu dan marah membuat Aray menatap tajam Amdara.
"Berani sekali menertawakanku! Ingin mati, ya?!" Kata Aray yang masih berada di air danau.
"Tidak."
Amdara mengulurkan tangan, berniat membantu Aray. Namun, dengan cepat Aray menempisnya.
"Pergilah, jangan membuat rusak pemandangan!" Aray tentu tidak akan menerima uluran tangan bocah perempuan. Dia masih memiliki rasa malu tinggi. "Benar-benar bocah menyebalkan. Pantas mati!"
Aray masih saja mengomel dan mengatakan Amdara sebagai perempuan yang tidak tahu malu mengintip dirinya yang tengah latihan. Kesangaran Aray hilang karena dirinya yang mengomel terus menerus. Sedikit berbeda ketika pagi ini di kelas.
Amdara mengembuskan napas. Entah mengapa Aray memiliki kekuatan mengomel yang begitu pedas. Amdara yakin Inay akan kalah jika mereka ditandingkan.
"Kau banyak bicara."
Aray tersentak, dirinya benar-benar marah karena bocah perempuan ini. "Lalu kenapa?! Apa kau harus di sini terus mendengar omelanku?!"
Amdara mengedutkan sebelah mata. Aray sangat terlihat berbeda saat di kelas membuat Amdara berpikir Aray memiliki kepribadian ganda.
"Aku akan membantumu."
Amdara berniat membantu teman sekelasnya ini agar bisa mengaktifkan kekuatan. Walaupun tidak yakin apakah ada segel dalam tubuh Aray, tetapi Amdara percaya bahwa teman-teman kelas C akan bisa mengaktifkan kekuatan mereka sendiri.
Amdara tidak cukup pengetahuan mengenai segel. Dirinya berniat pergi ke perpustakaan jika ada waktu luang.
Penjelasan Amdara yang tidak lengkap membuat Aray salah mengartikan. Aray mengartikan bahwa Amdara sekarang tengah mengejek karena tidak bisa menggunakan kekuatan ditambah Amdara mungkin saja sudah melihat latihan Aray saat dirinya tidak menyadari. Ck, Aray memukul keras air.
"Sialan kau! Bocah sepertimu tidak perlu ikut campur urusanku!"
Kemarahan Aray kini berada di puncak, wajahnya sampai merah padam. Selama ini dia memang terus berlatih di kelas maupun di luar, tetapi tidak ada perkembangan. Sejak lama, dia menjadi orang yang sangat pemarah. Kemarahannya membuat teman sekelas takut. Namun, Aray sama sekali tidak berdaya saat berhadapan dengan kelas A maupun B sebab dia tidak bisa menggunakan kekuatan untuk melawan.
Hinaan dari murid-murid lain masih membekas di dada Aray. Walaupun sudah sejak lama tetapi rasa sakitnya masih terasa.
Amdara sama sekali tidak berniat mengejek. Dia hanya ingin membantu teman sekelas agar bisa mengaktifkan kekuatan. Amdara memang tidak yakin bisa membantu tetapi apa salahnya mencoba? Dia juga ingin tahu apakah memang ada segel atau tidak.
Bocah berambut putih itu mengembuskan napas. Dirinya juga tidak memaksa. Awal kedatangan Amdara ke sini hanya ingin berlatih, tetapi saat melihat Aray membuatnya merasa kasihan.
"Baik. Aku pergi." Amdara berjalan pergi ke arah hutan. Dia tiba-tiba menghentikan langkah, tanpa menoleh dia berucap, "jangan sampai menyesal. Ini terakhir."
Yang dimaksud Amdara adalah tawaran ini tidak akan berlaku kembali setelah esok hari. Dia kembali melanjutkan langkah tanpa memedulikan ekspresi Aray yang terlihat sangat marah.
Aray masih mengomel pedas, mengatakan Amdara yang sombong dan tidak tahu malu. Jelas Amdara tidak memedulikan perkataan Aray. Toh, Amdara berada di sekolah ini karena menjalankan misi dan mencari orangtuanya.
Informasi mengenai kedua orang tua Amdara sangat minim. Tetua Bram hanya mengatakan bahwa orang tua Amdara berada di Negeri Nirwana Bumi. Tetua Bram tidak mengatakan ciri-cirinya, dia hanya memberikan sebuah tusuk rambut biru berukiran bangau emas pada Amdara. Katanya tusuk rambut itu milik ibu Amdara sewaktu bertemu Tetua Bram.
Amdara terus melangkah tanpa terbang. Dia memunculkan tusuk rambut itu di tangan. Aura agung muncul dari tusuk rambut tersebut. Amdara memegang tusuk rambut penuh kasih sayang. "Aku akan mencari kalian."
Dari arah belakang Amdara, seseorang tengah berlari dengan napas tersengal-sengal dan berteriak memanggil seseorang. "Bocah sialan! Kembali kau!"
Amdara yang mendengar teriakan itu menghentikan langkah dan menoleh ke belakang sebelum menyimpan tusuk rambut di cincin ruang.
Sebelah alis Amdara naik. Dia tidak menyangka Aray akan mengejarnya.
Napas Aray tersengal-sengal karena berlari mengejar Amdara yang sudah jauh. Dirinya mengatur napas saat sudah berdiri di depan Amdara.
"Bocah, aku menarik kata-kataku sebelumnya." Ini menyebalkan bagi Aray harus meminta bantuan pada orang asing. Namun, mengingat Amdara seperti cukup paham mengenai kekuatan, dirinya tidak ada cara lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments