Zahra melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan jantung yang terus berdetak tidak karuan. Tatapan kurang baik dari rekan-rekan kerjanya, membuat hatinya sedikit tidak nyaman berada di sana. Seharusnya ia mendengarkan kalimat Ayah mertuanya sebelum pernikahan untuk tidak datang lagi ke rumah sakit ini.
"Wah kamu hebat banget ya? Pakai pelet apa sih?" Pertanyaan beruntun yang begitu menyakitkan, membuat Zahra menghentikan langkah kakinya.
Si penyebar gosip paling handal di rumah sakit, sedang berada di hadapannya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, terlihat dokter Meisya yang juga sedang menatapnya tidak bersahabat.
"Heran ya, di mana-mana perebut itu selalu tidak lebih baik dari pemilik aslinya." Ucap wanita yang mengenakan seragam yang sama seperti dirinya, membuat hati Zahra semakin sakit. Namun, ia kembali melanjutkan langkah tanpa membantah perkataan itu, dan hanya berusaha untuk menguatkan hatinya.
Tidak perlu mencari pembenaran atas apa yang sudah terjadi. Karena kebanyakan orang hanya akan menilai sesuai apa yang mereka lihat, dan tidak akan peduli apa sebenarnya yang terjadi.
"Jilbab panjang mu itu di lepas aja, ga cocok." Ujar perawat yang lain.
Zahra membalik tubuhnya, menatap sendu wanita yang begitu tega menghakimi dirinya tanpa tahu kebenarannya.
Yang semakin menyakitkan lagi, dia tahu dokter Meisya mengetahui hubungan rumit yang sedang mereka jalani, namun, dokter cantik itu sama sekali tidak peduli dengan hinaan karyawan lain terhadap dirinya, bahkan terlihat begitu menikmati.
"Sikap dan jilbab ku tidak ada hubungannya sama sekali. Aku mengenakan jilbab semata karena Allah mewajibkan untuk wanita muslimah mengenakan nya. Dan jika sikap ku hari salah, maka itu murni kesalahan ku." Jawab Zahra. Ia kembali membalik tubuhnya, dan berniat meninggalkan rumah sakit itu.
Namun, saat ia berhasil melewati ruangan tempat dokter Meisya berada, seseorang menggenggam tangannya erat sehingga membuat langkah kakinya terhenti.
"Mas.." Lirihnya bersama air mata yang menetes membasahi pipi.
Riyan menatap Zahra penuh rasa bersalah. Semua kesalahan ini ada pada dirinya, namun, kini Zahra yang menjadi sasaran seluruh karyawan di rumah sakit ini.
"Apa kalian tidak punya pekerjaan? Hingga memiliki banyak waktu untuk mengurusi urusan orang lain?
Apa perlu aku mengirim kalian kembali ke rumah masing-masing?" Ujar Riyan kesal sambil menggenggam tangan Zahra dengan erat.
Di ujung ruangan, Meisya segera berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Begitu jelas terlihat di matanya kemarahan, namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku antar pulang." Pinta Riyan.
Zahra tidak menjawab apapun. Sejujurnya ia merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Terlebih ketika mengingat Meisya juga adalah istri dari laki-laki yang kini menggenggam erat tangannya.
"Benar kata Ayah, Ra. Alangkah baiknya kamu ga usah kerja lagi, dan temani Ibu di rumah." Ujar Riyan sambil melangkah keluar dari gedung rumah sakit menuju parkiran. Jemari Zahra masih terus berada di dalam genggamannya.
"Mas, maafkan aku. Sungguh aku minta maaf. Seharusnya kita bicarakan semua ini pada Ayah dan Ibu, dan Mas bisa kembali lagi bersama dokter Meisya." Ucap Zahra terbata. Air matanya terus luruh membasahi pipi. Entah apa yang sedang ia tangisi hari ini. Penghinaan dari rekan kerjanya, atau rasa bersalah pada Meisya, atau justru menangis karena takut kehilangan Riyan.
Riyan terdiam sebentar di samping pintu mobil yang baru saja di masuki Zahra. Menatap sendu wanita yang baru seminggu ini resmi menjadi istrinya itu.
"Berikan aku waktu sebentar lagi. Akan seperti apa nanti jika kita berpisah dengan usia pernikahan yang baru seminggu. Ibu dan Ayah pasti akan sangat kecewa pada ku, Ra." Pinta nya memohon.
Zahra mengusap air matanya, lalu berusaha untuk kembali tersenyum seperti biasanya. Ia tahu, beban yang sedang di tanggung Riyan, jauh lebih banyak dari nya.
