Bab 2. Tidak Ada Malam Pengantin

Pov Zahra

~Hancur sudah seluruh angan ku untuk memulai kisah yang baru bersamanya. Dia, laki-laki yang di pilihkan seseorang untuk ku, hanya meninggalkan noda di malam pengantin kami. Entah siapa yang salah, tapi hatiku perih saat tahu aku bukanlah satu-satu nya wanita dalam hidupnya.~

****

Aku terdiam tak mengerti sambil menggenggam erat sehelai kertas yang sudah di bubuhi selembar materai. Berulang kali aku membaca poin-poin yang tertulis di atas kertas itu, sambil meyakinkan hatiku jika ini bukanlah kebenaran. Namun, saat aku mengangkat wajahku, dan berusaha menatap mata milik laki-laki yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi suami ku, air mata ku luruh. Ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi keadaan ini begitu menyakitkan.

Sekali lagi aku ingin meyakinkan hati ku, berharap pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang tak berujung. Namun, saat aku menanyakan perihal perasaannya padaku, jawaban yang ku dapati justru semakin membuat harapan ku hancur tak bersisa.

Gegas aku beranjak dari ranjang tempat kami duduk, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mengambil pakaian ganti dari dalam koper lalu ikut membawanya masuk ke dalam kamar mandi.

Tak ada yang tersisa dari pernikahan ini, namun, hati ku masih enggan untuk memberikan keputusan. Entah mengapa, rasa yang belum terbentuk untuknya, enggan untuk di ajak pergi.

Cukup lama aku menghabiskan waktu di dalam kamar mandi mewah yang ada di dalam kamar itu. Menatap wajah ku di depan cermin yang tersedia di sana. Menghirup sebanyak mungkin oksigen yang tetap saja membuat dadaku sesak.

Gaun putih indah, masih membalut sempurna di tubuhku. Hanya hijab panjang penutup mahkotaku, yang sudah terlepas dari tempatnya.

Senyum miris kembali terlihat di sudut bibirku. Bagaimana bisa ini terjadi. Dia, laki-laki yang ingin ku persembahkan seluruh yang ku punya, bahkan belum sempat melihat rambut panjang ini. Tapi, dengan begitu jahatnya, takdir membawaku pada keadaan ini.

Setelah puas melamun kan kisah ku yang begitu menyedihkan, aku bergegas membersihkan diri. Sejak awal, aku ingin menyempurnakan ibadah ku dengan menerima pinangan nya. Jika mereka merencanakan menodai pernikahan dengan surat perjanjian itu, maka itu bukanlah tanggung jawab ku.

Setelah membersihkan diri dan mengenakan piyama serta hijab yang ku bawa masuk ke dalam kamar mandi, aku kembali melangkah keluar dari dalam bilik itu.

Saat tubuhku sudah berada di dalam kamar, aku tak lagi mendapati laki-laki itu. Sejenak aku terdiam, lalu mendengar suara samar dari balkon kamar tidur kami. Dan yah, itu dia. Jangan di tanya lagi dengan siapa ia sedang berbicara memalui telepon, tentu saja dengan wanita yang mungkin saat ini sedang terluka sama seperti diri ku.

Tidak ingin mengganggu mereka, aku segera berbalik dan keluar dari dalam kamar pengantin kami. Aku butuh air dingin, untuk mendinginkan kepala ku agar tidak sampai mengambil keputusan yang akan aku sesali nanti.

"Pengantin baru kok berkeliaran di jam segini." Suara lembut menenangkan yang sudah tidak asing lagi, membuat langkah kaki ku berhenti. "Mau ke mana, Nak?" Suara lembut itu kembali terdengar.

"Ara mau ambil minum, Bu." Jawab ku.

Wanita cantik itu tersenyum, lalu meraih tangan ku dan membawanya menuju dapur.

"Kamu takut ya?" Tanya Ibu mertuaku lagi. "Jangan terburu-buru. Kalian akan punya waktu seumur hidup kalian untuk menyesuaikan diri. Tidak usah terlalu di pikirkan. Malam pertama tidak selamanya harus di lakukan di malam pengantin."

Tawa wanita cantik yang tidak lagi muda, membuatku ikut tersenyum.

Yah, mungkin aku punya waktu seumur hidupku, namun, bagaimana jika putra mu tidak ingin melakukan malam pertama itu, Ibu. Begitulah batin ku berteriak. Bukan aku yang tidak ingin di sentuh oleh nya, tapi dialah yang lebih dulu melemparkan surat perjanjian padaku, dan berjanji tidak akan memetik ranum tubuhku.

"Ada apa? Apa di sudah lebih dulu terlelap? Biar Ibu bangunkan!" Kata Ibu mertuaku lagi dengan berapi-api, dan aku segera menggelengkan kepala.

"Mas Riyan sedang membersihkan diri, Bu." Jawab ku.

Wanita cantik di hadapan ku tersenyum.

"Jika Riyan melakukan sesuatu yang membuat mu terluka, bilang Ibu ya. Ibu punya tanggung jawab besar untuk memastikan dia memperlakukan mu dengan baik."

Aku kembali tersenyum, di sertai anggukan. Berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapan mertua ku. Untuk masalah ini, biarlah Mas Riyan yang akan menyelesaikan nya. Karena dirinya lah yang memulai ini semua.

Jelang beberapa saat, laki-laki yang sedang menjadi topik pembahasan kami, terlihat sedang melangkah cepat menuju ke ruangan di mana kami berada. Ia menatap ku dengan sendu. Mungkin saja dia berpikir aku sudah menceritakan permasalahan kami kepada Ibu mertua ku.

"Bu....

"Mas, aku kan sudah bilang ga usah di susul. Aku bisa sendiri kok ambil air nya." Sela ku cepat sebelum masalah di antara kami semakin runyam.

Mas Riyan menatap ku bingung, namun, aku tetap tersenyum manis memamerkan deretan gigiku yang putih.

"Ya sudah, Ibu tinggal. Lain kali jangan biarkan Ara melakukan semuanya sendiri. Wanita, jika sudah terbiasa tanpa suami, maka suami tidak akan ada artinya lagi." Ucap Ibu mertuaku lagi sebelum berlalu dari ruangan tempat kami berada.

Setelah kepergian wanita baik itu, aku kembali melanjutkan niatku untuk mengambil segelas air putih. Duduk sebentar di kursi makan, lalu meneguk setengah gelas air itu, dengan perlahan.

Mas Riyan pun ikut melangkah, dan duduk di hadapan ku.

"Ra...

"Kita bicara di kamar, Mas." Sela ku sebelum laki-laki di hadapan ku ini membeberkan masalah kami di ruang makan.

Mas Riyan pun menurut. Ia tidak lagi melanjutkan kalimatnya, dan ikut beranjak dari kursi yang ia duduki lalu melangkah keluar dari ruang makan itu menuju kamar tidur kami.

Saat tiba di dalam kamar pengantin kami, aku langsung menuju ranjang untuk membersihkan kelopak bunga yang berhamburan di atas ranjang mewah itu.

Sedangkan Mas Riyan, memilih duduk di sofa yang tersedia di sana. Menatap ku yang terlihat sibuk membersihkan hiasan-hiasan di dalam kamar itu.

"Ra, maafkan aku." Ucapnya, aku masih diam sambil membersihkan kelopak mawar yang sudah berhamburan di atas lantai dan membawanya menuju tempat sampah.

Setelah selesai, aku duduk di atas ranjang yang sudah terlihat biasa saja dan menatap wajah suamiku dengan lekat.

"Aku tidak akan menandatangani perjanjian itu, Mas. Aku ingin menjalani pernikahan sebagai penyempurna ibadah dan memetik pahala di sana. Maaf, aku tidak mau mengikuti kalian berdua, dan mengecewakan Ibu. Selesaikan urusan Mas, aku akan tetap di sini menunggu." Ucapku yakin, membuat Mas Riyan menatap ku tidak percaya.

Terpopuler

Comments

Jumadin Adin

Jumadin Adin

okay...lanjutan menggenggam janji

2022-12-23

0

ZaeV92

ZaeV92

ara aku kagum padamu apa sama author hebat nya😍

2022-08-22

0

ZaeV92

ZaeV92

zahra yang salah author nya😦

2022-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!