Setiap sekolah Akademik Magic memiliki aturan yang berbeda. Tentu ada penyusup yang berhasil menerobos pelindung adalah hal yang mencemaskan. Jika orang yang dapat menembus pelindung ini, maka kemungkinan ada orang kuat di belakang. Bisa saja itu adalah musuh.
Sementara dua bocah yang masih berada di depan Tetua Haki dan Guru Kawi nampak seperti bocah polos. Setelah membaca informasi mengenai persetujuan Negeri Nirwana Bumi, maka tidak ada alasan lain mereka melenyapkan kedua bocah itu. Namun, tetap saja mereka akan mendapat hukuman karena telah merusak dinding pelindung sekolah, dan juga akan mendapat pengawasan langsung dari Tetua Haki.
Guru Kawi menanyakan apakah dua bocah itu datang sendiri atau bersama orang dewasa. Amdara dengan cepat mengatan datang bersama pamannya yang sekarang tengah mencari penginapan. Mendengar hal itu membuat Tetua Haki membuat keputusan, bahwa Amdara dan Inay harus tinggal di Asrama Sekolah Magic di sini untuk pengawasan dan mendapat hukuman yang sepadan.
Awalnya Inay menolak mentah-mentah, tetapi Amdara malah menyetujui keputusan Tetua Haki sebagai permintaan maaf karena telah merusak dinding pelindung dan lapangan pelatihan. Inay hanya bisa pasrah ketika adik seperguruannya menandatangani perjanjian tidak melarikan diri sebelum hukuman selesai. Tanpa meminta pendapatnya. Hukuman ini cukup ringan bagi seorang bocah menurut Tetua Haki dan Guru Kawi sendiri.
"Setelah ini, seseorang akan mengantarkan kalian ke asrama."
Tetua Haki berucap kembali dan mengatakan bahwa Amdara dan Inay boleh mengundurkan diri dari tempat. Tetua Haki juga memberikan surat yang akan mereka berikan pada penjaga ruang penerimaan murid baru.
"Mn. Maaf, aku belum mengetahui namamu, Tetua."
Amdara membungkuk, membuat Inay lagi dan lagi hanya bisa mengembuskan napas. Untuk apa mengetahui nama pria itu yang akan mengurung mereka?
"Aku Tetua Haki, dan ini adalah Guru Kawi."
Setelah mengetahui nama dari Tetua tersebut, Amdara memberi hormat dan segera pergi setelah ada murid yang menjemput untuk pergi ke asrama.
"Tetua Haki, apa ini tidak akan menjadi masalah Tetua yang lain? Kau bahkan tidak meminta persetujuan yang lainnya."
Guru Kawi berujar setelah Amdara dan Inay pergi. Yang dikatakan Guru Kawi memang ada benarnya, tetapi Tetua Haki telah memikirkan ini sebelumnya dan apa yang akan dirinya lakukan setelahnya.
"Ini akan kuurus. Guru Kawi, apa kau bisa menyelidiki latar belakang kedua bocah itu?"
Tetua Haki dapat merasakan aura aneh, untuk itu dia meminta bantuan Guru Kawi. Latar belakang mereka benar-benar harus diselidiki.
Guru Kawi mengembuskan napas. Dia mengipas wajahnya menggunakan kipas bulu sebelum akhirnya mengangguk.
*
*
*
Persiapan yang dilakukan oleh Tetua Bram benar-benar matang. Selain mendapatkan bekal emas, Tetua Bram telah menyiapkan surat izin memasuki negara. Bukan hanya itu, Tetua Bram juga telah mengirim seseorang menjadi paman Amdara untuk mengawasi pergerakan dua bocah itu.
Sebelum pergi ke asrama, mereka diajak ke ruangan penerimaan murid baru yang terletak di samping sekolah. Ruangan itu cukup tenang membuat pikiran jadi rileks.
Mendengar bahwa Amdara dan Inay akan menjadi murid di sekolah Magic ini, beberapa penjaga nampak tidak senang. Amdara memberikan kertas dari Tetua Haki, setelah menbacanya penjaga itu hanya bisa mengembuskan napas.
Awalnya penjaga tidak yakin Amdara dan Inay malah diizinkan Tetua sekolah di sini setelah membuat kekacauan. Namun, dia mendapat surat langsung dari Tetua Haki bahwa Amdara dan Inay akan menjadi murid sekolah Akademi Magic Awan Langit.
"Ini tanda pengenalmu."
Murid Penjaga itu berujar ketus. Dia memberikan lencana pada Amdara dan Inay. Tentu Amdara mengubah nama menjadi Luffy. Sementara Inay juga ikut-ikutan dan mengubah nama menjadi Nana, katanya Inay juga ingin memiliki nama kecil. Jelas sekali Inay tidak mengetahui bahwa Amdara mengubah namanya sesuai permintaan Tetua Bram.
Amdara dan Inay kemudian dibawa oleh murid bernama Kawa, dia murid berumur sama dengan Inay. Memiliki rambut pendek berwarna cokelat dan memiliki gigi gingsul yang manis dengan kulit sawo matang. Kawa membawa dua anak yang akan menjadi saudara seperguruannya ini ke asrama perempuan terlebih dahulu.
Ketiganya telah saling memperkenalkan diri. Kawa cukup baik menjelaskan beberapa hal mengenai sekolah Akademi Magic Awan Langit. Nampaknya Kawa tipe orang bisa diajak bicara baik-baik dan tidak memiliki rasa tidak suka terhadap keduanya walaupun mereka bisa dikatakan penyusup.
Mereka harus melewati pepohonan yang cukup tinggi yang berdaun warna biru dan putih. Ada rerumputan hijau tetapi tidak ada semak belukar, seakan telah dirapihkan sedemikian rupa. Nampak sangat indah, bahkan Inay sampai berlarian tidak jelas saking senangnya. Setelah keluar dari ruang Guru, Inay merasa dapat hidup kembali.
Amdara dan Kawa yang melihat tingkah Inay hanya menggelengkan kepala.
Letak asrama berada di belakang pekarangan hutan buatan yang cukup luas. Setelahnya ada aliran sungai yang amat tenang mengelilingi asrama dan menjadi pembatas antara asrama putra dan putri.
Mendengar ada aliran sungai, membuat Luffy tambah bersemangat. Dia ingin mencuci muka dengan air segar. Wajahnya terasa lengket karena keringat.
"Ini tempat luar biasa! Bahkan di Negeri Elang Bulan tidak seindah ini!"
Inay memetik bunga yang mekar di samping pohon kemudian menghirupnya.
"Kak Nana tidak ingin sekolah di sini."
Perkataan Amdara tepat sekali menusuk jantung Inay, sampai membuat bocah berambut ungu itu tersedak bunga aroma bunga wangi itu.
"Hei-hei! Kau ini bermulut pedas juga, yah!"
Inay menggelembungkan pipi. Dia menatap kesal adik seperguruannya. Inay juga cukup malu karena sebelumnya dia memang tidak ingin sekolah di sini tetapi sekarang malah berbeda setelah melihat pemandangan di sini.
"Itu nyata."
Amdara memang suka hemat bicara, tetapi dia suka berkata jujur walaupun itu menyebalkan. Kawa yang melihat kedua teman barunya tertawa, jarang sekali bisa melihat hubungan erat di antara saudara seperguruan.
"Berhenti di sana!"
Seseorang berseru dari seberang sungai, tepat sekali di jembatan yang menghubungkan jarak antara hutan dan wilayah asrama.
Terlihat ada sekitar 50 anak yang menghadang, barisan paling depan dipimpin oleh seorang bocah laki-laki berumur 14 tahun dengan wajah yang nampak garang bernama Daksa si Berandal Sekolah. Di sampingnya ada bocah perempuan berumur 13 tahun yang mengepang rambutnya dan memiliki poni, dia Padma si jenius dan memiliki kecantikan yang unggul dari yang lain.
"Ingin masuk ke asrama setelah apa yang kalian lakukan? Cih, Tetua benar-benar baik."
Padma berdecih, dia menatap tajam Inay yang masih diam setelah melihat banyak orang menghadang.
"Hei, bukankah seharusnya mereka dihukum berat karena berani masuk ke sini tanpa izin?"
Seseorang terbang menggunakan tongkat perak, dia bocah laki-laki berumur 12 tahun dengan rambut perak yang panjang tanpa diikat, terlihat manis tetapi tidak dengan ucapannya.
"Kau benar, Saudara Ken. Dan kita yang akan memberikan hukuman itu."
Daksa terbang berjejer dengan Kenes sambil menyeringai. Daksa baru saja tahu bahwa ada orang yang masuk sekolah ini tanpa izin. Dia mendengarnya dari adik seperguruan bersama Padma dan Kenes yang baru saja menyelesaikan misi, mereka tentu tidak terima dengan hal tersebut terlebih penyusup itu tidak mendapat hukuman apa pun.
Kawa yang melihat tingkah Daksa dan teman-teman menggelengkan kepala. Jika Daksa dan kedua temannya telah bersatu, maka keributan tidak dapat terelakan. Dan lagi, walaupun Amdara dan Inay adalah penyusup, tetap saja hukuman berat maupun ringan pastinya telah ditentukan oleh para Tetua.
"Hei, yang berhak memberikan hukuman pada mereka adalah Tetua!"
Kawa berseru dan maju ke depan tetapi langsung
mendapat tatapan menusuk dari Daksa, Padma, Kenes dan rombongan yang tidak menyukai Amdara dan Inay.
"Kawa, kau terlalu polos. Tetua memberikan hukuman ringan pada penyusup, apa menurutmu kami akan diam saja?"
Perkataan Daksa diangguki dan dibenari oleh rombongan. Bahkan seruan-seruan dari saudara seperguruan Daksa meneriaki agar Amdara dan Inay sebagai penyusup harus dihukum mati. Entah dari mana mereka tahu hukuman yang didapat Amdara dan Inay.
Amdara dan Inay masih tetap diam, kedua bocah itu tahu situasinya sekarang. Mau bagaimana pun, mereka memang dianggap penyusup karena masuk tanpa izin. Inay yang biasanya cerewet, mendadak dia tidak berkata apa-apa.
Suasana semakin memanas ketika Daksa mulai memberi aba-aba pada rombongan untuk segera menyerang. Kawa yang mencoba melerai malah terpukul mundur oleh kekuatan Kenes.
"Saudara Kawa ...!"
Inay terlambat menyelamatkan Kawa, alhasil bocah laki-laki itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Inay segera terbang dan membantu Kawa.
Amdara mengepalkan tangan, dia menatap dingin ke arah Daksa, Padma, Kenes dan yang lain. Amdara tidak boleh bertindak gegabah, apalagi dia sekarang dicap sebagai penyusup di negeri asing ini. Jika mengambil tindakan salah, bukan tidak mungkin kematian akan segera menjemput. Lalu bagaimana Amdara akan bertemu dengan orang tuanya? Tidak! Amdara tidak akan mati sebelum bertemu dengan orang tuanya.
"Saudaraku semuanya, mari kita beri hukuman untuk penyusup itu ...!"
Daksa memprovokasi, dia telah bersiap dengan segala kemungkinan. Melihat tidak ada pergerakan dari lawan, membuatnya semakin percaya diri.
Padma menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia nampak merendahkan kemampuan lawan walaupun dia mendengar kekuatan lawan yang besar, tetapi kekuatannya jauh lebih besar dan ditambah oleh kekuatan saudara seperguruannya. Sementara itu Kenes menyilangkan kedua kakinya, terlihat sekali bocah laki-laki itu angkuh.
"Cih, berani sekali penyusup ini."