"Jika Mas punya kerjaan, aku akan naik taksi aja." Ujarnya. Namun, Riyan segera menggeleng kemudian menutup pintu mobil itu lalu melangkah menuju pintu mobil yang lain dan masuk ke dalam.
"Aku bisa sendiri, Mas." Zahra terkejut saat tubuh Riyan begitu dekat dengannya. Lelaki itu sedang memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya dengan sangat hati-hati.
"Maafkan aku karena membawamu pada situasi ini." Riyan mengusap kepala Zahra yang tertutup hijab. "Rayan akan memukul ku karena sudah membuat mu menangis hari ini." Sambungnya.
Zahra masih diam. Menikmati debaran jantungnya yang menggila karena sikap Riyan hari ini. Jika Riyan seperti ini, bagaimana ia bisa menghapus rasa yang sudah tertata rapi di dalam hatinya? Yang ada, rasa itu akan semakin bertambah rapi.
"Ra..." Panggil Riyan.
Zahra menoleh, menatap wajah samping Riyan sambil menunggu apa yang ingin di bicarakan oleh laki-laki di sampingnya ini. Karena Riyan tak kunjung berbicara, ia kembali mengalihkan tatapannya pada jalanan melalu kaca jendela mobil.
"Benar kata Rayan, kamu adalah gadis yang baik. Seharusnya aku tidak melakukan hal ini padamu dan Meisya." Ujar Riyan lagi.
Kali ini Zahra tidak lagi menoleh ke arah suaminya itu. Ia hanya terus menatap bangunan-bangunan yang seakan ikut bergerak saat di lewati oleh mobil yang sedang membawanya.
"Apa menurutmu terlalu serakah namanya, jika aku tidak ingin melepaskan mu juga?" Tanya Riyan. Kali ini, pertanyaan itu berhasil membuat Zahra menoleh.
"Lakukan apapun yang menurut Mas baik. Dan aku pun akan melakukan hal yang menurut ku baik. Jika pun nanti, apa yang menurutku baik ini salah, maka biarlah aku akan mempertanggung jawabkan di Hadapan Nya nanti." Jawab Zahra. Semenjak malam pertama penuh kepedihan itu, ia sudah memutuskan akan tetap bersedia menjadi istri dari seorang Riyan walau statusnya hanyalah istri kedua yang tidak di cintai. Yang terpenting adalah, Riyan masih memperlakukan dirinya dengan begitu baik.
"Bisakah aku meminta mu menunggu?" Tanya Riyan.
"Selama kamu belum memintaku pergi, selama itu pula aku masih akan tetap berada di sini. Aku akan tetap berada di rumah itu, bersama Ibu dan juga Ayah." Jawab Zahra yakin.
Riyan tersenyum, kemudian mengusap lembut kepala Zahra.
Beberapa hari setelah pernikahan itu, ia banyak berpikir. Bukan kah dalam Islam tidak di haramkan? Zahra mau menerima, itu berarti tugasnya hanya perlu meyakinkan Meisya kemudian mengatakan hal yang sebenarnya pada kedua orang tuanya, dan kepada orang tua Meisya.
Mobil terus melaju di jalanan Jakarta menuju rumah kedua orang tuanya. Hatinya sedikit lega, karena Zahra tidak terlalu mempermasalahkan kejadian di rumah sakit tadi. Itu berarti tugasnya hanya perlu membuat Meisya agar tidak ikut-ikutan menghakimi Zahra. Karena bagaimana pun, semua ini sudah menjadi kesepakatan mereka sebelum pernikahan terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Mae_Tari
Maruk banget sih kamu jadi manusia. Dua-duanya kok mau di embat semua 😡
2022-08-22
0
IKa Mariana
Serakah si Riyan ini...kl nggk cinta Zahra mending lepasin aja...dia jg berhak bahagia...jd laki koq lembek nggk ada teges2 nya...dasar pecundang
2022-08-22
0
Sarifah azzamalfatih
kecewa sama Riyan dan zahra...
Meisya lepas kan aja Riyan Krn gak punya pendirian daripada tetap bersama dan sakit ujung² nya...
seharusnya kw yg tegas Zahra sruh milih klo Dy mw 2² nya bagus kw mundur krn memang kw org yg secara tidak langsung masuk merusak hubungan mereka berdua...
berharap Meisya yg pergi dan smoga dapat pengganti Riyan yg lebih baik...
biarkan wktu yg menghukum Riyan dan zahra...
tp klo Zahra gak egois dan mw mundur,aq berharap Dy juga dpt pengganti Riyan yg lebih baik lagi...
dtunggu kelanjutan...
2022-08-22
0