Bab 7. Flashback Part 3

Setelah kepergian Zahra menuju ruang kerjanya, kedua saudara kembar itu kembali bercengkrama di dalam ruang perawatan itu. Rayan menceritakan banyak hal tentang Zahra, dan Riyan hanya menjadi penyimak yang baik.

Bukan karena tidak menghargai Rayan yang ingin mendekatkan dirinya dengan Zahra, namun, ia tidak ingin rasa semangat hidup dari adiknya itu semakin menipis.

"Jika Zahra tidak bahagia, aku sendiri yang akan menuntut mu di akhirat nanti." Ujar Rayan. Lelaki yang semakin terlihat memucat itu, menatap serius ke arah sang kakak.

"Makanya kamu tetap di sini, dan pastikan dia bahagia dengan tangan mu sendiri." Jawab Riyan dengan mata berkaca-kaca.

Rayan menggeleng lemah.

"Tolong jaga Zahra, Bang. Aku sangat mencintainya. Kamu ga akan nyesal nikah sama dia. Zahra gadis yang baik." Ucap Rayan lagi.

"Udah diam aja. Kamu harus istirahat." Pinta Riyan. Dia tahu ada yang tidak beres dengan adiknya.

"Nggak. Aku ngga akan berhenti bicara sebelum Abang mengiyakan permintaan ku." Ucap Rayan dengan mata mulai sayu. "Tolong Bang. Biarkan aku pergi dengan tenang, karena memastikan Zahra berada di tangan laki-laki yang tepat." Sambungnya lagi.

Cairan bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata, mulai jatuh membasahi pipinya. Riyan tidak lagi bisa bersuara karena menahan sesak. Hingga dengan lemas tangannya menekan tombol merah yang menempel di ranjang tempat adiknya berbaring agar petugas medis segera datang ke ruangan adiknya.

"Bang..." Suara lemah yang semakin membuat hati tersayat, kembali terdengar.

Helaan nafas yang mulai terputus-putus membuat Riyan yang memang seorang dokter, mulai mengambil tindakan.

"Ngga usah Bang, jangan lakukan itu." Tangan lemah menggapai kedua tangan sang kakak yang sudah berada di atas dadanya dan bersiap memberikan pertolongan sebagai seorang dokter.

"Ya udah, tunggu sini sebentar. Abang panggilkan Dokter dan Zahra. Abang juga mau menghubungi Ibu dan Ayah." Izin Riyan namun, Rayan segera menggeleng lemah.

"Temani aku Bang. Aku ngantuk." Jawabnya.

"Jangan, jangan tutup mata mu." Pinta Riyan memohon. Tangannya bergetar, dan langsung meraih tangan adiknya kemudian menggenggam nya erat.

"Zahra, tolong ya Bang. Jaga dia." Ucap Rayan lagi.

Riyan langsung mengangguk, dan senyum di wajah Rayan pun terlihat begitu hangat. Senyum yang akan mengantarkan dirinya ke kehidupan selanjutnya.

"Bisikkan aku ucapan perpisahan yang baik." Suara Rayan semakin lemah. Namun, senyum di bibir yang tak memiliki aliran darah itu masih terlihat dengan jelas.

Riyan menggeleng dengan air mata yang semakin tumpah ruah di wajah nya.

Melihat nafas Rayan yang mulai berat, juga tidak ada lagi ocehan dari adiknya itu, membuat Riyan sadar jika kalimat yang di minta adiknya adalah kalimat yang akan mengantarkan adiknya itu, agar bisa pergi dengan tenang.

Dua kalimat syahadat pun berulang kali ia bisikkan di telinga Rayan dengan suara serak menahan tangis agar tidak semakin pecah di sana. Air matanya terus tumpah nyaris membuat suaranya hilang. Hingga akhirnya, manik yang sejak tadi terus menatapnya penuh permohonan mulai tertutup perlahan.

"Nak..." Suara lirih terdengar di telinga Riyan. Lelaki yang nampak begitu lemah karena menyaksikan kepergian orang yang paling ia sayangi. Melirik jam mahal yang melingkar di pergelangan tangannya lalu menatap sepasang suami istri paruh baya yang sudah berada di dalam ruangan.

"Waktu kepergian pukul enam lebih tujuh belas menit." Ucap Riyan.

Eliana segera masuk ke dalam pelukan Kenan dan menangis di sana.

"Dia tidak akan lagi kesakitan, Sayang." Ucap Kenan dengan mata air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya.

"Aku sedih tidak sempat mengantar kepergiannya." Eliana terus tersedu dalam pelukan suaminya.

"Pergilah ucapkan perpisahan padanya. Jangan sampai air matamu mengenainya." Pinta Kenan lalu perlahan mendekati ranjang tempat putra keduanya terbaring kaku.

Eliana mengecup kening putra nya. Mengucapkan kalimat perpisahan yang semakin membuat Riyan tidak tahan untuk tidak menitikkan air matanya.

Kenan pun melakukan hal yang sama. Lelaki itu mengecup lembut kening putranya sebagai perpisahan. Sejak dulu ia sudah mengikhlaskan apa yang terjadi pada putranya ini. Karena sejatinya, semua hal yang ada di dunia hanyalah titipan dan kapan saja bisa di ambil oleh pemilik Nya.

Para team medis yang seharusnya datang, hanya berdiri di luar ruang perawatan. Mereka tahu, jika laki-laki yang berada di dalam ruangan itu adalah seorang dokter ahli, untuk itu mereka memilih untuk berdiri di sana.

Dari beberapa anggota medis yang ada di sana, salah satunya adalah Zahra. Riyan melihat dengan jelas, gadis yang sedang tertunduk itu, berulang kali mengusap wajah menggunakan hijab panjangnya.

Hingga akhirnya, seseorang yang sering ia panggil dengan sebutan Om yang tidak lain adalah pimpinan rumah sakit, mengajak Zahra untuk masuk ke dalam ruangan itu, dan meminta petugas lain untuk kembali ke ruangan kerja mereka masing-masing.

Melihat Zahra sudah memasuki ruangan, Eliana segera menghambur dan memeluk gadis itu dan menangis di sana.

"Maafkan kami." Ucap Eliana terbata. Walau begitu, Zahra bisa mendengar dengan jelas permintaan maaf itu. "Kami tahu dia tidak akan bisa menemanimu, tapi kami tetap datang untuk meminang mu. Maafkan kami." Ucap Eliana lagi.

Zahra tidak menanggapi. Ia juga tahu. Untuk itu, bukan salah Rayan jika dirinya ikut membangun harapan untuk hidup lebih lama bersama laki-laki itu.

"Boleh Zahra berpamitan dengannya?" Izinnya.

Eliana segera mengangguk.

Zahra melangkah mendekati ranjang, lalu menunduk di samping wajah Rayan, walau tidak sampai menyentuhnya karena sadar atas hubungan mereka masih sebatas calon.

"Aku akan bahagia. Itu kan yang kamu mau? Tenang aja aku akan bahagia. Jika nanti Allah tidak akan mengirim laki-laki sebaik dirimu di dunia, tidak apa-apa kan aku memintamu untuk menungguku di sana?" Zahra mengusap air matanya agar jangan sampai menetes dan jatuh di bagian tubuh Rayan.

Eliana kembali mendekat, lalu mengusap pundak gadis yang di cintai oleh putranya itu.

Setelah mengucapkan kalimat yang membuat air matanya jatuh, Zahra melangkah memberi jarak agar Riyan dan pimpinan rumah sakit untuk mengurus jenazah kekasih hatinya.

Zahra menengok ke arah calon ibu mertuanya yang masih terus menangis dalam pelukan suami nya. Ia pun kembali mengusap pipi menggunakan hijab.

Jenazah Rayan pun segera di keluarkan dari rumah sakit, dan bersiap di bawa pulang ke rumah, agar segera di makamkan hari ini juga.

Semua orang sedih atas kepergian orang yang di cintai. Termasuk dirinya dan juga keluarga Rayan. Namun, mengingat selama ini Rayan menderita karena penyakitnya, akan lebih baik seperti ini. Dengan kepergiannya ini, itu berarti Allah telah memutus rasa sakitnya dan bisa kembali menikmati kehidupan yang kekal di sana.

Terpopuler

Comments

Jumadin Adin

Jumadin Adin

innalillahi wainna ilaihi rojiun...selamat jln rayyan

2022-12-23

0

Ning Aja

Ning Aja

ya allah aku nangessss benaran ini... 😭😭

2022-10-22

0

Reni giany

Reni giany

sedih bet😭

2022-09-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!