Tatapan Kenes bertemu dengan Amdara yang masih diam. Entah mengapa Amdara merasa dia harus melakukan sesuatu sekarang sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Amdara tiba-tiba memberi hormat dan kemudian membungkuk. "Tuan-tuan Muda dan Nona Muda, maafkan kami yang telah masuk tanpa izin."
Daksa, Padma, dan Kenes yang melihatnya nampak tak acuh. Mereka malah berkata bahwa penyusup memang seharusnya meminta maaf dan setelahnya lenyap di tangan mereka.
Amdara masih mencoba berbicara baik-baik. "Kami tidak memiliki maksud tersembunyi masuk tanpa izin ke sini. Tolong maafkan kami."
Inay yang melihat Amdara terus-menerus meminta maaf terlihat mengepalkan tangan. Mereka sama sekali bukan pemyusup, tetapi mengapa Amdara harus meminta maaf?! Bahkan Inay yang umurnya lebih tua dari Amdara tidak akan melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya.
"Walaupun kau bersujud dan mencium kaki kami, kau tidak akan mendapatkan maaf. Lebih baik kau segera pergi ke neraka. Penyusup berbahaya seperti kalian sangat membahayakan keamanan sekolah."
Setelah Kenes berucap, senyumannya bertambah. Membuat Inay yang melihatnya langsung mengepalkan kedua tangan. Apa-apaan perkataan bocah laki-laki itu?!
Amdara tetap tenang menghadapi situasi, dia telah berbicara baik-baik tetapi memang tidak bisa. Yang jelas dia tidak akan bersujud dan mencium kaki mereka.
"Kau pikir kami takut dengan jumlah kalian?! Ck, sekalipun harus mati, akan kutarik kalian semua ke neraka!"
Inay berdiri dan menatap tajam Daksa, Kenes, Padma dan yang lain. Mendengar seruan Inay, membuat Amdara merasakan firasat tidak enak.
"Jangan gegabah."
Amdara memberi tanda dengan menatap Inay yang juga menatapnya agar tidak bertindak sembarangan.
Kawa menarik lengan Inay. "Jangan cari masalah dengan mereka." Kawa kembali terbatuk darah.
Namun, Inay malah menangkis tangan Kawa. Untuk apa dia menahan diri lagi? Jika keadaannya sudah seperti ini, tidak ada pilihan lain selain bertarung. Jangan gegabah, ya? Inay tidak akan memedulikan perkataan Amdara sekarang.
"Bukannya mereka yang mencari masalah duluan, yah?"
Inay tersenyum sinis, membuat Daksa, Padma, dan Kenes tertawa lantang dan kemudian langsung menyerang dengan aba-aba dari Daksa.
"Sepertinya kau tidak sabar bertemu iblis neraka. Serang ...!"
BAAM!
Anak-anak dengan usia paling tinggi 15 tahun itu terbang seperti sekelompok burung. Mereka mulai menggunakan kekuatan untuk menyerang Amdara, Inay, dan Kawa karena dianggap memihak pada penyusup.
Inay segera menggunakan rambutnya membuat dinding pelindung. Amdara sendiri membuat pelindung lagi untuk dijadikan tameng dari banyaknya serangan. Jika terus seperti ini, maka pelindung yang dibuatnya dan Inay akan segera hancur.
"Kak Nana, bawa Tuan Kawa pergi berlindung ...!"
Amdara berteriak ketika pelindung dari rambut Inay mulai retak akibat serangan beruntun. Inay mengetahui situasinya, dia segera memperkuat pelindung dan membawa Kawa dengan rambutnya ke tempat aman.
Namun, Padma menghadang dengan menggunakan kekuatannya, dia mengeluarkan jurus air yang membuat rambut Inay lembek.
"Cih, lemah sekali."
Amdara yang melihatnya segera melesat cepat tanpa mengurangi kekuatan pelindung. Bahkan Kenes sampai berdecak karena pelindung yang dibuat Amdara cukup kuat.
Jelas sekali mereka menganggap Amdara adalah seorang bocah laki-laki melihat dari penampilan pakaian.
