Negeri Nirwana Bumi terletak di tengah-tengah Negeri Elang Bulan dan Negeri Rubah Merah. Setiap Negeri memiliki segel pelindung sendiri untuk keamanan dan memiliki ciri khas masing-masing. Bukan hanya itu, bahkan di masing-masing Negara memiliki organisasi Aliran Putih dan Hitam. Namun, kebanyakan organisasi hitam berada di Negeri Rubah Merah. Tidak heran jika Negeri Rubah Merah mendapat julukan Negeri Manusia Darah Merah. Sementara kedua Negeri lainnya kebanyakan dari Aliran Putih. Ketiga Negeri tidak jarang berselisih dan melakukan perang, tetapi akhir-akhir ini mereka cukup tenang, tidak ada perang. Bukan tanpa alasan mereka tidak melakukannya, sebab ada suatu peristiwa di mana ketiga Negeri harus bekerja sama untuk melenyapkan makhluk dari dunia lain.
Negeri Nirwana Bumi, Negeri yang terkenal dengan kekuatan alam murni. Jika dibandingkan kekuatan menyerap kekuatan dari alam, maka orang-orang Negeri Nirwana Bumi lah yang dengan mudah melakukan. Jadi orang-orang dari Negeri tersebut cukup diwaspadai.
Untuk mendidik para pemuda, setiap negeri memiliki tempat belajar kekuatan. Termasuk di kota Awan Langit di Negeri Nirwana Bumi, ada satu sekolah paling besar di antara sekolah kota lainnya. Bukan hanya sekolahnya yang besar, tetapi para murid-muridnya juga berbakat.
Para Tetua dan Guru Sekolah Akademik Magic Awan Langit sangat telaten mendidik para murid. Walaupun begitu, tetap saja masih ada murid yang memberontak dan nakal.
Di gedung paling tinggi sekolah Akademi Magic Awan Langit, seorang murid berseragam khas sekolah tersebut
baru saja mendarat dengan napas tersenggal-senggal di depan ruangan para guru. Murid laki-laki itu ditanya oleh Murid Penjaga.
"Hei, kau kenapa?"
Murid dengan napas ngos-ngosan itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan sebelum mengatakan masalahnya.
"S-senior, di lapangan latihan ada dua orang yang bertarung."
Murid Penjaga menaikkan sebelah alisnya. Tempat lapangan latihan memang diperuntukkan untuk melakukan latihan pertarungan. Lalu mengapa juniornya ini malah melaporkan hal biasa?
Melihat raut wajah seniornya, murid itu mengatakan bahwa yang bertarung bukanlah salah satu murid dari sekolah Akademi Magic Awan Langit. Mendengarnya membuat murid penjaga tersentak. Bagaimana bisa ada orang yang tidak tahu malu nya bertarung di sekolah ini?!
"Kau pergilah, aku akan mengatakan hal ini pada guru."
Murid yang mengantarkan informasi langsung memberi hormat, kemudian pergi keluar untuk kembali melihat pertarungan dua orang asing.
BAAM!
Suara debaman keras terdengar, bahkan sampai membuat tanah retak besar. Satu perempuan berumur sekitar 14 tahun yang menggunakan rambutnya baru saja menghantam tanah dengan tatapan yang kesal karena lawan terus menghindar.
Para murid sekolah Magic Awan Langit tidak bisa melakukan apa pun karena mereka merasa tidak mampu mengimbangi kekuatan kedua orang asing itu. Para senior di sini tengah melakukan misi, sementara yang sekarang melihat pertarungan sengit itu hanyalah junior yang baru memasuki Tingkat Dasar. Mereka melihat dari jarak cukup jauh, walaupun begitu efek serangan masih mengenai mereka.
"Hei, apa kau sudah melaporkan ini pada guru?!"
Murid perempuan yang melihat murid melaporkan hal ini baru saja sampai. Dia mengangguk sebagai jawaban. Tatapannya tertuju pada angin yang semula kecil malah semakin membesar, apalagi dengan abu dari pepohonan turut menjadi penghalang pandangan mereka.
"Menghindar ...!"
Angin beserta abu dari pepohonan semakin membesar, berdampak pada pepohonan yang tertancap kuat di tanah malah turut terbang terbawa angin yang seperti mengelilingi bocah perempuan yang sekarang tengah melindungi diri dengan rambut panjang mengelilingi dirinya bagai tembok penghalang angin.
Blaar!
Angin tersebut tiba-tiba saja menyebar ke segala arah, membuat para murid yang tidak kuat membuat segel pelindung langsung terpental sejauh lima belas meter. Bahkan salah satu gedung bergetar hebat membuat penghuninya tersentak dan segera keluar mecari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tetua Haki, dan Guru Kawi yang baru saja melihat kekuatan besar tersebut terkejut bukan main. Mereka segera membuat segel pelindung ketika angin dahsyat hampir mengenai mereka. Abu dari pepohonan yang berterbangan membuat sekeliling tidak terlihat dengan jelas.
Tetua Haki dapat merasakan kekuatan dahsyat ini. Dia penasaran dengan orang yang menggunakan angin sebagai jurus hebat. Mungkinkah ada murid berbakat yang tersembunyi di antara murid berbakat lainnya?
"Siapakah gerangan yang membuat pandangan kabur~?
Langit tak mungkin membuat angin abu~
Dahsyat sekali~
Sampai membuat hati merasa tersentuh~"
Perkataan Guru Kawi yang menggunakan nada barusan membuat Tetua Haki mengedutkan bibir atas. Entah ini sebuah keahlian Guru Kawi atau memang dia suka menadakan kalimat yang kadang sama sekali tidak dimengerti.
Lingkungan sekitar nampak berantakan. Banyak pepohonan hangus, keretakkan luas pada tanah, di tambah lagi satu gedung retak, tetapi untunglah tidak sampai fatal.
Keadaan sekitar mulai normal, tetapi suara omelan bocah perempuan membuat orang-orang yang melihatnya tersentak melihat seorang gadis kecil yang menarik telinga bocah laki-laki. Bukankah mereka musuh?! Melakukan pertarungan sengit barusan, dan hampir melenyapkan satu sama lain. Lalu mengapa dua orang itu malah seperti saling kenal dan akrab?!
Guru Kawi seketika menutup mulut dengan kipas bulu yang dipegang, dia nampak mengedip-edipkan mata hampir tidak percaya. Sementara Tetua Haki menggelengkan kepala pelan melihat dua orang itu yang tidak jauh darinya.
Bukan hanya Tetua Haki dan Guru Kawi, bahkan murid-murid yang melihatnya juga nampak tidak percaya.
"Mereka bukannya musuh?!"
"Yah, padahal kekuatan Kakak Tampan itu sangat hebat."
"Huh, menyebalkan sekali. Siapa mereka berani membuat lapangan kita jadi hancur?!"
Beberapa murid mulai angkat bicara. Tetua Haki bersama Guru Kawi melayang mendekati dua orang yang baru saja bertarung.
Setelah dekat dengan dua bocah yang berumur kisaran 13 tahun, Tetua Haki berdehem agar kedua bocah ini menyadari keberadaannya.
"Kepekaan mereka sangat buruk."
Baru setelah Tetua Haki berdehem, bocah perempuan berambut ungu kehitaman dengan wajah polosnya menatap dengan kebingungan. Apalagi melihat penampilan pria yang berumur sekitar 40an, yang memegang kipas bulu. Berambut ungu tua pendek yang dipangkas sedemikian rupa. Bukan hanya itu, bahkan pria ini memiliki bulu mata panjang dan lentik. Inay sampai menahan napas sejenak melihat penampilan orang ini.
Sementara bocah yang terlihat seperti laki-laki dengan rambut putih diikat nampak terkejut karena dia tidak menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya.
Kedua bocah ini tidak lain dan tidak bukan adalah Inay dan Amdara yang baru saja merusak lapangan latihan Akademi Magic Awan Langit.
Amdara langsung memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, merasa dua pria ini jauh lebih kuat dan yang jelas lebih dewasa.
"Siapa kalian?"
Pertanyaan pertama muncul dari Guru Kawi. Melihat pakaian dua orang di depannya, dia merasa mereka bukan dari Negeri Nirwana Bumi. Ada kemungkinan dua orang ini dari negeri lain. Namun, jika dipikirkan lagi bagaimana bisa dua bocah ini mudah melewati pembatas Negeri Nirwana Bumi? Dan ditambah lagi kota Awan Langit juga memiliki segel. Apa mungkin ada model pakaian baru yang meniru dari negeri lain?
Inay menoleh ke arah Amdara, meminta adik seperguruan yang menjawab. Namun, Amdara malah menoleh ke arahnya dan menaikkan sebelah alis melihat raut wajah Inay. Jelas sekali Amdara tidak mengerti arti tatapan Inay, membuat Inay ingin sekali menarik telinga Amdara.
"Guru Kawi, sebaiknya kita bicarakan masalah ini di ruang Tetua."
Tetua Haki dapat merasakan aura misterius pada tubuh bocah laki-laki di hadapannya walaupun auranya tipis. Sebagai Tetua yang dijuluki Tetua Spiritual, tentu bukan hal aneh ketika dia dapat merasakan kekuatan misterius. Tentu dia tidak ingin gegabah dalam menyimpulkan sesuatu, jadi lebih baik dibicarakan di ruang tertutup.
Guru Kawi mengangguk setuju.
"Mn? Sejak kapan mereka berada di sini?"
Inay mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ternyata cukup kacau, dan lagi ada banyak orang berpakaian sama dengan berbagai usia.
Amdara juga sama halnya, mereka seperti memandang ke arahnya dengan tatapan tidak suka. Amdara juga baru menyadari bahwa pertarungan barusan membuat kacau sekitar. Perasaan Amdara mengatakan, dia dan Inay akan segera mendapat masalah besar.
"Nak, mari ikut kami."
Inay dan Amdara tersentak mendengar pria yang menggunakan jubah putih dengan corak awan, dan di bahu jubahnya memiliki bulu putih yang sangat halus.
Inay mengeluarkan suara 'pfft' sambil melirik Amdara yang hanya bisa mengembuskan napas. Melihat tingkah kedua bocah ini, membuat Guru Kawi menaikkan sebelah alisnya.
"Hujan akan terganti dengan angin
Sementara bumantara cerah ini akan lunglai
Jika melihat dua makhluk berbaswara ini
Memandang sekitar penuh buntara~"
Inay tersedak napasnya sendiri mendengar ucapan aneh pria yang dia kagumi barusan. Rasanya perut Inay seperti tergelitik sesuatu. Hampir saja Inay tertawa jika dia tidak melihat raut wajah pria yang memiliki bulu di jubahnya itu yang menatap dingin seperti ingin menelannya hidup-hidup.
Amdara menaikkan sebelah alisnya. Dia berpikir pria ini memiliki ciri khas sendiri, jadi ada kemungkinan jika Amdara berkata normal, maka pria ini tidak akan mengerti. Alhasil Amdara melakukan hal yang sama.
"Baskara nampak memunculkan diri
Membuat buana yang bercahaya
Andai kau bisa mengucapkan ucapan biasa
Tak mungkin bibir mungil ini melakukan hal yang sama."
Inay kembali tersentak, dia melihat Amdara yang berucap seperti pria itu. Kali ini Inay tidak bisa menahan tawanya, bahkan dia menepuk-nepuk bahu Amdara dengan keras.
"Pffttt, hahaha. Kau bisa berbicara seperti ini? Kupikir kau manusia batu. Haha ...!"
Bukan hanya Inay yang tersentak, bahkan Tetua Haki hampir tersedak napasnya sendiri. Tetua Haki tidak menyangka ada orang yang bisa membalas ucapan aneh Guru Kawi. Sementara Guru Kawi sendiri tersenyum bangga, selama ini dia tidak melakukan kesalahan dengan menadakan kalimat. Benar-benar belahan jiwa Guru Kawi yang selama ini pergi!
"Haha, kau bisa berbicara sepertiku ternyata. Tapi kalimatmu masih kurang."
Amdara terkejut, ternyata pria itu bisa berbicara normal. Hah, jika Amdara tahu sebelumnya dia tidak akan berbicara memalukan seperti barusan! Ya ampun, rasanya Amdara ingin segera pergi mencari lubang untuk bersembunyi.
"Nak, sebaiknya ikut kami ke ruang Tetua."
Tetua Haki berucap sopan, membuat Amdara dan Inay kembali berpandangan.
"Maaf, Tuan. Karena kami telah membuat kekacauan di tempat kalian."
Amdara membungkukkan tubuh yang langsung diikuti Inay yang diam seketika. Perasaan Inay mengatakan akan ada masalah jika mereka ikut dengan dua pria ini.
"Kami sungguh tidak bermaksud membuat kekacauan. Tolong maafkan kami." Inay menambah perkataan Amdara.
Tetua Haki mengangguk. "Tapi mau bagaimana pun, kalian harus bertanggung jawab atas kerusakan lapangan latihan ini."
Amdara dan Inay tentu mengerti. Tidak akan mudah keluar dari tempat ini, jika mereka memutuskan melarikan diri, maka bukan tidak mungkin dua pria di depan mereka akan langsung melenyapkan Amdara dan Inay dengan mudah.
"Maaf, Tuan. Tapi kami tidak memiliki banyak emas untuk mengganti kerusakan. Kami juga sudah meminta maaf, bisakah kalian membiarkan kami pergi?"
Inay menyodorkan sekantung emas pada Tetua Haki, tetapi malah mendapatkan tatapan dingin yang menusuk.
Amdara mengangguk menyetujui perkataan Inay, tetapi bukannya dua pria ini senang mendapat emas malah menatap dingin. Aiya, rasa-rasanya Amdara akan ditelah hidup-hidup oleh orang ini.
Guru Kawi hampir saja tertawa mendengar dua bocah polos ini berbicara. Benar-benar bocah yang menarik.
"Dengar, Nak. Memangnya sekantong emas itu akan cukup memperbaiki kerusakan ini? Kami tidak akan mengambil emas kalian."
Tetua Haki menghela napas sebelum kembali berbicara. Dia harus mengatakan kalimat-kalimat yang jelas agar dapat dipahami oleh dua bocah ini.
"Sekolah ini memiliki segel pelindung, jika ada orang yang bukan bagian dari murid sekolah bisa masuk tanpa diketahui oleh para Tetua, maka hal ini harus dipertanyakan."
Guru Kawi mengangguk-angguk. Di Akademi Magic Awan Langit memang memiliki segel pelindung khusus. Jika ada orang yang bukan dari bagian murid dan Tetua sekolah, maka dapat dideksi dengan cepat. Segel pelindung ini jelas digunakan sebagai keamanan sekolah dari bahaya besar yang kemungkinan akan terjadi. Jika ada orang yang bisa masuk ke wilayah Akademi Magic Awan Langit tanpa diketahui siapapun, maka ada kemungkinan orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar atau yang paling memiliki kemungkinan lainnya adalah orang tersebut dapat membuat portal dengan kekuatan besar.
Guru Kawi juga mengatakan bahwa dua bocah ini mau tidak mau harus ikut bersama mereka ke ruang Tetua.
Amdara dan Inay akhirnya menyerah. Mereka mengikuti dua pria itu berjalan menuju ruang yang disebut, sebab memang tidak ada pilihan lain.
"Dara, apa menurutmu kita akan dihukum?"
Inay berbisik pada Amdara. Mereka berjalan di belakang. Sedangkan para murid akademi masih memerhatikan mereka dari kejauhan, tidak berani mendekat karena ada Tetua Haki dan Guru Kawi.
"Mungkin."
Amdara menjawab seadanya. Dia baru saja menyadari bahwa portal yang dibuatnya asal malah sampai di Akademi Magic di negeri yang amat asing bagi mereka.
Seseorang bisa membuat portal sesuka hati, tetapi masih tergantung kekuatan dan keterampilan membuatnya. Biasanya portal dibuat dengan membayangkan tempat yang akan dituju dengan kefokusan tinggi. Jika ada orang yang dapat membuat portal tanpa membayangkan tempatnya, maka orang tersebut bisa disebut jenius.
"Hah, ini semua salahmu! Jika kau tidak menggunakan kekuatan itu, kita tidak akan terjebak di tempat ini."
Inay menggelembungkan pipi, dia sangat kesal pada Amdara. Haih, andai saja Amdara tidak mengeluarkan portalnya, maka Inay sudah berkenalan dengan anak laki-laki tampan itu.
"Kita tidak terjebak."
Inay mengedutkan alis. Dia ingin sekali memakan hidup-hidup adik seperguruannya yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Aiya, kau membuatku kesal."
Sepanjang jalan, baik Tetua Haki maupun Guru Kawi masih diam dengan pikiran masing-masing. Mereka mulai berpikir bahwa dua bocah di belakang mereka adalah mata-mata dari sekolah lain. Namun, segel pelindung di sekolah inilah yang terkuat. Jadi bagaimana mungkin bisa ditembus begitu saja tanpa terdeteksi?!
Tetua Haki menoleh ke belakang, melihat dua bocah itu masih berbicara tanpa memedulikan sekitar.
"Kita akan sekolah di sini."
Amdara berucap dengan santai. Dia memang sudah memikirkan hal ini sejak mengetahui bahwa tempat ini merupakan Akademi Magic. Inay yang mendengar perkataan Amdara tersentak dan seketika menghentikan langkah.
"Hei, yang benar saja! Aku tidak mau. Kita akan mencari sekolah lain. Mau bagaimana pun, sepertinya kita tidak akan hidup lagi setelah mendapat hukuman dari dua pria itu, dan lagi kau lihat para murid itu? Mereka sangat disiplin. Aku tidak akan betah berada di lingkungan sekolah seperti ini!"
Amdara juga menghentikan langkah dan menatap Inay datar. Bukankah lingkungan seperti ini sangat bagus untuk pendidikan? Apalagi orang seperti Inay yang jarang menaati aturan!
"Kak Inay, kau ...."
*
*
*
Mau bagaimana pun juga, Amdara dan Inay harus mendapatkan sekolah. Walaupun Inay menolak mentah-mentah, tetapi Amdara berhasil membujuk dengan mengatakan bahwa akademi ini cukup bagus dan jika pun Inay kekeuh tidak mau, maka Amdara menyuruh Inay untuk pulang ke Negeri Elang Bulan sendiri tanpa bantuan darinya. Bukan hanya itu, bahkan Amdara mengancam akan melaporkan kelakuan Inay pada Tetua Bram agar mendapat hukuman pengasingan. Jelas Inay kalah telak dari ancaman Amdara yang kelewat kejam menurutnya.
Ruangan penuh dengan aura agung menyeruak. Dinding yang menjulang tinggi yang terbuat dari giok warna putih dan emas membuat ruangan ini sungguh membuat kagum. Di tambah sepuluh singgasana yang mengelilingi ruangan tersebut, dan juga ukiran bangau putih di tengah-tengah ruangan sangat mendominasi bahwa ruangan tersebut sangatlah agung.
Dua orang pria yang salah satunya mengipas-ipas wajah dengan kipas bulu tengah menatap ke arah depan di mana dua orang yang berdiri dengan wajah gugup sekaligus gelisah.
"Sebenarnya siapa kalian dan apa tujuan kalian kemari?"
Pertanyaan dingin itu keluar dari mulut orang yang bermata tajam dan memiliki bulu di jubah. Orang tersebut tidak lain adalah Tetua Haki. Sementara orang di samping tempat singgasana adalah Guru Kawi.
"Kami dari Negeri Elang Bulan."
Seorang bocah berambut putih membungkuk sebagai tanda sopan. Sementara teman satunya malah terlihat tidak suka dengan pertanyaan barusan.
"Tujuan? Tujuanku hanya menemani bocah ini mencari orangtuanya. Huh, jika aku bukan orang baik hati, mana mungkin aku mau pergi jauh dari rumah!"
Bocah perempuan dengan rambut keunguan itu melibaskan rambut dan melirik sinis ke arah temannya. Dia memang tidak memiliki tujuan lain selain ini.
"Kau tidak sedang membual 'kan?"
Guru Kawi bertanya yang diangguki yakin oleh bocah perempuan itu yang tidak bukan adalah Inay dan orang di sebelahnya berambut putih adalah Amdara.
"Untuk apa aku membual? Cih, jika kalian sudah mengetahui tujuan kami, maka biarkan kami pergi."
Inay sudah tidak tahan dengan atmosfer yang mulai terasa panas. Walaupun dia nampak tidak sopan, sejujurnya dia sangat gugup. Untuk menghilangkan kegugupannya itu dia bersikap demikian.
Tetua Haki menaikkan sebelah alisnya. Dia bahkan belum bertanya mengenai bagaimana bisa mereka masuk ke sekolah ini tanpa terdeteksi, tetapi malah bocah itu ingin segera pergi, yang benar saja!
Awalnya Tetua Haki dan Guru Kawi berniat memb*nuh mereka karena menganggap mereka sebuah ancaman tetapi melihat tingkah kedua bocah itu mengurungkan niat mereka.
"Kakek Baba mengatakan bahwa orangtuaku berada di Negeri ini."
Hampir saja Inay kehilangan napasnya ketika mendengar ucapan Amdara. Apa sungguh pendengaran Inay ini rusak? Atau memang Amdara yang mengatakan bahwa Tetua Bram adalah 'Kakek Baba'?! Ya ampun, rasanya Inay ingin tertawa dan mengatai Amdara sangat menggemaskan.
Sekilas Amdara melirik Inay yang terdengar bunyi 'pfft' walaupun samar. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin Amdara menggunakan kata 'Tetua' pada orang asing. Identitas mereka yang murid dari sebuah organisasi putih tidak boleh terungkap.
Tetua Haki dan Guru Kawi saling pandang. Sebenarnya mereka cukup tidak begitu yakin bahwa dua anak ini adalah murid dari salah satu sekolah jika dilihat dari kemampuan kekuatan mereka.
"Siapa namamu?"
Guru Kawi bertanya sambil menatap Amdara. Amdara nampak tersentak, dia ingat dengan perkataan Tetua Bram.
"Namaku ... Luffy"
Lagi-lagi Inay tersentak, dia menyipitkan mata sambil melirik Amdara. "Hei, sejak kapan kau mengganti nama?"
"Itu nama kecilku."
Amdara mendengus kesal. Dia mengepalkan tangan, Inay benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.
Tetua Haki dan Guru Kawi nampak saling memandang, mau bagaimana pun dua anak ini harus mendapat hukuman karena telah menerobos masuk akademi mereka. Ini akan menjadi masalah besar jika para Tetua lain mengetahui kejadian ini.
Perasaan Amdara mendadak tidak enak melihat raut wajah kedua pria di depan mereka. Ini memang bukan masalah sepele hingga mereka dapat keluar dengan keadaan baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments