Sebulan telah berlalu setelah kepergian Rayan. Pada akhirnya, rencana pernikahan nya dengan mendiang kekasihnya yang telah pergi, di batalkan oleh keluarga karena tak kunjung ada jawaban dari nya tentang tawaran Riyan yang ingin menikahinya.
Malam mulai beranjak pergi. Waktu di sepertiga malam adalah waktu yang tepat untuk di gunakan mengadu pada sang maha kuasa tentang keresahan yang membuat kita bimbang. Setelah kembali dari kediaman calon mertua nya, Zahra memilih utuk berdiam diri di dalam kamar. Berpuluh-puluh menit waktu berlalu, kantuk yang ia harapkan, masih belum juga datang menyapa. Hingga akhirnya ia memilih untuk membasuh bagian-bagian tubuhnya dengan air wudhu dan memulai shalat malam nya.
Entah sudah berapa lama waktu yang ia habiskan di atas sajadah. Lembaran-lembaran kitab suci yang selalu menemani harinya, sudah banyak yang ia baca. Permintaan laki-laki yang seharusnya menjadi kaka iparnya sore tadi, masih terus menari-nari di benaknya.
Namun, waktu sudah hampir di penghujung malam, mungkin kurang dari satu jam lagi adzan subuh akan berkumandang, dan ia masih belum juga mendapatkan jawaban yang tepat dari permintaan keluarga calon suaminya yang telah berpulang sore ini.
"Mas, apa yang harus aku lakukan ?" Tanyanya setelah menutup kitab suci yang ada di atas pangkuannya. Ia memeluk kitab suci itu dengan erat.
Mukenah berwarna putih gading, basah dengan air mata yang terus saja mengalir dengan sendirinya. Pipinya semakin sembab, matanya makin membengkak karena terlalu banyak menangis hari ini.
"Maafkan aku, Mas. Bukan karena tidak mengikhlaskan kepergian mu, namun, di mana lagi aku mencari orang sebaik dirimu di dunia ini." Zahra kembali mengusap pipinya menggunakan mukenah.
****
Tok... tok... tok...
Ketukan di pintu kamarnya membuat Zahra terjaga. Ia baru sadar jika ia terlelap di atas sajadah. Mukenah masih membalut tubuh kecilnya, ia lalu beranjak dari atas sajadah yang tergelar di lantai kamarnya, kemudian melangkah menuju pintu kamar untuk melihat siapa yang datang.
"Ibu ?" Ucapnya saat melihat ibu panti sudah berdiri di depan kamarnya.
"Ibu pikir kamu terlelap. Ya sudah lanjutkan shalat mu, Nak." Wanita paruh baya itu mengusap lembut kepala anak asuhnya, kemudian segera berlalu dari sana. Melihat wajah sembab menyedihkan putrinya, sungguh begitu memilukan.
"Ara akan menerima lamaran dari Mas Riyan, Bu." Ucap Zahra, dan langsung menahan langkah kaki wanita paruh baya itu. "Ibu kan bilang, selain rezeki, salah satu yang tidak bisa kita tolak adalah niat baik orang lain. Mas Riyan berniat baik kan, Bu ?" Sambungnya dengan mata berkaca.
Sejujurnya ini berat untuk nya, namun saat bertemu dengan sang kekasih di dalam mimpinya semalam, ini adalah keputusan yang paling baik menurutnya.
Ibu panti yang sudah merawat Zahra sejak kecil itu, kembali berbalik dan melangkah cepat kemudian membawa Zahra ke dalam pelukan.
"Kita tidak akan tahu kemana takdir akan membawa kita. Tapi yakin lah Nak, setiap takdir baik atau buruk yang datang nay dari Allah, kita harus mempercayainya. Yakin Allah akan memberikan jodoh terbaik untuk umat Nya yang baik seperti kamu." Ucap wanita itu sambil mengusap punggung Zahra yang tertutup mukenah.
Zahra mengangguk, ia pun percaya akan hal itu. Semua adalah yang terbaik, ia selalu melihat dengan cara yang positif setiap cobaan yang datang menyapa dalam hidupnya.
*****
Sama seperti Zahra, Riyan berdiri di balkon kamar tidurnya dengan ponsel yang terus ia genggam dengan erat. Ingin sekali menghubungi seseorang yang sedang berada di bangunan lain di kota yang sama ini, namun, ia bingung harus memulai nya dari mana. Meisya adalah satu-satunya gadis yang menduduki tempat istimewa di hatinya, dan ia bingung harus mengatakan apa pada gadis itu tentang keputusannya kemarin.
Riyan kembali memasuki kamar tidurnya dan meletakkan ponsel itu ke atas meja tanpa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan pada seseorang yang mungkin saat ini sedang menunggu kabar darinya malam ini. Laki-laki yang masih mengenakan piyama itu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Jelang beberapa saat kemudian, lelaki itu sudah terlihat segar keluar dari dalam kamar mandi, dan mulai mengelar sajadah di samping ranjang mewah nya.
Yah, tempat yang tempat untuk membagi beban pikiran yang terasa berat, tidak lain adalah kepada sang maha kuasa.
Setelah menggelar sajadah di atas lantai, di tempat biasa dia melakukan kewajiban kepada sang khalik itu, Riyan kembali melangkah masuk ke dalam ruang ganti untuk mengganti pakaian.
Saat melewati ranjang, Riyan mengurungkan niatnya menuju ruangan kecil yang ada di dalam kamarnya, dan lebih dulu melangkah menuju nakas yang ada di samping ranjang. Satu buah pigura kecil yang ada di atas nakas, di raihnya lalu membawanya masuk ke dalam ruang ganti.
Setelah bersiap, Riyan kembali menuju kamar dan memulai kewajibannya di waktu dini hari.
Perbaiki niat, maka Allah akan mempermudah segalanya. Berniat baiklah terhadap apapun, niscaya segala proses hingga hasilnya nanti, akan di perbaiki oleh Nya.
Menikah tidak selamanya perihal tentang cinta, namun, dengan menikah kita akan tahu jika mencintai seseorang yang di nikahi itu wajib hukumnya.
Setelah dua rakaat yang ia tunaikan, Riyan masih begitu betah duduk di atas sajadah. Wajah pucat yang selalu tersenyum saat melihat kepulangannya dulu, kembali melintas. Kali ini ia ikut tersenyum, dengan air mata yang kembali menetes membasahi pipi.
"Aku ngga apa-apa kok, Mas. Aku sadar kamu lebih pantas bersama Mei dari pada aku." Kalimat singkat yang menjadi penutup hubungan rumit di antara mereka dulu, kembali terngiang di telinga Riyan.
Dulu, Rayan merelakan Mei untuk terus menjalin hubungan dengannya, padahal adik nya itu pun sangat mencintai Meisya. Dan sekarang, ia memutuskan untuk melepaskan gadis itu dan memutuskan menikahi gadis yang di cintai oleh adik nya.
Riyan menarik nafasnya dalam-dalam, untuk mengurangi gemuruh di dalam dadanya. Wajah bahagia Meisya saat ia berjanji akan menikahi gadis itu setelah berhasil menduduki jabatan sebagai pimpinan rumah sakit, kembali terngiang. Ia beranjak dari atas sajadah, lantas melangkah menuju meja kerja yang ada di dalam kamarnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi nomor ponsel kekasihnya, untuk memberitahu semua keputusannya sekaligus mengakhiri kisah yang sudah bertahun-tahun mereka bangun bersama.
Panggilan terhubung, tapi gadis yang sedang ia hubungi tak kunjung mengangkat panggilannya. Riyan melihat waktu di layar ponselnya, lalu tersenyum penuh rasa bersalah. Meisya masih terlelap. Gadis itu bukanlah gadis yang berasal dari keluarga seperti dirinya.
Riyan kembali meletakkan ponsel itu ke atas meja kerjanya, dan mulai memeriksa semua pekerjaannya. Duka masih menyelimuti, tapi tidak bisa di pungkiri jika hidup mereka pun harus tetap berlanjut. Rumah sakit yang kini masih di pimpin oleh pamannya, membutuhkan orang yang akan mengurusnya nanti. Jadi apapun alasannya, ia tetap harus menjalani hidup nya dengan baik, walau tanpa adik kembarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Jumadin Adin
mulai dari orang tuanya,perjalan cintanya begitu rumit dan sulit
2022-12-23
0
Reni giany
perjalanan cinta yg rumit
2022-09-02
0
Siti Nurhayani
tanpa sadar kmu menyakiti k'duany... emng enak sudah menunggu lma trus d tingglkn ngenes bngt'kn😭😭😭... jahat bngt kmu Ryan... demi sebuah janji kpda yg sdh mninggl sakit bngt pasti d tingglkn tanpa ad kesalahan
2022-08-20
1