Amdara membuat gelombang angin, dedaunan dari pohon turut mengelilingi pusaran angin tersebut membuat lawan kesulitan melihat. Kesempatan bagus itu kemudian digunakan Inay untuk menyerang lawan dengan kekuatan besarnya. Daksa, Kenes dan rombongan terpental sejauh lima meter.
BAAM!
"Kuserahkan ini padamu."
Inay melesat pergi membawa Kawa, sementara Amdara mengangguk dan langsung menerjang Padma yang sama sekali tidak goyah dari serangan Inay.
Padma melibaskan tangannya dan seketika angin yang dibuat Amdara menghilang begitu saja.
"Heh, kau pikir anginmu itu bisa menggoyahkanku?"
Padma menyeringai, bocah perempuan itu kemudian membuat tangannya membentuk sebuah pola bunga teratai raksaksa warna biru muncul dari bawahnya.
Amdara masih menggunakan pelindung. Dia tersentak melihat bunga teratai yang begitu besar. Bukan hanya dia, tetapi para junior Padma yang melihatnya nampak terkagum-kagum. Ini adalah jurus terbaik Padma.
Daksa menyeringai, dia tahu bunga raksasa itu adalah teratai hisap, Padma dapat mengendalikannya untuk menghisap musuh. Kesempatan ini dia gunakan menggunakan kekuatannya untuk menyerang Amdara dari jarak jauh. Kenes juga berpikir demikian, dia dan seluruh rombongan menyatukan kekuatan.
"Satukan kekuatan kalian ...!"
Daksa terbang bersama yang lain tanpa mendekat, karena tahu bahaya dari bunga Teratai Hisap itu.
Amdara dapat merasakan ada yang aneh dengan bunga raksasa tersebut. Perasaan familiar ketika dia masih berada di sekte. Amdara menaikkan sebelah tangannya, dia menghembuskan napas pelan.
Angin beliung mulai muncul dari berbagai arah yang kemudian menjadi satu berada di bawah Amdara. Seakan Amdara adalah pengendali angin beliung itu. Amdara memejamkan mata, dia memfokuskan pikiran pada satu titik. Dia tidak boleh bertindak gegabah tetapi juga tidak akan membiarkan seseorang menindasnya.
"Pengendali angin?"
Daksa cukup tersentak, dia terlihat sedikit cemas. Dirinya tahu klan pengendali angin. Mungkinkah bocah laki-laki itu adalah salah satu anggota pengendali angin? Jika benar, maka ini hal berbahaya.
"Hanya pengendali angin biasa. Kenapa kau terlihat khawatir?"
Kenes memicingkan mata melihat raut wajah Daksa. Daksa menggeleng, tidak berniat menjawab kecemasannya.
Sebuah sinar warna biru muncul dari bunga Teratai Penghisap Nyawa. Nampak Padma masih menutup mata.
Sementara kekuatan yang terkumpul pada satu titik di belakang bunga raksasa tersebut terlihat bersinar terang warna-warni.
Semakin tangan Padma naik, semakin bersinar pula bunga Teratai Penghisap Nyawa dan mulai mekar. Amdara mulai merasakan kekuatannya perlahan terhisap oleh bunga itu, dengan konsentrasi penuh, Amdara akan melesatkan anginnya ke arah bunga Teratai Penghisap Nyawa itu karena merasa bunga itu berbahaya.
"Kilatan Angin Aliran Pertama ...!"
"Bunga Tertai Penghisap Nyawa ...!"
Bersamaan Amdara melesatkan kekuatan, Padma juga melesatkan kekuatannya pada bunga itu hingga ledakan dahsyat terjadi. Serangan itu begitu cepat, sampai Amdara tidak menyadari dirinya terlilit sesuatu.
BAAM!
Padma terpental jauh ke arah bangunan asrama hingga setengah hancur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sementara kekuatan yang dikumpulkan Daksa, Kenes dan rombongan melesat ke arah bunga raksasa tersebut setelah bunga itu berhasil melilit tubuh Amdara dan menelannya.
"Akh--"
Amdara merasakan kekuatannya terhisap habis. Ditambah dirinya baru saja mengeluarkan kekuatan besar, tetapi malah tidak berguna sama sekali.
"A-apa ini?"
Blaaar!
Ledakan besar kembali terdengar, bahkan kali ini mengakibatkan sungai berguncang hebat dan pepohonan hangus seketika akibat pantulan serangan. Rombongan Kenes juga terpental jauh akibat dahsyatnya kekuatan mereka yang bertabrakkan dengan angin Amdara. Bahkan bangunan asrama yang letaknya cukup jauh itu ambruk seketika karena tertabrak bocah-bocah yang terpental akibat pantulan serangan barusan.
Tanah retak besar sejauh dua puluh lima meter. Langit menggelap setelah tubrukan serangan dahsyat barusan.
Akibat serangan dahsyat tersebut kepulan asap mengepul di udara berwarna gelap. Inay yang baru saja sampai ke tempat kejadian setelah dirinya membawa Kawa ke tempat aman terkejut bukan main.
"Amdara ...!"
Inay berteriak, berharap adik seperguruannya itu menjawab. Karena adanya kepulan asap yang begitu banyak membuat Inay tidak dapat melihat apa pun.
Inay menggunakan kekuatannya untuk membuat asap tersebut menghilang tetapi anehnya asap itu tidak bisa menghilang.
"Asap apa ini?!"
Sebuah aliran kekuatan murni tiba-tiba saja memusat pada satu titik di atas membuat perlahan asap itu menghilang memperlihatkan seseorang berjubah putih tengah terbang.
"Tetua Haki?"
Inay merasakan kekuatan besar yang membuat pundaknya seperti ditekan. Tatapannya masih tertuju pada Tetua Haki yang terlihat seperti malaikat kematian dengan mata tajam mengarah ke bawah tepat ke bunga raksaksa biru.
Sebuah pelindung baru saja retak begitu tiba-tiba. Inay yang melihat bunga Teratai Raksasa itu tersentak karena bunga tersebut berubah berwarna hitam pekat. Ditambah bunga Teratai Penghisap Nyawa memancarkan aura membunuh dan aura gelap.
Tetua Haki mendarat. Tetua itu baru saja sampai untuk melihat asrama, tetapi dia terlambat mengehentikan pertarungan ini.
"Teratai Penghisap Nyawa, siapa yang menggunakan jurus berbahaya ini?"
Tetua Haki tentu terkejut karena ada jurus berbahaya ini digunakan di sekolah. Jika digunakan untuk menyerang musuh kuat, itu tidak akan menjadi masalah tetapi mengapa jurus ini dikeluarkan di sekolah? Apa ada musuh?
Terlebih lagi teratai ini telah berwarna hitam yang menandakan bahwa telah menelan korban. Tetua Haki terlambat mencegah korban yang dimakan oleh bunga Teratai Penghisap Nyawa.
Tetua dari sekolah Magic Awan Langit itu kemudian mulai menyerawang, memastikan siapa yang menjadi korban.
Bau anyir menyeruak begitu saja ketika Tetua Haki mencoba membuka bunga Teratai Penghisap Nyawa. Namun yang pasti ada seseorang di dalam bunga itu.
"Bocah berambut putih?"
Mendengar perkataan Tetua Haki, membuat Inay teringat pada Amdara. Dia tidak melihat Amdara di sekeliling. Perasaan Inay mendadak tidak enak.
"Tetua, apa yang sebenarnya terjadi?!"
Tetua Haki mencoba menenangkan diri setelah menyerawang. Dia nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Seorang bocah berpakaian laki-laki tercabik-cabik dengan darah segar mengalir deras. Di dalam bunga Teratai Penghisap Nyawa terdapat seperti taring yang menusuk tubuh bocah kecil itu. Di tambah lagi Tetua Haki hampir tidak merasakan kekuatan spiritual bocah berambut putih tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments