Dua minggu berlalu begitu saja. Selama itu, Riyan tidak lagi pernah kembali ke rumah kedua orang tuanya, dan memilih beristirahat di ruangan tempat Meisya di rawat. Namun, begitu belum juga ada tanda-tanda kemajuan dari Meisya. Wanita itu masih terus terbaring dibatas ranjang, dan belum sadar dari koma nya.
Seperti hari-hari biasanya. Zahra akan membawakan makanan serta pakaian ganti untuk Riyan. Tidak lupa pula, gadi itu begitu ikhlas membantu suaminya untuk mengurus segala keperluan Meisya seperti halnya seorang perawat profesional.
Hari ini, dengan gamis berwarna dongker di padukan dengan hijab panjang dengan warna senada, Zahra kembali meluncur menuju rumah sakit. Beberapa perawat yang dulu sering menatapnya jijik, perlahan mulai terlihat baik bercampur iba terhadap dirinya, setelah rumor pernikahan siri antara Riyan dan Meisya tersebar di lingkungan rumah sakit.
Beberapa rekan kerja yang dulu berada di ruangan yang sama dengan dirinya, beberapa kali mencari tahu kronologi hubungan rumit antara dirinya dan dua dokter populer di rumah sakit itu. Akan tetapi, Zahra sama sekali tidak berniat menjawab atau mengatakan apapun mengenai urusan pribadinya.
"Assalamu'alaikum, Mas." Ucap Zahra saat memasuki ruang yang sudah dua minggu ini sering dia kunjungi. Namun, tubuhnya seketika terdiam di abang pintu, saat mendapati Meisya sudah sadar dan sedang berbicara dengan suaminya.
"Kamu sudah tiba? Ayo sini." Riyan melambaikan tangan sambil tersenyum hangat ke arah Zahra.
Zahra mengangguk, lalu berusaha menyunggingkan senyum walau canggung.
"Duduk sini, aku mau ganti pakaian sebentar. Ada pasien pagi ini." Riyan beranjak dari kursi tempat dia duduk, lalu meminta Zahra duduk di sana.
Zahra kembali mengangguk.
"Ayo sini, Ra." Kali ini suara lemah Meisya yang terdengar, membuat detak jantung Zahra semakin berdebar tidak karuan.
"Kamu ke sini naik apa?" Meisya kembali bersuara.
"Naik taksi, Dok." Jawab Zahra takut-takut.
"Mbak aja. Kita bukan lagi rekan kerja." Ucap Meisya.
Zahra menarik nafasnya dalam-dalam.
"Aku sudah mendengar banyak hal tentang kamu dari Riyan. Katanya kamu yang sering jagain aku kalau siang, karena dia harus kerja." Ucap Meisya lagi.
Zahra masih diam menyimak kalimat itu dengan baik.
"Terima kasih ya, Ra." Ucap Meisya lagi.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi yang di masuki Riyan tadi, sudah terbuka lebar. Lelaki itu sudah terlihat lebih segar dengan pakaian baru nya.
"Aku tinggal sebentar ga apa-apa kan? Ada Zahra di sini." Izin Riyan sambil menatap hangat ke arah Meisya. "Ini sarapan dan makan siang buat aku kan, Ra. Aku bawa ke ruangan seperti biasa ya?" Kali ini tatapannya sudah tertuju ke arah Zahra.
Dua wanita cantik itu tersenyum manis, kemudian mengangguk bersamaan, membuat Riyan ikut tersenyum lega. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan itu tertutup rapat dan Riyan pun tidak lagi terlihat di sana.
Setelah kepergian Riyan, senyum manis yang sejak tadi menghiasi wajah Meisya seketika menghilang. Berganti wajah serius dan dingin, nyaris membekukan Zahra.
"Riyan tetap bersikeras mempertahankan kita berdua? Bagaimana menurut mu?" Tanya Meisya tanpa berbasa basi.
"Aku ikut aja, Mbak." Jawab Zahra pelan.
"Apa kamu tidak punya impian lain di dalam hidup mu? Sehingga harus ber pasrah pada keadaan rumit ini?" Terlihat begitu jelas kekesalan di wajah pucat Meisya. "Impian ku adalah Riyan, Zahra. Aku sudah mengimpikan pernikahan kami belasan tahun yang lalu. Dan kamu datang menghancurkan semua mimpiku itu." Ujar Meisya membuat air mata Zahra mulai menetes membasahi wajah hingga hijab gadis itu. "Apa kamu mencintainya?" Tanya Meisya.
Namun, Zahra masih menutup mulutnya rapat-rapat. Tadi, beberapa menit yang lalu ketika Meisya meminta nya untuk memanggil wanita itu dengan sebutan 'Mbak', sedikit harapan baru tumbuh di dalam hatinya, namun, setelah melihat wajah Meisya yang masih belum bersahabat dengannya, harapan itu kembali lenyap dalam pikirannya.
"Kita bukan madu, Zahra. Dan tidak akan pernah menjadi madu." Ujar Meisya tegas.
"Maafkan aku, Mbak." Lirih Zahra.
"Kamu ingin aku maafkan?" Tanya Meisya.
Zahra kembali diam...
"Jika kamu ingin di maafkan, dan ingin membantu Riyan untuk terlepas dari rasa bersalah nya padaku, maka lepaskan dia." Ujar Meisya.
Zahra mengangkat wajahnya. Dua minggu ini, setelah melihat kondisi Meisya yang begitu mengenaskan, terbesit dalam benaknya untuk melepaskan Riyan. Karena sejak awal, seharusnya Meisya yang ada di samping laki-laki itu.
"Dokter menyarankan aku untuk penyembuhan di salah satu rumah sakit yang ada di Singapura. Kamu hanya perlu membujuk Riyan untuk setuju dengan hal itu. Setelah kami berhasil pergi dari Indonesia, sisanya biar menjadi urusan aku." Ujar Meisya lagi, dan tanpa wanita itu duga, Zahra mengangguk mengiyakan.
"Benarkah?" Tanya Meisya memastikan.
Zahra kembali mengangguk.
"Maafkan aku, Mbak. Dua minggu ini, aku pun sudah memikirkan hal terbaik di antara kita. Aku akan membujuk Mas Riyan untuk pergi, tapi berikan aku waktu dua hari untuk bersamanya." Ucap Zahra.
Meisya terdiam sebentar. Menatap gadis yang lebih muda darinya itu dengan lekat.
"Membujuk Mas Riyan agar meninggalkan aku bukan lah hal yang mudah, Mbak. Bukan karena dia begitu mencintaiku, akan tetapi ada amanah yang di titipkan seseorang padanya, sehingga membuatnya terasa berat. Berikan aku waktu dua hari bersamanya tanpa gangguan, dan akan aku pastikan Mas Riyan pergi bersama mu." Pinta Zahra.
Beberapa saat berpikir, Meisya akhirnya menyetujui permintaan Zahra. Keduanya pun mulai membicarakan waktu yang tepat karena memang saat ini belum memungkinkan.
Beberapa saat kemudian, perawat dan dokter yang bertanggung jawab atas perkembangan kesehatan Meisya, melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Zahra segera beranjak dari atas kursi yang ada di samping ranjang, kemudian melangkah agak menjauh untuk memberikan ruang pada para petugas medis untuk melakukan pekerjaan mereka.
Seelah selesai, seperti biasa Zahra akan kembali duduk di samping ranjang itu. Membantu mengambilkan apa saja yang di perlukan oleh Meisya, dengan tulus.
"Daddy dan Mommy sangat kecewa padaku." Ujar Meisya tiba-tiba, setelah ia meminta Zahra mengambil sebuah buku untuk nya.
"Kecewa iya, tapi membenci itu adalah hal yang mustahil untuk orang tua lakukan pada anaknya." Jawab Zahra. "Jika Mbak mengatakan yang sebenarnya, jika kalian sudah menikah mungkin kisah kita akan berbeda." Imbuh nya. Berusaha memberi penjelasan pembelaan diri terhadap nya. Toh, seelah ini ia akan berpisah dengan Meisya dan Riyan.
"Aku terlalu takut kehilangan nya. Untuk itu aku mau melakukan apa saja, yang penting dia tetap bersama ku." Ucap Meisya. Dia tahu, hal ini bukanlah kesalahan Zahra. Jika gadis yang ada di sampingnya ini bersikeras, itu semata hanya ingin mempertahankan dirinya sebagai seorang istri.
Zahra tersenyum mendengar jawaban itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Jumadin Adin
nyesek...kasian zahra,semoga zahra mendapatkan yg terbaik dan pria yg baik
2022-12-23
0
Kim
wahhhhh Meisya emang egois+obsesinya gk ada obat,,,,
kamu gk akan pernah bahagia Meisya
2022-08-22
2
naniek suhastuty
ikhlaskan riyan dgn meisya...walau itu melawan amanat dr rayan buat riyan menjaga zahra...buang rasa cintamu zahra buat riyan..pasti kau mampu buat move on....kebahagian hati sendiri lebih penting drpd tetap bertahan dgn laki2 yg jg statusnya masih menjadi suami wanita lain
2022-08-22
2